🎧Part 14: ||TEMENIN MAMA DI RS||

12 6 14
                                    


Niken baru saja pulang dijemput Roy. Hubungan Niken dan Roy cukup romantis, terkadang Anindita cemburu melihat hubungan mereka, tapi gaya pacaran mereka jauh beda dengan dirinya, sebab itu Anindita tidak terlalu ambil pusing. Tidak sebanding. Anindita meletakkan obat di atas meja, baru saja dia memberikannya pada mamanya.

"Anindita." Panggil mama Ruri.

"Iya, Ma." Anindita mendekat ke mamanya. Sebelah tangan digenggam olehnya.

"Mama lihat kamu seperti ada masalah, kamu kenapa?" tanyanya yang tidak usah diragukan lagi, kenapa harus bertanya begitu pada anaknya, sejatinya hati seorang ibu akan lebih peka terhadap anak-anaknya. Alih-alih bingung untuk menjawab, Anindita mencoba merangkai alasan terbaiknya.

"Memangnya Anindita kenapa, Ma. Anindita enggak papa, kok."

"Mulut kamu bisa berbohong, tapi mata kamu mengabarkan bahwa ada masalah dalam diri kamu. Apa? Ayo cerita?" kata mama Ruri dengan suara yang lemas dan sesekali bicaranya terhenti.

"Ma, bukan aku enggak mau cerita sama Mama, tapi ini bukan waktu yang tepat, Ma. Mama harus istirahat dan enggak boleh banyak pikiran." Anindita berusaha membuat mamanya paham akan kondisi dirinya yang lemah tak berdaya.

"Kamu salah Dita, ketenangan seorang ibu adalah saat bisa mendengar curhatan anak-anaknya setiap hari."

Anindita mencium tangan mamanya.
"Maaf, Ma. Aku udah buat mama kepikiran. Ini hanya masalah kecil, Ma."

"Tentang sekolah atau teman lelaki kamu?"

"Iya, Ma. Tentang dia."

"Dita, kamu itu perempuan. Jaga diri kamu baik-baik, lelaki mudah untuk meninggalkan wanita tanpa meninggalkan bekas, tapi wanita jika ditinggalkan lelaki bisa meninggalkan bekas."

Anindita terdiam, perkataan mamanya punya arti yang cukup luas, tapi tujuannya wanita akan mudah disakiti dan tersakiti.

"Tinggalkan dia, Mama mau kamu tinggalkan dia, dia bukan lelaki baik untuk kamu Dita."

Seketika genggaman Anindita pada mamanya terlepas perlahan. "Ma, kenapa Mama begitu yakin, bukankah Mama mendukung saja, jika Kak Jabran yang terbaik untuk aku?"

"Sebenarnya, Mama berkata begitu, karena di lain sisi dia baik sama kamu, tapi di sisi lain, dia bukan lelaki yang baik untuk kamu. Lebih baik, dengarkan papamu, tinggalkan lelaki itu, yang kamu pikir baik, belum tentu baik."

Anindita terdiam, perkataan mamanya mungkin saja tidak akan mudah terhapus dalam ingatannya. Saat bukti-bukti Jabran bersama Leony semakin kuat, keputusan orang terdekat Anindita juga menyuruhnya untuk meninggalkan Jabran.

"Sudah, Ma. Mama jangan pikirkan itu lagi, Anindita tahu apa yang harus Anindita lakukan. Mama percaya, kan?"


Mama Ruri mengangguk. "Iya, Mama percaya sama kamu."

Anindita menarik selimut dan menutupi mamanya sampai dada. Saat Anindita hendak duduk ke sofa. Mama Ruri memanggilnya lagi.

"Dita."

Anindita menoleh dan kembali ke samping mamanya. "Ada apa, Ma?"

"Malam ini, tidurlah di sini, tinggalkan rumah sebentar saja."

Anindita bingung dengan permintaan mamanya, sebenarnya ada rasa takut atas permintaan mamanya.

"Memangnya kenapa, Ma. Apa enggak boleh Papa aja yang tidur di sini?"

"Mama rindu sama anak-anak Mama. Minta kakakmu juga tidur di sini, ya."


Tanpa pikir panjang, Anindita mengangguk saja. Mencoba menghilangkan pikiran negatifnya, bisa saja mamanya tengah rindu seperti suasana di rumah dulu.

🎧

Keluarga Anindita berkumpul di rumah sakit, mereka memilih tidur di sini menemani mama Ruri. Ternyata, tanpa di minta Rama sudah niat tidur di sini selama empat hari ke depan selama kuliahnya libur. Pak Brama sudah pasti menemani istrinya, dan Anindita tidak mungkin memilih tidur di rumah jika semua ada di sini. Saat tengah malam beberapa kali Mama Ruri mengeluh sakit di bagian jantungnya, untung saja mereka semua ada di sini, sembari Pak Brama memanggil Dokter, Rama dan Anindita menjaga mamanya di kamar.

Anindita cukup panik apalagi saat mengingat permintaan mamanya tadi sore. Namun, 30 menit kemudian, saat dokter selesai memeriksa. Keadaan kembali normal, Mama terlalu banyak minum air dan kebanyakan gerak.


Tiga hari berlalu, semua masih di rumah sakit, kecuali Pak Brama, harus berangkat pagi-pagi sekali untuk ke kantor.

Anindita dan Rama masih setia menemani mamanya. Mereka duduk di masing-masing kursi sebelah kanan dan kiri, keduanya menggenggam tangan ibunya. Mama Ruri tersenyum melihat anak-anak ada bersamanya.

"Kalian harus bisa belajar akur dan jangan sering berantem lagi, ya."

"Kalau Dita, mah, enggak suka berantem, Ma. Tuh, Kak Rama yang suka Ngejailin Dita."

"Enak aja, lu kali, gua mah kagak." Balas Rama, kalau dia melihat ke arah mamanya, "Mama tahu, kan, Rama enggak suka berantam?"

"Iya, Mama tahu anak-anak Mama semuanya baik, tapi kadang suka nyeleneh." Balas Mama Ruri. "Kalian sudah pada besar, apalagi kamu Rama, kamu anak lelaki pertama di rumah, jadi, kamu harus bisa menjaga Anindita."

"Iya, Ma, Rama tahu, Ma."

"Tuh, kan, ngebangkang." Celutuk Anindita.

"Siapa yang membangkang?" Rama mulai emosi.

"Tuh, bukan dengar dulu, Mama ngomong langsung nyerocos aja."

Mama Ruri tertawa sambil menahan sakit di jantungnya. Pak Brama cepat mengulurkan tangannya untuk menolong.

"Mama jangan bicara, istirahat saja, dulu."

"Enggak Papa, Pa. Mama sudah rindu sekali bisa merasakan momen kebersamaan ini. Kita jarang bisa berkumpul begini, kan, Pa?"

"Ya, lagian Kak Rama kalau di rumah di kamar terus, lebih banyak waktu sama pacarnya, dari pada kita, iya, kan, Ma?"

"Kalian ini, bisa saja, berantem terus. Mau sampai kapan?" tanya Pak Brama sambil menyelimuti istrinya yang tersenyum senang melihat kebahagiaan ini.

"Kalau udah Dita mulai, enggak selesai, Pa." Rama mengeluarkan ponsel iphone keluaran terbaru.

"Tuh, kan, iPhone baru lagi, lihat tuh, Pa. Uang jajan dari papa malah di jajani gituan."

"Yee, serah gue dong, kenapa lu yang repot."

"Pa ...." Anindita mengadu manja pada papanya.

Papa menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan tingkah anak-anaknya.

"Iphone yang kemarin kamu kemanain?" Tanya Mama.

"Hm, aku tukar, Ma. Tukar sama yang keluaran baru."

"Kalau gitu boleh, yang penting jangan numpuk banyak dirumah, nanti hisab nya berat."

"Iya, Ma."

Suasana seketika hening, saat engsel pintu terdengar meleyot, sepertinya memang kurang oli di bagian sana. Bunyinya cukup menganggu. Dokter masuk dari sana, bersama asisten yang selama ini merawat mama.

"Selamat malam Ibuk Ruri!" sapa dokter sembari memberi hormat anggukan kepala kepada kami semua yang ikut membalasnya.

"Gimana, sudah siap kita suntik dulu, ya, biar tidurnya enakan."

"Iya, Pak Dokter."

Dokter pun mempersiapkan alat-alat yang sudah terletak rapi di nampan yang dipegangi asistennya. Jarum seukuran pentul itu di suntikkan ke belakang sikut mama Ruri. Anindita tidak sanggup melihat mamanya menahan sakit, dia tahu suntikan yang di tusuk berulang kali dengan cairan yang berbeda-beda itu sangat sakit rasanya. Anindita melihat air mata mamanya mulai menetes, ia segera berada di samping ibunya dan menyeka air mata itu. Mama Ruri memberikan senyuman seolah memberi tahu bahwa dirinya tidak apa-apa.

"Sudah selesai, istirahat ya, Buk, waktu tidurnya harus dijaga, obatnya sudah diminum?"

"Sudah, Dok."

"Tolong dijaga ibuknya, ya," dokter menyampaikan pada Anindita dan Rama dengan sorotan matanya. "Pak, istrinya dijaga tidurnya biar nyenyak." Katanya lagi pada Pak Brama yang memberi anggukan dengan cepat.

"Kalau begitu saya permisi dulu."

Semua mengangguk dan Mama Ruri pun semakin melemas, cairan yang disuntik ke dalam tubuhnya, membuatnya sangat mengantuk. Setelah memastikan Mama Ruri tidur, semua pun ikut terlelap.

_Harta yang paling berharga, memang keluarga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_Harta yang paling berharga, memang keluarga. Jika mereka tiada, maka tidak ada arti kekayaan lainnya_

SAYANGI KELUARGA KITA

SORRY, DIT! (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang