{TW: darah, depresi, pembunuhan. Yang merasa tidak nyaman boleh di skip.}
Sore itu hujan mendadak turun deras. Damar bergegas berlari pulang bersama beberapa teman satu klub sepak bolanya. Ia sudah menantikan ibunya yang berdiri membukakan pintu dengan membawa handuk kering, menyeka kepalanya yang basah sambil mengomelinya yang berlari pulang menembus derasnya hujan. Namun, keinginan itu menguap ke udara ketika Damar tiba di depan pintu rumahnya yang kini kondisinya terbuka lebar.
"Oh? Kenapa ibu tidak menutup pintu?"gumamnya.
Damar meletakkan sepatu bolanya di rak sepatu sembarangan dan berjalan melewati ruang tamu. Tetesan air yang jatuh dari rambut dan pakaiannya yang basah kuyup mengiringi setiap langkah kaki Damar melewati setiap ruangan demi ruangan. Ia berhenti di depan kamar orang tuanya. Kondisinya sama dengan pintu depan, terbuka lebar, memperlihatkan ruangan yang seisi perabotnya sudah berantakan. Pakaian berserakan di atas kasur dan lantai, laci kecil dari lemari kayu disamping tempat tidur orang tuanya tergeletak terbalik di lantai dan isinya berhamburan. Rasa takut kini menjalar meraih tengkuk Damar.
"Ibu??"
Damar memanggil ibunya dengan volume tinggi. Namun tidak ada sahutan. Ia berjalan melewati kamar tidur kakaknya dan menuju dapur, tempat dimana ibunya paling banyak menghabiskan waktu. Dapur terlihat gelap. Awan mendung diluar dan minimnya penerangan karena tidak ada jendela di dapur membuat dapur itu terkesan menakutkan. Langkah Damar terhenti ketika melihat sesuatu membasahi lantai. Air dari wastafel mengalir membasahi lantai dapur, bercampur dengan cairan lain yang berwarna lebih gelap. Ada bau asing yang memasuki indera penciuman Damar. Seperti bau besi.
Kaki Damar lemas. Pikirannya tertuju pada kamar orang tuanya yang berantakan. Ia takut kalau-kalau pencuri masih berada di dalam rumahnya. Lututnya bergetar, namun ia paksaan berjalan. Ia melangkah menuju sudut dapur, tempat lemari pendingin berdiri kokoh. Kini di depannya terduduk sesosok tubuh dengan kondisi terduduk, rambutnya berantakan dan dari perutnya yang tertusuk pisau mengalir darah segar yang merembes menembus apron merah mudanya.
Tubuhnya dingin dan kaku. Nyaris tak ada tanda-tanda kehidupan.
Damar mendekati tubuh ibunya. Ia memperhatikan setiap sudut wajah ibunya yang tertunduk. Ada bekas lebam dipipi sebelah kiri. Bibirnya yang biasa berhiaskan lipstik berwarna cerah, kini berhiaskan darah di sudutnya. Mata yang selalu menatap Damar dengan kasih, kini membelalak dengan dingin. Tak ada secercah cahaya pun tersirat darinya.
Air mata Damar perlahan jatuh.
Dadanya mendadak terasa sangat sakit, seolah diremas dengan begitu kuat oleh sebuah tangan besar yang tak kasat mata. Ia ingin menjerit, tapi tak ada suara sekecil pun yang keluar dari mulutnya. Samar-samar, Damar mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Seseorang baru saja menggeser tubuh Damar kesamping, membuat bocah kecil itu tersungkur ke belakang.
"IBU!!!"
Damar mengenal suara itu. Suara kakak tertuanya, Jati.
Jati meraih tubuh ibunya perlahan dan mengangkatnya. Langkahnya begitu berat, kakinya berjalan gontai meninggalkan Damar yang masih terduduk di lantai, yang hanya bisa menatap tubuh ibunya yang terkulai lemas dalam gendongan kakaknya, tetesan air bercampur darah sesekali menetes dari baju dan rok ibunya.
"I-ibu...hiks...ibu...i- HUAAAAA..."
KAMU SEDANG MEMBACA
MI CASA
Teen FictionMenyatukan 2 kepala saja sudah sulit, lalu bagaimana jika 7 kepala dengan latar belakang berbeda tinggal bersama dalam satu rumah? BTS rasa lokal. Please kindly left a heart or comment if you like the story. Thank you.