Hari ini begitu damai. Matahari bersinar cerah, angin berhembus sejuk dan semua cucian baju kotor sebanyak tiga keranjang sudah selesai dijemur oleh Damar.
"Aaakkhh!!!"
Damar berteriak sembari meregangkan tubuhnya, merasa sedikit lega ketika sendi-sendinya yang tertarik menghasilkan bunyi gemeretak kecil.
"Gila. Mentang-mentang gua libur, cucian mereka sengaja ditumpuk-tumpuk. Bangke!" Damar mengeluh sembari menjejak-jejakkan kakinya ke tanah. Walaupun demikian, rasa bangga tetap tersirat dihatinya saat melihat jemuran besi beserta jemuran tali tambahan yang ia pasang di sepanjang pinggir kolam renang dipenuhi cucian bersih hasil kerja kerasnya sepanjang pagi ini.
"Yah, nggak apa-apa juga sih," ucap Damar bermonolog. "Dibayar ini. Hehehehe."
Semenjak sebulan yang lalu, Damar diliburkan dari aktifitas belajar di sekolah dan hanya menghabiskan hari-harinya di kosan. Ian dan Abi sempat bertanya, kenapa nggak pulang ke rumah? Namun sambil melenggang pergi Damar menjawab, "Gua nggak punya rumah, bang."
Akhirnya sebagai penambah kegiatan (dibanding cuma rebahan dikamar, kata Reinal) penghuni kosan yang lain sepakat memberikan pekerjaan rumah kepada Damar disaat mereka sibuk dengan aktifitas di luar. Tentunya dengan bayaran upah. Setiap pekerjaan yang digantikan akan diupahi sejumlah uang, tergantung kesepakatan antara si penanggung jawab tugas yang sebenarnya dengan Damar.
"Aduh, pegel banget bahu gua..."
Damar memukul-mukul bahunya sambil berjalan memasuki pintu belakang rumah menuju dapur. Baju kaos yang dikenakannya tampak basah, begitu pula celana pendeknya. Saat sampai diruang tengah, ia baru saja ingin berbaring sebentar sambil menonton siaran ulang Sponge Bob sampai suara bel rumah terdengar. Dengan langkah malas, Damar berjalan menuju pintu depan dan mendapati seorang wanita cantik berparas ayu serta berperawakan lebih dewasa darinya tengah berdiri di balik pintu sambil membawa sebuah mangkuk keramik besar.
"Oh? Tante Luna?"
Tetangga seberang rumah yang dipanggil Tante Luna tersebut mencubit pipi Damar pelan sambil berkata, "Hai anak ganteng! Duh, kamu abis ngapain? Kok bajunya basah gitu?"
"Baru selesai nyuci, Tante. Ada apa ya Tan?"
"Ini loh." Tante Luna menyodorkan mangkuk besar yang dibawanya ke arah Damar. "Tante abis masak banyak. Terus kepikiran kalian, pasti belum pada makan siang kan?"
Damar menerima mangkok tersebut dengan senyum sumringah. "Wah, Tante tahu aja. Kebetulan Damar sendirian nih Tan, nggak ada makanan juga. Makasih banyak ya Tante!"
"Sama-sama, anak ganteng. Ngomong-ngomong, yang lain kemana?"
"Oh, bang Abi sama bang Ikki dikampus. Lagi rajin mereka. Yang lain kerja. Tante mau masuk dulu nggak? Damar mau salinin masakannya Tante sekalian nih."
"Eh, nggak usah. Besok aja balikin mangkuknya. Besok Tante kesini lagi, ya?"
"Oke, Tante. Makasih banyak loh, Tan. Tante itu penyelamat hidup Damar," ucap Damar dengan ekspresi manis layaknya anak kecil.
"Ih, gemesin banget sih kamu. Yaudah, Tante pulang ya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan ke rumah ya, tinggal nyebrang aja. Yuk, Damar."
"Iya, hati-hati ya tante."
Tante Luna pun beranjak pergi dengan senyum mengembang diwajahnya tanpa sekalipun berbalik hingga ia tidak melihat ekspresi Damar yang sedang memasang raut wajah geli akibat tingkahnya sendiri.
"Untung gua ganteng, tante-tante aja sampe luluh."
Iyain aja dah, Mar.
Damar pun kembali masuk dan meletakkan mangkuk berisi sup daging di atas meja makan. Ia menghirup aroma masakan tersebut sejenak dan menyadari perutnya kelaparan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MI CASA
Teen FictionMenyatukan 2 kepala saja sudah sulit, lalu bagaimana jika 7 kepala dengan latar belakang berbeda tinggal bersama dalam satu rumah? BTS rasa lokal. Please kindly left a heart or comment if you like the story. Thank you.