2. Selamat datang, Ian

2.3K 323 112
                                    

Galih terbangun saat jarum jam dikamarnya menunjukkan pukul 13.45 siang. Ia meregangkan badannya yang terasa begitu letih akibat perjalanan menaiki bis selama 2 malam dari kampung halamannya di Padang. Selama perjalanan pulang, Galih berjanji dalam hati bahwa tahun depan ia akan memilih untuk memesan tiket pesawat jauh-jauh hari dibanding harus berkendara dengan bis selama 2 hari penuh.

Masih dengan posisi terduduk di atas kasurnya, Galih menatap ke arah pintu kamarnya dengan tatapan kosong. Biasanya di hari libur dan ia ada dikosan, Damar akan masuk dan membangunkan Galih jika hampir waktunya shalat Dzuhur untuk berangkat ke Masjid bersama, tapi sepertinya Damar lupa. Galih pun buru-buru turun, hendak menuju ruangan kecil di lantai bawah yang dijadikan mushola.

Belum sampai menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir, Galih dibuat terheran-heran dengan keadaan ruang tengah. Empat orang teman serumahnya berhamburan di lantai, karpet dan sofa dengan wajah lelah dan peluh bercucuran. Damar bahkan melepas kaos yang dikenakannya, memperlihatkan otot perut setengah jadi milik remaja SMA tersebut.

"Kalian abis ngapain?"

Galih menghampiri Abi yang tergeletak di atas karpet. Pemuda itu berjongkok dan menyentil kening Abi pelan, "Abis main apaan kalian sampai keringetan begini?"

"Main? MAIN???" Reinal terduduk dengan ekspresi wajah yang terlihat amat tersinggung dengan perkataan Galih barusan.

"Biasanya kalau kalian tepar begini, abis main kan?" tanya Galih.

Damar pun ikut mendudukkan dirinya, "Bang, kita tuh abis kerja bakti. Nggak lihat rumah sekarang jadi bersih?"

Galih pun menatap sekelilingnya. Ia ingat betul meninggalkan jaket besarnya di atas meja ruang tamu dan beberapa kardus makanan ringan di dekat lemari tv, tapi kini semuanya raib. Ruang tamu dan ruang tengah tampak bersih, lantainya pun mengkilap seolah dipoles dengan pembersih lantai super. Begitu pula dengan dapur dan meja makan, tidak ada piring-piring kotor dan sampah sisa bungkus makanan yang memenuhi area dapur. Beralih menatap halaman belakang, Galih mendapati jemuran berisi pakaian yang salah satunya terlihat seperti jaket miliknya.

"Woah, abis pulang kampung kalian jadi rajin ya. Kenapa nggak tiap hari aja rumah bersih begini?" komentar Galih.

"Mauan deh jadi orang," ledek Abi.

Sukses mendapat jitakan dari Galih, Abi meringis mengelus kepalanya yang berdenyut. Fikri yang masih dalam posisi tertelungkup di atas sofa hanya tertawa pelan melihat penderitaan Abi.

"Bang... laper."

Damar, yang memang merupakan bungsu dirumah tersebut mendapat perhatian penuh dari empat orang lainnya. Reinal bangkit dan menuju dapur, menyalakan kompor untuk memanaskan beberapa lauk yang ia dan Galih bawa dari rumah.

"Udah Dzuhur?" tanya Galih.

Damar menggeleng, begitu pula Fikri dan Abi.

"Sana buruan mandi, kita jamaah. Tumben nggak bangunin abang, Mar?" Galih beringsut mendekati Damar, mengusak pelan rambutnya dan berjalan menuju kulkas.

"Lupa, Bang. Panik gara-gara Tante Wina mau kesini," jawab Damar.

"Oh, Tante kesini? Ngapain?" Galih mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam kulkas, meneguk isinya sekali lalu kembali meletakkannya ditempatnya semula.

"Katanya ada penghuni baru," jawab Fikri. "Makanya kita pada beres-beres. Abang ingat kan terakhir kali Tante kunjungan dadakan dan nemu kolor Abi di dalam kulkas?"

Damar tertawa geli mengingat bagaimana ekspresi wajah Tante Wina saat ia menarik keluar boxer hitam milik Abi dari dalam kulkas. Saat itu, Abi beralasan bahwa udara diluar sedang panas jadi boxernya didinginkan agar terasa sejuk saat dipakai. Dasar Abi.

MI CASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang