Hujan adalah salah satu hal yang tidak disukai Abi. Ia benci ketika hujan membuat tubuhnya basah dan kedinginan, ia benci ketika hujan membuat semua aktifitasnya terhambat, dan ia benci ketika tanah basah meninggalkan bekas lumpur di sepatu kesayangannya.
"Kan udah gua bilang, nunggu reda aja! Sekarang lihat sepatu gua!"
Fikri melirik sekilas sepatu New Balance keluaran terbaru yang Abi kenakan. Ia begitu bangga memamerkannya pada orang rumah saat hendak berangkat ke kampus tadi pagi, karena sepatu tersebut dibeli Abi dari hasil kerja paruh waktunya di kafe Reinal selama sebulan.
"Nanti kan bisa dicuci," ucap Fikri. "Lagian dikit doang itu lumpurnya, nanti gua bantuin sikat deh."
Abi merenggut sambil menundukkan wajahnya, menatap sepatunya yang kini berhiaskan warna coklat dari genangan lumpur di dekat parkiran. Jika saja Fikri tidak bergegas mengajaknya pulang, mungkin sekarang Abi sedang menikmati bakso urat Mang Dadang di kantin sambil menunggu hujan reda. Setelah mendapat telepon dari Surya, Fikri segera menarik Abi dari koridor menuju kantin dan berjalan cepat menuju parkiran. Saat Abi bertanya ada apa sampai ia terburu-buru, Fikri hanya menjawab, "Nanti di mobil gua jelasin."
Sekarang Fikri tengah sibuk memutar mobil dan berusaha keluar dari parkiran. Raut wajahnya sedikit tegang dan gerakan tangannya sigap memainkan setir mobil, melaju meninggalkan kawasan kampus dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, Abi memainkan lagu di pemutar musik dan menyambungkannya ke perangkat musik di mobil Fikri. Lagu Coldplay menemani mereka disepanjang perjalanan yang disertai rintik hujan yang semakin deras.
Abi menunggu Fikri untuk menjawab rasa penasarannya hingga mereka masuk ke jalan tol.
"Jadi?"
"Mas Surya tadi nelpon. Dia bilang, Bang Galih khawatir sama Damar. Jadi nyuruh kita semua yang paling deket sama kosan buat pulang."
"Emang Damar kenapa? Tadi pagi kayaknya nggak kenapa-kenapa deh," ujar Abi.
"Gue juga nggak tahu. Mas Surya cuma bilang, kalau bisa pulang lebih cepet sebelum hujan reda. Mereka berdua juga udah dijalan pulang."
"Kalian tuh terlalu manjain Damar. Seakan-akan Damar itu anak SD," ucap Abi seraya menatap layar ponselnya, mengecek pesan dari Surya yang masuk sejam lalu. Kedua ibu jarinya bergerak cepat membalas pesan.
"Heh bahlul! Ente nggak punya kaca? Ente yang paling manjain Damar," kata Fikri dengan nada menyindir. Memang benar, Abi adalah penghuni kosan yang paling memanjakan Damar terutama dalam hal kesenangan.
Abi tidak membalas. Ia tidak merasa memanjakan Damar. Baginya, Damar adalah sosok teman yang walaupum bertingkah seperti anak kecil, namun terkadang bisa berpikir sangat dewasa.
Mobil mereka berbelok menuju pintu keluar tol. Abi masih sibuk dengan ponselnya, sedangkan Fikri fokus dengan jalanan dihadapannya. Hujan semakin deras menerpa kaca depan mobil. Mereka beruntung karena jalanan sedang sepi. Tak banyak kendaraan melintas di cuaca seburuk ini.
"Banjir nggak ya?" ucap Fikri.
Abi tidak menjawab. Tiba-tiba, kilat menyambar dikejauhan, disusul gemuruh petir yang menggelegar.
"Astagfirullah. Kaget," ucap Fikri sambil mengelus dada. Ia menatap Abi yang tengah terdiam. Seolah sambaran kilat dan petir tadi menarik nyawanya keluar.
"Bi?"
Raut wajah Abi tampak seram. Seolah takut dan kaget disaat bersamaan.
"Bangsat!"
Fikri memukul kepala Abi dengan tangan kirinya. "Mulut lo tuh ya. Kaget tuh istigfar!"
"Oh iya. Astagfirullah..." ucap Abi sambil mengelus dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
MI CASA
Roman pour AdolescentsMenyatukan 2 kepala saja sudah sulit, lalu bagaimana jika 7 kepala dengan latar belakang berbeda tinggal bersama dalam satu rumah? BTS rasa lokal. Please kindly left a heart or comment if you like the story. Thank you.