Setelah berpisah dengan Dirgantara dibelakang sekolah, kini aku tengah berlari secepat yang ku bisa menuju kelas ku.
Sambil merapalkan beberapa doa penyelamat agar ia bisa di selamatkan dari kemarahan seorang monster. Ralat, bahkan seramnya Bu Eva bisa mengalahkan beribu-ribu monster yang ada di dunia.
Oke, mungkin itu terdengar berlebihan dan aku sangat-sangat tidak perduli. Aku membuka pintu kelas ku dengan cepat sampai-sampai membuat kelas yang tadinya ramai seketika sepi karena keterkejutan mereka semua.
Aku bernafas lega mengetahui Bu Eva belum masuk kedalam kelas. Tanpa fikir panjang, aku masuk kedalam kelas lalu kembali menutup pintu itu.
Berjalan menuju bangku ku dan duduk dengan tenang.
Semua pandangan menatap ku masih dengan tatapan terkejut mereka. Aku hanya bisa menyengir tak berdosa lalu meminta maaf atas kejadian tadi.
"Lo kayak orang yang habis di kejar-kejar anjing tau gak?" ucap teman sebangku ku yang bernama Rania.
Aku menoleh. "Aku fikir tadi Bu Eva udah masuk makannya aku lari biar cepet. Biasanya kan dia datang tepat waktu banget. Apalagi hari ini ada ulangan harian kan?"
"Lagian lo kenapa tumben-tumbenan bisa terlambat gini?"
"Ah, kamu! Namanya hari Senin. Yogyakarta aja bisa berubah jadi Jakarta sewaktu hari Senin tiba," jawab ku.
Rania mengangguk membetulkan. "Terus gimana bisa lo sampe lumayan cepet? Biasanya 'kan bus ataupun angkutan umum bakalan lama banget kalau macet gini."
"Ah, itu.." Aku mendadak jadi kikuk sendiri. Bingung ingin membalas pertanyaan Rania dengan jawaban seperti apa. "Aku.. terbang!" jawab ku asal. Lalu kemudia tertawa seperti orang bodoh.
"Kesambet kayaknya nih," ujar Rania memandangi ku.
"Udah ah. Enggak usah kepo!"
Bu Eva pun datang dan ulangan harian yang sangat memusingkan pun dimulai.
***
Bel istirahat sudah berbunyi sejak tiga menit yang lalu. Hari ini, Rania mengajak ku untuk menghabiskan makanan kita di dekat lapangan basket. Katanya sih, mau lihat pacarnya yang enggak seberapa itu.
Rania memang memiliki kekasih. Namanya Pascal Januarta. Anak basket juga. Cukup dikenal karena memiliki paras yang tampan. Sepertinya, anak-anak club basket wajahnya tidak ada yang gagal.
Seperti lelaki yang memakai bandana berwarna merah dikepala nya. Dia Dirgantara. Lelaki yang pagi tadi menolong nya.
Ternyata, tidak bertemu di tiang bendera, tapi disini lah mereka dipertemukan?
Takdir memang sangat suka sekali bercanda. Aku tertawa pelan.
"Heh! Kenapa lo ketawa-ketawa? Jangan kesambet disini please, Han!" kata Rania mengejutkan ku.
Aku memukul pelan paha nya. "Jangan asal! Kalau aku kesambet beneran disini karena ucapan kamu, gimana?"
"Gue tinggal!"
"Tega banget?"
"Emang!"
"Ih, udah deh! Kamu tau kan cowok yang pakai bandana merah itu?" tanya ku kepada Rania yang tengah memakan roti coklat nya.
Rania mengikuti arah pandang ku. "Oh, dia? Tau. Ada apa? Kamu suka sama dia? Mau aku bilangin ke Pascal buat titip salam sama Dirga?"
"Apaan sih bukan itu maksud aku tau!" Aku merasa wajah ku begitu panas dan sepertinya, kini warna wajah ku berubah menjadi merah. "Tadi di kelas kamu nanya 'kan sama aku, kenapa bisa aku sampai di sekolah? Iya itu karena Dirga."
"WHAT THE-" Belum sempat Rania menyelesaikan omongannya, dengan segera aku membekap mulut embernya itu. Lihat saja sekarang, seluruh tatapan anak-anak basket bahkan mengarah kepada kami berdua karena teriakan Rania yang cetar membahana itu.
"Kamu kalau mau teriak-teriak liat tempat dong, Ran! Malu tau disini tuh ramai! Liat tuh, mereka semua ngeliatin kita!" oceh ku merasa kesal. Sangat enggan membuka bekapan tangan ku pada mulut lemes Rania.
Rania memukul-mukul tangan ku karena merasa bahwa dirinya tidak bisa bernafas. Aku yang paham pun segera melepaskan bekapan itu. Sedangkan Rania dengan serakah meraup udara sebanyak-banyak nya.
"Gila.. Gue... Hampir mati!" ucap Rania masih dengan dada yang turun naik tidak stabil.
"Aku malu banget demi apa?" ucap ku semakin menundukkan kepala ku.
"Ya maaf sih, Han. Namanya kan gue refleks jadi ya begitu akhirnya. Habis lo sih! Ngangetin gue aja!"
"Udah! Balik aja, yuk? Udah kepalang malu banget ini aku, sumpah!"
Rania mengangguk mantap karena aku merasa bahwa dia juga malu menjadi pusat perhatian.
Terlebih lagi disana ada Pascal.
Aku dan Rania pun bangkit. Lalu berbalik arah meninggal kan lapangan basket. Seharusnya, itu adalah pilihan bagus untuk kita berdua. Tapi ternyata aku salah dalam mengira. Langkah ku dan langkah Rania terpaksa berhenti kala suara Dirgantara mengintrupsi.
Langkah kaki lelaki itu semakin terdengar di gendang telinga ku dan jantung ku semakin terpompa begitu cepat.
Dirgantara berdiri dibelakang ku. Hanya berjarak beberapa langkah saja.
Saat itu, dia tengah berdiri sambil bersedekap dada. Menatap ku dengan begitu intens.
"Ternyata bener ya apa yang lo ucap pagi tadi."
Suasana masih hening. Aku enggan menjawab ucapan nya.
"Kita enggak akan ketemu didepan tiang bendera karena lo yang datang terlambat. Tapi kita ketemu disini, di lapangan basket ini."
"Semesta emang terlalu banyak bercanda, Handini."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BUTTERFLY
Teen FictionTidak pernah terlintas sama sekali didalam fikiran ku untuk menjatuhkan hati ku pertama kalinya pada sosok lelaki yang sudah jelas tidak bisa aku miliki.