06

10 1 0
                                    

Sejak kata-kata yang di ungkapkan oleh Dirgantara tadi, sama sekali tidak ada percakapan diantara kami berdua. Jujur saja, hati ku terasa seperti ingin meledak saat itu juga.

Perasaan senang, juga takut yang datang secara bersamaan. Aku senang dia menyukai ku. Tapi, aku juga takut bahwa itu adalah salah satu caranya untuk menambah seorang teman.

Dirgantara memang dikenal sebagai lelaki yang gampang sekali berbaur. Dia tidak memiliki banyak mantan, hanya satu dan itu pun sudah lama tidak berhubungan lagi.

Dirgantara, terlalu membuat para gadis nyaman ketika berada didekatnya.

Bagaimana cara dia memperlakukan seorang perempuan, sudah pasti mereka akan baper oleh lelaki ini.

Aku menghela nafas ku. Memikirkan bahwa jangan sampai aku menjadi salah satu dari korban nya.

"Handini?" Dirgantara memanggil ku dengan suara yang begitu lembut. Selembut angin sore Yogyakarta yang menerpa wajah ku.

Aku menatap nya melalui kaca spion motor. "Iya? Ada apa lagi, Dirga?"

"Kenapa kamu enggak pernah manggil aku pakai embel-embel Kak?" tanya Dirgantara. Aku sedikit terkejut mendengar dia mengubah cara berbicaranya dan itu semakin memperbesar harapan ku kepadanya.

"Tumben pakai aku-kamu," ucap ku seperti mengalihkan topik pembicaraan.

"Karna ingin. Biar enggak canggung aja, sih. Kamu pakai aku-kamu, masa aku nya pakai gue-lo? Biar kamu lebih nyaman kalau ngobrol sama aku, Handin."

Tolong, jika bisa, aku ingin menghilang saat itu. Kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Dirgantara membuat ku ingin pergi ke bandara hanya untuk terbang.

Aku berdeham, guna menetralisir kegugupan ku. "Tadi kamu nanya apa?"

"Ah, itu. Kenapa kamu enggak pernah manggil aku pakai embel-embel Kak?"

"Karena kamu bukan Kakak ku."

Dirgantara terkekeh.

"Apa semua Kakak tingkat di sekolah kita bakal kamu giniin setiap ditanya soal pertanyaan yang aku ajuin tadi?"

"Yah, kalau ke yang lain sih aku panggil mereka Kak. Karena memang kan aku menghormati mereka sebagai Kakak tingkat aku," jawab ku.

"Jadi, kamu enggak menghormati aku dong, ya?"

Aku memukul pundak nya pelan. "Bukan gitu maksud nya! Lebih nyaman manggil kamu pakai nama aja, sih. Masalah, ya? Kalau kamu enggak suka, aku bisa panggil kamu kayak yang lain nya, kok."

Dirgantara menggeleng. "Aku suka. Terus panggil aku pakai nama aku. Aku enggak mau disama-samain kayak Kakak tingkat kamu yang lain."

***

Motor yang membawa diri ku juga Dirgantara sudah berhenti di depan rumah ku. Rumah yang bernuansa begitu klasik. Sangat cocok dengan suasana kota Yogyakarta.

Aku melepas helm yang aku gunakan, memberikan nya kepada Dirgantara.

"Handini?"

"Iya?"

"Ayah kamu kayaknya sudah nungguin kamu dari tadi disana. Ada baik nya kamu langsung masuk," ujar Dirgantara.

Aku menatap kearah Ayah ku yang tengah menatap kami berdua dengan tatapan yang begitu tajam.

Mengalihkan pandangan ku, aku kembali menatap Dirgantara.

"Yaudah, kamu pulang aja. Makasih ya udah nganterin aku. Nanti jaket nya aku cuci dulu," jawab ku. Aku tidak ingin Dirgantara terbawa-bawa kedalam masalah ku hanya karena kebaikan nya yang telah mengantarkan aku pulang dengan selamat.

Tapi, Dirgantara tidak pergi begitu saja. Dia justru turun dari atas sepeda motor nya, tak lupa dia juga melepas helm yang ia kenakan.

"Loh? Kok kamu malah turun? Ini udah hampir maghrib jadi mendingan kamu pulang aja, ya?" kata ku, masih berusaha menahan Dirgantara untuk bertemu dengan Ayah ku dengan kondisi yang seperti ini.

"Aku yang bawa kamu sampai telat pulang. Jadi aku pantas untuk bertanggung jawab, 'kan?"

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BUTTERFLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang