05

16 6 0
                                    

Bel pulang sekolah mulai berbunyi. Aku dan juga Dirgantara mulai bangkit dari tempat yang kami duduki. Berjalan menuruni satu persatu anak tangga dengan Dirgantara yang menggenggam jari jemari ku.

Sesampai nya di koridor sekolah, semua tatapan kembali terarahkan kepada kami berdua. Aku hanya bisa menunduk menghindari tatapan-tatapan itu.

"Jangan nunduk, nanti nabrak."

Aku mendongak. "Kan digandeng sama kamu, emang masih bisa nabrak?"

"Lo sepercaya itu sama gue? Percaya kalau gue nggak akan lepas genggaman ini?" Dirgantara mengangkat tangan nya yang menggenggam erat tangan ku.

"Mungkin nggak buat sekarang. Tapi, sometimes, kamu bakal lepas genggaman itu kan?"

"Iya. Lo tau apa alasan nya?"

"Karena memang setiap orang bakalan singgah dan juga pergi. Mereka memang menetap, tapi nggak akan selama nya mereka disini. Kita punya takdir yang mengharuskan kita untuk pergi. Bahkan, sepasang suami istri pun akan dipisahkan oleh takdir yang mereka miliki. Dari sana, aku udah berfikir kalau setiap orang berhak untuk datang, dan berhak juga untuk pergi."

"Kesimpulan nya?" Dirgantara bertanya kepada ku.

"Kesimpulan nya sih menurut aku ya, jangan terlalu menangisi apa yang telah pergi dan bukan jadi milik mu lagi. Hidup ini mengalir bagaikan air. Mengalir lurus kedepan tanpa bisa berbalik arah."

"Artinya, kita juga harus menjadi air yang mengalir. Melewati apa yang pernah dilewati, lalu belajar untuk menyikapi nya. Kita nggak mungkin berbalik arah, masa lalu sudah pasti akan mendorong kamu menjauh."

"Kamu pernah denger nggak kalau ngulangin masa lalu itu sama aja kayak kita baca buku yang sama buat kedua kalinya?" tanya ku.

Dirgantara menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Nah, itu. Masa lalu sebenernya udah ngedorong kamu menjauh dengan kata-kata itu. Emangnya, kamu mau masuk kedalam lubang yang sama? Tapi banyak orang yang tutup mata tutup telinga kalau mendengar kata-kata itu. Mungkin yang ada difikiran mereka, semuanya masih bisa di ubah."

"Iya, memang bisa. Tapi, lihat kondisinya. Apa kesalahan dimasa lalu itu bisa dimaafkan? Atau, kesalahan di masa lalu itu tidak terlalu berdampak buruk bagi orang lain?"

"Menurut lo, kesalahan siapa yang nggak bisa lo maafin sampe sekarang?" ucap Dirgantara bertanya.

Aku menoleh kearah nya, lalu tersenyum. "Orang tua."

***

Kalian pasti sudah bisa menebak, dimana aku berada. Benar. Aku berada diatas sepeda motor Dirgantara yang melaju begitu lambat. Langit sudah memendung bahkan angin mulai berhembus cukup kencang sampai-sampai rasanya angin itu menusuk tulang-tulang ku.

"Dirgantara!" panggil ku sedikit berteriak.

"Apa?"

"Bisa cepetin laju motor nya nggak? Udara nya makin dingin," jawab ku.

Bukannya mempercepat laju motornya, dia malah memberhentikan motornya dipinggir warung kecil yang ada di pinggiran jalan.

"Loh kok malah berhenti?" tanya ku masih setia duduk di boncengan motor Dirgantara.

"Turun dulu. Kalau lo duduk terus gimana mau gue kasih nya?"

"Kasih apa, sih?" Aku benar-benar bingung dengan sikap Dirgantara.

"Turun dulu, Handini." Dia berkata begitu lembut. Seolah ingin menghipnotis ku lewat tutur bicaranya yang mengalun indah bagaikan lantunan lagu penghantar tidur.

Aku berdeham, menetralisir degup jantung ku. "I-iya," jawab ku, merasa gugup bukan main.

Akhirnya aku pun turun, menatap Dirgantara dengan tatapan menyelidik.

"Kamu nggak bakalan nurunin aku disini 'kan, Ga?" aku bertanya.

Dirgantara terkekeh, lalu menggeleng. "Enggak akan," Dia melepas jaket yang dipakai nya, lalu menyodorkan jaket itu kepada ku. "Pakai. Angin nya dingin, 'kan?"

Kalian tau? Jantung ku berdetak lebih cepat dari biasa nya. Rongga dada ku, bahkan perut ku seperti terisi oleh beribu kupu-kupu yang terbang kesana kemari.

Karena aku tak kunjung mengambil jaket itu, Dirgantara justru menyampirkan jaket itu pada punggung ku.

"Di pakai, Handini. Bukan cuma diliatin," katanya.

"Eh? Iya, maaf."

Dia tersenyum.

Aku pun menurut, memakai jaket itu dengan baik di tubuh ku.

"Handini?"

Mendongak, aku menatap lurus ke arah manik matanya. "Iya? Ada apa?"

"Gue rasa, gue suka sama lo."

***

BUTTERFLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang