Ambisi dalam pencarian jati diri terkadang menjadi anala yang membara lantas mengubur diri sendiri dalam lubang kebohongan. Menghabiskan sisa masa untuk berpura-pura tak pernah menjadi resolusi demi mengundang celotehan iri. Bukan untung bukan rugi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terlalu berpolusi jika insan bernyawa di Yogyakarta memilih untuk berwisata di sore yang panas penuh hembusan napas para pemakan beras yang baru selesai tugas. Terlalu letih pula jika disuruh memilih antara kasur atau kursi, maka mereka mungkin akan mengucap lantai, bagian yang meski keras tetapi lebih dingin dari kasur untuk bersantai.
Termasuk wanodya yang pikirannya tengah dilanda seribu kecemasan—yang sebenarnya tak perlu dicemaskan. Kaki jenjangnya masuk ke dalam toko hewan peliharaan sebagai pintu masuk ke dalam kandangnya. Naira melemparkan senyuman tipis pada beberapa pegawai di sana yang menyapanya, suasana hatinya tidak cukup bagus untuk bersuara membalas seraya basa-basi bertanya.
Memasuki kawasan kepunyaannya, ia bisa melihat Sara yang tengah duduk di salah satu sofa ruang tamu sembari memainkan ponselnya dengan volume suara keras dan membuat Naira bisa mendengar lagu dikasih ingfomazseh. Sampai pemilik ponselnya tidak menyadari bahwa orang yang ia tunggu sejak tadi telah tiba.
"Eh, woi, Naira!" seru Sara setelah menyadari ada kaki yang melangkah melaluinya begitu saja. Sara menahan tangan Naira sebelum ia masuk ke dalam kamarnya.
Naira berbalik. Apa? Tatapannya menyiratkan demikian
"Di sekolah gak terjadi apa-apa, 'kan?" Sara bertanya, mengingat beberapa hari terakhir ada salah satu warga sekolah yang mengetahui wujud aslinya tanpa bedak.
Naira hanya mengangguk untuk menjawab. Sara menghela napas lega, rupanya ultimatum darinya cukup mempan bagi Banda.
Cekalan tangan Sara tadi sudah terlepas, gadis itu lanjut berjalan masuk ke dalam kamarnya. Hari yang sungguh melelahkan. Walau sejujurnya memang terlalu jahat tak mengacuhkan Sara meski dengan mengucapkan satu kata supaya setidaknya kehadiran gadis itu dianggap di sini. Karena kesal, ia akhirnya ikut masuk ke dalam kamar Naira.
Naira yang berbalik hendak menutup pintu terkejut melihat sosok gadis jangkung di depannya. Helaan napas gusar terdengar lantas berucap, "Apa lagi? Gue mau ganti baju." Dengan gaya ketus khasnya.
"Oh, oke oke, sans dong." Menyadari perbedaan dari gaya bicaranya, Sara segera melangkah mundur daripada mencari ribut.
Baiklah lupakan, Naira mungkin hanya ingin mengganti seragam lusuh bau matahari itu terlebih dulu kemudian memenuhi tugasnya-berbicara dengan Sara. Namun sepuluh menit sudah Sara bosan menggulir-gulirkan layar ponselnya dengan ketidakpastian ini, tidakkah gadis itu mengingat bahwa dirinya sendiri yang meminta Sara datang kemari sepulang sekolah?
Hingga akhirnya yang ditunggu-tunggu telah keluar dari subkandangnya, menggunakan pakaian biasa dengan wajah biasa saja—sebab Sara sudah nyaris setiap hari melihatnya. Ah, Sara baru ingat gadis itu harus menghapus riasannya juga, itulah yang membuatnya lama. Namun bukannya segera menghampirinya, Naira justru melengos begitu saja seolah kehadiran Sara hanyalah angin lalu yang tak tampak.
Hei, sopankah begitu? pikirnya.
"Sis, gue udah merelakan segala jadwal padet gue loh buat dateng ke rumah lo."