BAB 8 : LAMPAU

31 7 17
                                    

Di tengah heningnya area jajaran kosan di Yogyakarta pada siang hari itu, ditemani bunyi percikan air dari tetangga yang agaknya tengah menyiram teman yang bisa berfotosintesis, serta putaran kaset jadul di radio milik ibu kost dengan lagu kepunya...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di tengah heningnya area jajaran kosan di Yogyakarta pada siang hari itu, ditemani bunyi percikan air dari tetangga yang agaknya tengah menyiram teman yang bisa berfotosintesis, serta putaran kaset jadul di radio milik ibu kost dengan lagu kepunyaan Oasis. Kala jarum pendek menunjukan angka dua inilah Fena bisa menikmati betapa nikmatnya hidup sebagai pengangguran. Meski pagi atau malamnya sedikit dihantui rasa cemas kapan dirinya mendapat tempat mencari uang.

Fusena Gentayana adalah pemuda lulusan Fakultas Teknik Informatika dan menyandang gelar S1 di umurnya yang ke dua puluh tiga. Awal mula dirinya diterima bekerja di kantor kelurahan dengan passion yang ia miliki tersebut, tetapi sudah lama sejak dua bulan lalu tidak ada panggilan lagi dari sana dan saat itu merupakan ambang kekerean Fena. Namun demi membayar uang sewa kost karena tidak mau kembali ke jahanam itu lagi, Fena rela membuka jasa cuci motor bagi siapapun yang malas mencuci kendaraan roda dua mereka.

Dan saat itulah tiga remaja ingusan melangkah melewati area terlarang yang seharusnya butuh izin terlebih dahulu untuk memasuki tempat itu. "Sampurasun, Kang Fena!" Pemuda berambut keriting serta kulit sawo matang menyapa. Dua temannya hanya tersenyum di belakang.

Fena hanya tersentak heran lantas menarik sang adik seraya berbisik, "Heh! Sik, sik, sik, opo iki, Ban?" Sebab merasa tidak terima siangnya yang tenteram diganggu tiga bocah SMA ingusan ini.

Dan dengan satu tarikan napas, Banda menjawab sambil mendekatkan mulutnya ke arah wajah Fena, "Kerja kelompok!"

***

Seberapa sulitnya proyek kelompok yang mereka lakukan tak pernah terbayang dalam benak tiga remaja itu, dua jam sudah Nami dan Etel lalui dengan menghirup aroma khas kosan yang ditinggali dua manusia tanpa akhlak yang menyeruak. Tetapi reaksinya tetap sama, tak dihiraukan, pikirannya terlalu sibuk memikirkan kalimat untuk materi presentasi nanti ketimbang memproses aroma kurang sedap dan mencari penyebabnya.

"Ban, gak ada tukang dagang yang suka ngelewat gitu di sini teh? Batagor, bakso, atau rujak bebek atau apa gitu?" keluh Etel membayangkan betapa nikmatnya merangkai kata-kata sambil menyeruput kuah bakso yang lezat dengan saus dan sambal.

Meski hendak menyetujui ucapan Etel, Nami akhirnya hanya mendesah pelan dan menjawab, "Ini Yogya, Tel, bukan Bandung."

"Ya di kota mana-mana juga pasti ada atuh emang-emang yang jualan keliling pake gerobak!" Sejujurnya, ketiganya pun sudah tepar dan angkat tangan menangani semua tugas ini. Kalau saja tugas yang diberikan tak mengharuskan mereka selalu fokus pada pensil dan kertas maupun papan ketik komputer serta monitornya yang menyakitkan mata, pasti Etel tak akan sampai mengeluh demikian. "Kangen pempek Mbak Ranti," gumam Etel sekali lagi, mengingat-ingat betapa nikmatnya melahap pempek dengan cita rasa bumbu yang memanjakan lidahnya meski masih ditemani bisingnya suasana kantin.

"Kangen ketampanan Pak Galuh tiap dia makan di kantin." Nami juga akhirnya ikut-ikutan mengutarakan rasa rindunya pada suasana kantin sekolah yang ramai.

BandaNeiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang