Ambisi dalam pencarian jati diri terkadang menjadi anala yang membara lantas mengubur diri sendiri dalam lubang kebohongan. Menghabiskan sisa masa untuk berpura-pura tak pernah menjadi resolusi demi mengundang celotehan iri. Bukan untung bukan rugi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nama olahraga bola besar voli sudah tidak asing menjadi bagian dari salah satu ekstrakurikuler sekolah menengah. Permainan yang dimainkan beregu itu memanfaatkan fungsi tangan guna menservis bola ke area lawan. Namun apa jadinya jika bola dioper hanya boleh menggunakan kaki? Singkatnya, ekstrakurikuler sepak takraw justru menjadi ekskul yang sangat populer di SMA Bayu Candra ketimbang basket, voli, dan sebagainya.
Bukan hanya peminatnya, penggemarnya juga tak kalah banyak. Terlepas dari keunikan permainan ini yang menggunakan bola rotan sebagai alatnya, faktor visual pemain juga memengaruhi banyaknya penggemar yang dimiliki ekskul sepak takraw ini. Salah satunya ialah Gigih Buana, pemain sepak takraw andalan SMA Bayu Candra. Meski bukan kapten, Gigih kerap kali menjadi harapan terakhir teman satu regunya kala poin mereka kalah jauh dari lawan.
Sayangnya enam bulan ke depan Gigih sudah tak bisa berkontribusi dalam kemenangan yang keseratus kalinya. Sebab ia sudah berada di ruang kelas dua belas.
Dan siang ini, lapangan sepak takraw sudah riuh dengan sorak-sorai dari penonton di tribun. Tidak seperti biasanya, pertandingan kali ini dilaksanakan di dalam ruangan. Tak sedikit dari mereka yang meneriaki nama Gigih, juga beberapa spanduk bertuliskan namanya. Salah satunya bahkan sampai menempelkan foto Gigih di sana menggunakan photoshop. Wajar, penggemar berat, cita-citanya sungguh simpel; di-notice oleh pemuda itu dengan senyuman manis sampai mata hanya segaris.
Baskara yang bersinar terik tak memadamkan semangat Gigih siang ini. Ia tengah melakukan pemanasan di pinggir lapangan sebelum akhirnya berbaris sesuai urutan anggota dalam regu masing-masing. Pemandu sorak kini tengah melakukan aksinya di lapangan, mulai dari panjat pinang sampai salto, bahkan mengeja nama kelas yang hendak bertanding sekarang dengan berteriak. MIPA 2 vs IPS 2. Kelas dua belas tentunya.
Permainan pun dimulai. Bahkan saat bola rotan baru melayang di udara, seluruh ruangan dipenuhi oleh teriakan dari penonton.
Di tribun sebelah barat ada dua orang yang agaknya tak pernah bisa bernapas dengan lega selama masih berada di Bayundra. Lihat saja, ingin duduk tenang menonton pertandingan sepak takraw saja mesti dikelilingi para Adam di kanan kiri atas bawah mereka. Pada Adam itu tak segan-segan duduk di kursi tribun yang dekat dengan Naira dan Himalia. Walau sejujurnya targetnya hanya Naira, tetapi dua orang ini sudah menjadi satu paket yang tak terpisahkan.
Di mana ada Naira, di situ ada Himalia.
"Whoa, Naira, lo cat rambut lagi?” celetuk salah seorang dari mereka yang menyadari perubahan warna rambut Naira. Tidak, bukan perubahan, tepatnya penambahan cat merah muda di bagian poni.
“E-eh? Iya, a-aku cuma nambahin di bagian poni doang, kok, Ja, hehe.” Membalas seadanya sebab memang bukan begitu kenyataannya. Wig andalan yang selalu dirinya pakai tiba-tiba menghilang atau lebih tepatnya Naira lupa jika benda itu sempat terjatuh kala ia tengah menghadapi para pria cabul itu. Beruntung lemari Naira sudah layaknya wig kolektor, perempuan itu tentu memiliki rambut palsu lainnya dengan warna serupa di dalam lemari ajaib itu.