Kadang bagi sebagian orang memiliki rumah besar tidak terlalu menguntungkan, apalagi kalau situasinya seperti yang Rama alami. Dia berlari tanpa peduli napasnya yang tersengal seperti akan kehabisan napas demi untuk mencari seseorang. Seorang gadis lebih tepatnya yang sudah dari tiga bulan lalu belum dilihatnya. Terpaksa tak dapat melihat karena dia dilempar ke Korea dengan alasan perjalanan bisnis. Tentunya Rama tahu itu tidak benar, itu semua hanya akal-akalan orang tuanya untuk menjauhkannya dari gadis itu.
Tentu semua karena Rama sendiri. Dia sadar karena terkadang terlalu berlebihan kalau menyangkut gadisnya. Kalau anak gaul menyebutnya ‘bucin’, ya dia terlalu over bucin dan itu membuat dia sedikit takut padanya. Mau bagaimana lagi, bayangkan saja dua belas tahun menanti rasanya seperti apa. Kalau orang bilang nih, segel kyubi udah mulai pudar, tinggal tunggu waktu brojol saja. Tapi Rama masih bisa mengatasinya, dia bahkan mempekerjakan agen detektif untuk mengawasi gadisnya, jadi dia tahu kalau hari ini dia sudah ada di istana Meranding.
Tapi di sebelah mana dia berada? Bangunan di rumahnya ada banyak, karena seluruh saudaranya berkumpul menjadi satu.
Di rumah utama, nihil.
Rumahnya, jelas tidak mungkin.
Lalu, di mana?
Akhirnya dia kualahan, tidak ada yang mau memberitahunya. Semua sepakat mengerjainya, Rama tahu itu. Bahkan ponakan yang selalu dimanjanya kini berbalik menyerangnya.
Apes bener.
Hanya ada satu orang yang bisa ditanya. Rama mengambil ponselnya dan menghubungi agennya.
“Di mana?” tanya Rama tanpa basa-basi.
Paviliun nomor tiga dekat kolam koi.
Singkat, jelas, padat. Rama menutup tanpa basa-basi. Dia mendengus kesal. Paviliun nomor tiga baru dilewatinya. Pintunya tertutup rapat tak ada tanda-tanda dihuni manusia. Apalagi itu tempat terjauh dari kediaman pribadinya, yang nantinya akan menjadi rumahnya ketika berkeluarga.
Rama berbalik dengan langkah seribu, disaksikan para penjaga yang tengah melintas patroli. Diam-diam mereka menahan tawa melihat si bungsu yang sudah berumur tiga puluh dua tahun tengah dipermainkan keluarganya sendiri.
“Aaarrrggghhh,” teriak Rama sembari mengendorkan dasinya.
***
Jam diponsel Ruhi menunjukkan pukul lima sore. Dia sudah mandi lagi dan baru mengeringkan rambutnya sembari berbalas whatsapp dengan Andin yang mengabarkan mereka baru tiba di hotel Bali dan tentunya itu salah satu hotel Meranding. Toh yang mengirim liburan keluarganya juga Meranding.
Ruhi terpaku beberapa saat menatap foto di samping ranjang. Pria yang berdiri di sampingnya itu memang dia sudah mengenalnya, tapi hanya sekedar itu. Dia hanya tahu kalau keluarga Meranding adalah orang yang berjasa bagi keluarganya. Dan baru diketahui kalau dia dijual eh salah maksudnya diminta keluarga Meranding untuk menjadi istri anak bungsu mereka yang usianya terpaut 15 tahun lebih tua darinya. Sementara tahun ini Ruhi baru saja 17 tahun.
“Tujuh belas ditambah lima belas,” gumam Ruhi lalu bulu kuduknya berdiri. “Tiga dua, kan?” lanjutnya.
Untung cakep.
“Hahaha.” Ruhi tertawa sendiri lalu menghela napas.
Dia mengingat ucapan Mizzer tentang makan malam bersama nanti pukul tujuh. Masih banyak waktu sampai nanti. Ruhi kembali memegang ponselnya dan mengirim whatsapp ke temannya menanyakan apakah besok perlu masuk sekolah atau tidak.
Belum sempat melihat balasan whatsappnya, Ruhi mendengar suara pintu depan terbuka. Pendengarannya cukup tajam, apalagi paviliun tempatnya berada tidak begitu besar bila dibandingkan bangunan lain. Bergegaslah Ruhi berjalan menuju pintu kamar untuk melihat siapa yang datang. Mungkin ART atau Mizzer sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dipinang Bungsu Miliarder
RomanceSiapa yang tidak mendambakan menikah dengan miliarder tampan dan juga baik hati. Sudah kaya, baik hati lagi. Mungkin hanya satu dua wanita yang tak mengharapkannya, salah satunya Ruhi ini. Tapi bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Rama, Si bungsu m...