Bagian terakhir dari November kali ini memberiku petunjuk untukku bahwa kerinduanku padamu sudah dalam batas ketidakwarasanku. Aku sedang tidak baik-baik saja ketika melihatmu memposting di media sosialmu. Sebenarnya, aku cukup senang sebab senyummu masih saja melekat meski tak pernah bisa kulihat secara dekat. Bagian lain dari ketidakbaik-baik sajaku adalah kau masih saja tidak menghubungiku ataupun membalas pesan yang semalam sempat tidak kubalas sebab kantuk lebih suka merenggut kebersamaan bersamamu.
Sepenggal kata terucap dalam batin membuat kepalaku berisik di dalam sana. Entah dengan alasan apa pertanyaan memasuki wilayah keraguanku. Apakah kau sedang menikmati kesibukanmu ataukah kau belum bisa memberikan waktu luangmu untukmu? Apakah kau sedang tidak ingin diganggu sebab mungkin disana kau lebih ingin sendiri dulu? Ataukah kau memang sudah bosan denganku hingga akhirnya kau tampak sedingin udara kutub? Aku tidak tahu dan aku justru menerka-nerka dengan pikiran berlebihanku yang nantinya tak ingin membuat kau terbebani akan semua pikiranku.
Beberapa saat kemudian, aku mencoba untuk menstabilkan egoku. Berharap apa yang tadinya membuatku kesal karena diabaikan olehmu menjadi hal yang biasa sebab pemakluman karena kesibukanku. Dengan itu, aku hanya ingin memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, tetap akan baik-baik saja. Dalam setiap senyum yang kau hadirkan, aku ingin melihat dan menikmatinya. Senyummu bagai candu untuk semangat hariku. Melebihi kopi yang kau minum saat kantuk melandamu namun banyak yang harus diselesaikan sebab tuntutan waktu.
Aku tidak ingin kehilangan senyummu, aku ingin membuat simpul senyummu selalu ada sebab aku. Aku tidak ingin berjarak darimu, aku ingin selalu berada pada batas terdekatmu. Biarkan aku menunggumu, meski aku tak tahu kapan kau akan menujuku. Aku hanya ingin berlama-lama memandangmu, berada di dekatmu pun ikut serta bagian dari hari-harimu. Namun, dalam sekejap semua membuatku ragu. Perihal centang abu yang menjadi centang biru namun tak kunjung juga mendapat notifikasi pesan masuk pada layar ponselku. Kau memilih memposting apa yang menjadi kesibukanmu tanpa memberitahu kabarmu yang menurutku adalah bahagia sederhana dalam hariku.
Tak ingatkan kau pada mawar yang kuselipkan di daun telingamu, pada tatap mata kita berdua kala pertemuan kala itu, aku meyakini bahwa jiwa kita berdua sama-sama dalam pelukan rindu yang setara, aku menghancurkan semua sekat kegelisahan dalam kesendirian, tak sadarkah kau, tatap mata kita telah membuat sirosis rindu yang menyelimuti hatiku hingga musnah.
Dalam keterpisahan tubuh kita, aku telah menanamkan induksi rindu pada pori-pori tanah hingga dapat dengan mudah mencapai dan membisikkan kerinduanku yang mendalam padamu yang telah menjelma penghuni dari singgasana alam asmaralaya hatiku.
Rindu-rindu ini kian terdiferensial dari angka-angka cinta tanpa limit hingga membuatku menari di setiap detiknya meski pada nafas terakhirku. Jika kau lagi-lagi hadir dalam tualang khayalanku aku akan kembali berdiri dan mendendangkan lagu-lagu cinta meski akhirnya akan bertukar nyawa dengan kegembiraan ini.
Langkahku pada malam-malam meski berdarah akan kulalui dengan tarian-tarian langit, meski rembulan akan bertanya perihal kegilaanku dan mungkin aku terbungkus pada skizofrenia yang tak berakhir. Sesekali tutuplah matamu. Adakah bayangku ada selayaknya aku memimpikanmu? Datanglah duhai wanitaku, aku memohonmu dengan sangat dan sudut yang panjang, dalam hening hatiku meski berdarah tak mampu lagi berpetualang karena telah terpenjara pada senyum dan parasmu.
Andai pertemuan kala itu bisa kuhentikan beberapa jam, aku ingin memeluk tubuhmu dalam waktu yang cukup lama. Mendekap ragamu sambil menikmati iringan alunan lagu yang mewakili keadaanku. Sayangnya, sedikit pun aku tak mampu membuatmu tinggal lebih lama. Kegelisahan yang kau hancurkan sendirian harus terbayar lunas oleh sebuah pertemuan yang lagi-lagi meninggalkan bekas kesedihan. Tak ingatkah saat aku berbisik pada telinga kananmu bahwa kau harus tetap dalam batas bahagia meski seluruh pandanganmu kau tujukan untukku?
Kuselundupkan bongkahan rindu pada akar pohon beringin yang menggantung di sebelah rumahmu walau hujan deras menghantam penuh lebam. Nantinya, jika kau ingin tahu seperti apa perasaan rinduku untukmu, maka kunjungilah sesekali. Atau mungkin kau bisa menjenguknya sebentar. Dan lihatlah, akankah kau melihat akar itu masih menggantung atau justru lepas berhamburan bersama lebatnya angin yang membuatnya semakin hancur?
Meski aku saat ini sedang berdarah-darah dalam batas penantian yang tak tahu kapan tepatnya pulang, aku masih yakin menunggumu pada ruang kebahagiaan yang kau tawarkan dengan ramah kala itu. Lagu-lagu indah yang kau nyanyikan sebelum kantuk membawa tidur pulasku, akan menjadi nada dering setiap malamku.
Kau lelakiku, sewaktu-waktu bintang di langit tak cukup menyinari malammu, pejamkan matamu dan rasakan cahaya yang menyala sedikit di langit gelap itu akan berubah menjadi cahaya yang menyala terang dilangit tembok-tembok kesunyian ruang tidurmu.
Lantunan dawai-dawai waktu di malam hari yang mengisi kesendirianku dalam luka-luka di sudut hati tersimpan dengan rapi pada loker-loker kenangan di masa itu, terdapat sepucuk luka mendalam yang masih saja menusuk ruas-ruas hati dalam kenangan berpeluk hujan basah tanpa gigil. Sepucuk kabar kubisikkan pada angin-angin malam yang memeluk embun di hamparan rinduku
Sudahlah, terkadang tidak semua rindu akan menyenangkan hingga akhir. Mungkin memang kali ini rindu harus menyeramkan sampai menembus batas akhir. Agar hati tak semakin terluka sebab menolak hadir, pejamkan kedua matamu dan rasakan semua sudah sampai di titik puncak. Rasakan bahwa gelora akan rindu sudah mendarat dengan aman meski tidak pernah ada kata murni dari kata aman. Setidaknya, cemas dan sedih tidak nyaring berbunyi pada hati yang selalu dirundung sunyi.
Jika boleh sekali lagi membicarakan perihal rindu untuk yang terakhir kali, aku ingin menyusuri ruang waktu lalu melihat dibalik bilik rencana semesta. Sebab penasaran terbaik saat ini adalah mengapa dipersulit hingga mencekik relung batin kemudian menghebat ringkih. Memberi kejutan pada pelik yang begitu panjang tanpa akhir yang begitu menyenangkan. Menegaskan rasa yang tak boleh menetap indah apalagi melangkah dengan begitu mudah.
Jika mungkin penantian ini menjadi tanda pembuktian sebenar-benarnya kasihku untukmu, ketahuilah bahwa aku sudah berkali-kali memenangkannya. Penantian sebab rindu adalah makanan keseharianku. Kali ini, aku masih selalu tangguh dalam menunggumu. Meski rindu kutahan sendirian, aku harap kau juga sedang merindukan atau mungkin merencanakan sebuah rencana bernama pertemuan. Di sini, aku akan belajar menerima dengan segala bentuk penantian.
Penantian kini adalah kalimat yang amat tabu buatku kini, ia telah serupa padas yang kaku namun ringkih oleh pengabaian darimu. Patah serupa dahan kering yang masih menengadahkan raut wajah yang pseudobulbar dengan lengan berbalut kain kafan ke nabastala dalam rangkaian doa nan lirih.
Usailah sudah tugasku sebagai awan-awan yang menari di atas kepalamu tuk membuat ruai sengit matahari kehidupan, kau telah menemukan pohon nan rindang yang memberikan kenyamanan belaian sehingga aku tak lagi kau cari di teriknya mentari. Pesanku hanyalah satu, "Janganlah kau ceritakan indahnya ruas-ruas pelangi pada seseorang yang mengenalmu namun ia buta akan warna."
"Berjanjilah untuk selalu bahagia...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Bertuan [TELAH TERBIT]
Poesía[Kumpulan Prosa Senandika] TELAH TERBIT di Penerbit One Peach Media, jadi di wattpad cuma beberapa bagian ya. Jika ingin baca bisa pesan di Shopee/Tokped penerbit 💚🙏 Rank #1 quotesoftheday [29-04-22] #5 senandika [29-04-22] #24 prosa [09-05-22] Se...