Setelah dua hari Adena dan Surya tak pernah bersapaan, bahkan saat lelaki keluar dari zona rumahnya dan bertemu mata dengan Adenan yang sedang menjemur pakaian langsung berlari masuk ke dalam.
Begitu hari yang seterusnya.
Jujur, Surya tak tahan diabaikan begitu dan langsung menghampiri tetangganya yang berlari sebab ingin hindari dari dua perkara; dari Surya dan ayahnya.
“Ade, tunggu!”
Surya menahan pergelangan tangannya, dengan bahu naik turun setelah lelah mengeluarkan tenaganya demi mengejar sang hawa memalingkan wajahnya dengan raut muka datar.
“Aku tahu, aku salah telah mengungkapkan perasaanku padamu,” ucap Surya memejamkan matanya sesaat, “tapi aku sungguh dalam hal perhubungan itu, Adena.” Tambah Surya dengan serius.
Adena diam di tempatnya, tak tahu hendak bereaksi apa lagi setelah mendengar kalimat Surya agak sedikit berbeda dengan hatinya.
Surya memaksa Adena menghadapnya dengan benar, kemudian mengunci matanya.
“Aku sungguh, sangat-sangat menyayangimu lebih apapun, bahkan jika keluargaku sendiri mengusirku karena menyukaimu aku rela, tapi aku tidak rela jika dirimu diusir karena aku menyukaimu.”
Surya memegang tangannya, tersenyum nipis, “aku harapkan jawaban darimu, Adena Yumna.”
Dan semenjak itu, Adena tidak pernah lagi berniat menyapanya—dia menolak pemuda itu.
Karena apa?
Karenanya dia sangat berbeda dengan Surya, status dia dan keluarganya berbeda. Keluarga mereka tak mungkin menerimanya yang banyak kekurangan ini. Dan pantas jika dia mendapat caci maki dari mereka.
Adena mengeluh tentang duit, dia benar butuhkan duit demi hindari pukulan dari sang ayah, dia benar butuhkan sebanyak apapun duit itu yang terpenting dia selamat dari pria yang berstatus sebagai ayahnya.
Adena pernah sesekali berpikir untuk menjual tubuhnya sebelum berpikir matang. Dia bahkan sudah membayangkan bagaimana hancurnya dia jika setelah berikan tubuhnya pada orang-orang luar yang berotak mesum.
Terlanjur melamun hingga tak sadar ada orang di depannya langsung menghentikannya, “tch, lihat ke depan bukan ke bawah!”
Peringatan itu langsung menyentak Adena yang mengadahkan kepalanya menatap lelaki yang memiliki rahang begitu tajam, sorotan matanya juga buat Adena terdiam.
Merasa ditatap langsung mengerutkan keningnya marah, dirinya masih membawa semua emosi terkumpul dan menepuk bahu gadis itu berkali-kali, “bisakah kau minggir? Kau menghalang jalanku.”
Berusaha untuk menghormati sosok perempuan, dia teringat akan almarhum ibunya setelah mengamati wajah perempuan itu.
Adena manggut-manggut mengerti, menggeser tubuhnya ke tepi, memberi laluan pada lelaki itu masih memandang dia.
“Apa kau tak bisa berbicara?”
Pernyataan itu sensitif bagi Adena, dia mengigit bibirnya sebelum mengangguk pelan.
Dalam dunia ini, mungkin kebanyakan orang akan mengerjai orang-orang yang memiliki banyak kekurangan dalam dirinya.
Jay cuma mengerutkan keningnya dan memandang bakul dipenuhi bunga-bunga dan menunjukkan bunga itu, “aku inginkan semuanya …”
Adena mengedipkan matanya pelan, dia tidak sangka ada orang sebaik dia — dari pakaiannya seperti anak-anak nakal yang bersiap menghajarnya kapan saja.
Ternyata dia sebaik itu seperti Surya — ah, Adena belum menemui lelaki itu sejak hari itu.
“Hei, jangan melamun! Apa melamun adalah hobi kamu sekarang setelah menjual bunga-bunga di jalanan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Street Florist • Park Jongseong ✓
FanfictionHanya pertemuan biasa antara Adena dan Jay. - STREET FLORIST Karya theonives © 2O21