jalanan yang menyiksa, ayah.

61 16 4
                                    

Toko yang sempat dikunjungi meski hari sudah gelap, namun ada beberapa manusia menongkrong di sana dengan santai termasuklah Adena dan Jay melamun dalam pemikiran masing-masing.

Makanan cuma mi instan saja itupun Adena yang memintanya sementara Jay memakan nasi sesekali melirik sekilas padanya dan memasukkan makan ke dalam mulutnya.

“Kamu yakin makan makanan itu sudah cukup membuatmu merasa kenyang, bunga.”

Mendengarnya karena telah menyebut bunga, sontak Adena berdecak sebal, apa tiada nama yang lain untuk memberikan padanya.

“Aku tidak tahu namamu, makanya aku memberikan nama bunga untukmu, lagipula sangat serasi dengan pemiliknya.”

Adena menunduk. Pemuda ikut tunduk, memerhatikan kemerahan di area kulit wajahnya membuat sudut bibirnya terangkat.

Tidak semudah ini dia berbicara dengan perempuan, ini pertama kalinya setelah ibunya pergi.

Banyak perempuan inginkan nomornya akan tetapi lelaki itu menolak mentah-mentah meski mereka cantik — Adena lebih cantik daripadanya mereka.

Adena sangat berbeda, dia unik.

Itu membuat Jay tenggelam dalam cintanya. Pertama kali bertemu itu pun sudah yakinkan dirinya telah jatuh cinta.

Terkadang merasa jengkel dengan kedekatan laki-laki memandang Adena terutama sosok laki-laki sering menemani Adena itu.

“Bunga,” panggil Jay sambil mengumpulkan nasi dan lauknya di tangannya kemudian menyodorkan tangannya sudah terisi makanan, dan berujar, “makan.”

Adena langsung menggeleng cepat, menutup bibirnya. Begitu bulir kecoklatan itu membesar di antara putih polos lebar itu.

“Makan,” pinta Jay menyodorkan tangannya lagi, tetap ditolak Adena.

Siapa yang mahu makan disuapi oleh orang asing telah membantunya. Bahkan tiada apapun yang dicampurkan di dalamnya tetap Adena harus berwaspada — apalagi minuman dibeli Jay untuknya.

Cemilan itu cepat-cepat dia mengambil dari tangan Jay dan memeluknya kuat untuk memastikan Jay tak berani mengambil itu dan benar.

Cemilan itu selamat, kecuali minuman dan makanan di tangan Jay agak curiga.

Melihat gelagat Adena sedari terus mengamati makanan di tangannya lekas ingin menyuapi dia malah ditolak.

Seakan membaca pemikiran Adena, lelaki itu mengerti.

Dia terkekeh sambil membuka penutup botol sebelum menuangkan air dingin itu ke tangannya untuk membersihkan sisa nasi melekat pada jemarinya.

“Kamu pasti memikirkan hal yang tidak-tidak, ya?”

Jay senyum, menutup botol itu sambil menggerakkan piring itu pada Yuna.

“Makanlah, aku tak meletakan apapun di dalam sana. Jika ada, aku juga akan terkena karena sikap ceroboh aku sendiri, ‘kan?”

Adena diam. Benar juga, batinnya.

Dia menatap nasi dan Jay secara gantian.

Sebuah tangan menahan tangannya menyentuh makanan yang mengeliurkan perutnya.

“Adena …”

Adena mengangkat kepalanya dan terperanjat saat menemukan Surya menahan tangannya dengan napas memburu.

“Kamu sedang apa malam-malam begini?” Surya melirik Jay sekilas, “bersama laki-laki preman ini, berduaan?”

“Jangan memfitnah, aku cuma membantu dia.”

Street Florist • Park Jongseong ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang