01. Hari Yang Panjang

37 7 1
                                    

"Bekal Fabien katanya lo yang bikin, 'kan? Mana?" Kalura bertanya pada seorang gadis berambut blonde di depannya.

"Bekal? Gue nggak bikin."

"Loh? Kan lo yang bilang kemarin, Yum. Dia udah ngamuk-ngamuk di kelas gue." mengingat sifat pemuda itu, Kalura harus menuruti semua perintahnya.

Gadis berambut blonde itu menggedikan bahunya. Pertanda tidak peduli. "Ohh, gue nggak peduli, sih." ia bahkan tidak merasa bersalah.

"Denger ya," gadis itu meraih bahu Kalura dan menatapnya remeh. "Gue bilang kemarin buat caper aja. Dan buat urusan gue bikin bekalnya atau nggak kan terserah gue!" katanya.

Lalu, bahu sempit itu ia dorong. "Pergi sana! Bikin muak aja pagi-pagi."

Tanpa sepatah kata pun, Kalura pergi meninggalkan empat gadis yang tengah tertawa di belakang. Sudah pasti, ia menjadi bahan gunjingan.

"Mana?"

"Apanya?!" baru saja Kalura sampai di kelasnya, pemuda itu sudah bertanya. Ia sungguh kesal hari ini. "Bekal lo nggak ada, Yumna nggak bikin."

"Loh? Kok bisa?"

"YA NGGAK TAU!" Kalura berteriak. Ia merasa seluruh emosinya sudah berada dipuncak. Mulai dari tidurnya diganggu, disuruh mengambil bekal, lalu berakhir ditertawakan. Manusia memang sulit.

"Yaudah, nggak usah teriak 'kan bisa."

Kalura melirik sinis pemuda disampingnya. "Lo pikir aja sendiri, anjing." desisnya kasar.

Seluruh pasang mata pun menatap dirinya dengan tatapan kaget. Ya, mungkin mereka pertama kali mendengar Kalura mengumpat. Dan itu karena seorang pemuda yang seenaknya sendiri.

"Lura, dengerin gue." pemuda itu meraih rambut Kalura dan menariknya untuk mendekat. "Lo itu cuma sekretaris, nggak lebih. Jangan pikir bisa seenaknya."

"Lo yang seenaknya! Dipikir hidup gue cuma ngurusin lo, apa?!" Kalura bersungut-sungut.

Pemuda itu berdiri, sebelumnya melepas tarikan rambut terhadap sang gadis. "Karena lo babu gue, 'kan?" diakhiri seringaian tipis.

Bruk...!

"Aduh! Apa, sih?!" Kalura spontan berteriak tatkala seseorang menabraknya dari belakang. Apa lagi, bakso yang tengah ia bawa tumpah mengenai seragamnya.

Ia menoleh ke belakang, mendapati seorang pemuda yang mengulurkan sebuah sapu tangan. Tatapannya itu, kepalang datar.

"Apa?" Kalura bertanya.

"Ambil ini, seragam lo basah." ucapnya.

Kalura menggeleng, "Nggak usah. Lagian sapu tangan kayak gitu buat apa?" tolaknya ketus. Ia sungguh kesal, rasanya ingin melempar mangkuk bakso itu ke arahnya jika bukan di sekolah.

Hari ini sial sekali, sudah pagi-pagi diganggu waktu tidurnya, siang pun ketumpahan bakso. Nanti sore dan malam apa lagi yang akan menimpanya?

Bisik-bisik mulai terdengar, sudah pasti mereka membicarakan Kalura. Ah, bahkan kalau bisa di ukur dengan termometer, emosinya sudah melebihi 100 derajat.

infallible, jaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang