03. Sudah Takdirnya

8 1 0
                                    

"Jadwal?"

Kalura membuka catatan yang berisi tentang beberapa kegiatan dengan waktunya. Ia meraih kacamata lalu kemudian membaca jadwal sore ini.

"Sore ini lo les, terus malamnya sekitar jam tujuh makan malam bareng keluarga tanpa ayah lo. Katanya mama lo pulang juga, 'kan?" Fabien mengangguk.

"Nggak ada yang free?" tanyanya dan menatap Kalura.

Gedikan bahu sebagai jawaban. "Gue nggak tau, mungkin abis makan malem, kali?"

Terdengar helaan nafas. Fabien menyisir rambutnya ke belakang. Suasana hatinya tiba-tiba berubah setelah mendengar jadwal kegiatannya. Saat ini, ia masih betah berada di kelas Kalura. Mumpung sedang istirahat katanya.

Kalura melirik Fabien, ia agak kasihan dengan pemuda itu yang setiap harinya harus mengikuti jadwal. Mungkin rasanya tidak bebas seperti anak yang lain, tapi mau tidak mau Fabien harus mengikutinya.

Karena, menurut Fabien itu sudah menjadi takdirnya.

"Beliin gue rokok, Ra. Sepet mulut gue."

"Nggak mau," ia menggeleng. "Masih di sekolah kalau lo lupa. Bisa kena skors nanti." Kalura kembali fokus membaca.

Ia membaca beberapa buku yang dipinjam dari perpustakaan tempo lalu. Olimpiade Sains sekitar 3 bulan lagi, dan ia harus menguasai semua materinya. Gadis itu tampaknya fokus, membuat pemuda di sebelahnya berdecak sebal.

Fabien berdecih, "Pantes minus, baca mulu, sih."

"Bacot," sembur Kalura. "Gue gini biar dapet piagam, terus dapet beasiswa juga nanti. Lo enak, tinggal daftar udah beres." balasnya sarkas.

"Nggak ada yang enak di dunia ini." Fabien melirik Kalura sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan. "Mau sekaya dan sepintar apapun orang kalau bukan takdirnya ya percuma."

"Otak lo abis kejedot satelit bagian mana? Kok waras?" Ejek Kalura. Gadis itu bahkan terang-terangan tertawa.

"Gue serius," Fabien mendengus kesal.

"Iya deh, si paling serius."

"FABIEN!"

Keduanya menoleh secara bersamaan. Tampaknya, seorang gadis tengah berlari menghampiri. Gadis berambut blonde itu membawa paperbag yang entah apa isinya, mereka tidak tahu.

Ia memasuki kelas tempat mereka berdua duduk bersama.

"Gue bawain bekal, dimakan ya." tanpa permisi Yumna mendudukan dirinya di sebelah Fabien, sebelumnya ia mengusir Kalura.

"Fabien alergi udang, nanti dia gatal-gatal." komentar Kalura. Ia melihat sekilas Yumna membuka kotak bekal mewah itu.

"Kenapa lo nggak bilang, sih?" decak Yumna. "Jadi sayang 'kan, bekalnya."

"Lo nggak nanya," balas Kalura. "Lagian, sejak kapan lo bisa masak? Lo ikut kursus?"

"Iya lah," Yumna menebar rambutnya ke belakang. "Buat apa gue bela-belain kursus kalau bukan buat Fabien?" Kalura memutar bola matanya malas.

Mulai lagi, misi cari perhatian.

"Nggak perlu." Fabien yang sedari tadi menyimak, akhirnya membuka suara. "Gue udah punya babu."

Yumna menatap Fabien bingung, "Siapa? Bona? Juwita?"

"Kalura."

Brak...!

"Makan tuh, ensiklopedia!"

Buku tebal itu sukses mendarat tepat di kepala Fabien. Pemuda itu meringis, sial sekali. Padahal apa yang dikatakannya juga benar, 'kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

infallible, jaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang