02. Permintaan

10 1 0
                                    

Langit senja telah pergi, berganti dengan malam sunyi bertabur bintang. Gemuruh udara dingin menyapu kota, seolah tengah memberi tanda.

Kalura masih duduk di sofa ruang tengah sembari menunggu ayah dari Fabien datang. Sudah hampir empat jam ia menunggu, namun tidak kunjung datang.

"Abi, gue mau pulang." tutur Kalura. Ia merasa lelah dan bosan. "Nggak usah anterin, gue pesan gojek aja."

Fabien, pemuda itu menoleh. "Bentar lagi ayah pulang, nggak usah rewel." ucapnya dan kembali menyuapkan keripik kentang ke dalam mulut. Fokus menonton film kesukaannya.

Ting-tong!

Ceklek!

"Ayah pulang," terdengar suara dari pria hampir berkepala lima itu menginterupsi. Langkah kakinya pun masuk ke dalam, dan sontak melihat dua anak SMA yang tengah menonton TV. Mereka menunggunya?

"Kalian nungguin ayah?" tanya beliau dan menghampiri keduanya.

Fabien menggeleng, "Kalura yang nungguin. Abi nggak." ia menjawab tanpa mengalihkan fokus dari TV.

Kalura tersenyum. Fabien, cowok ini seenaknya sendiri. Padahal sendirinya yang memaksa untuk menunggu ayahnya. "Ada apa om manggil saya?" tanpa basa-basi, Kalura bertanya.

Ayah beranak satu itu menepuk puncak kepala Kalura. "Saya titip Abi. Soalnya dua minggu nanti, saya ada urusan di luar kota, Nak Lura." jawab beliau. Ini permintaan.

"Om berangkat kapan kalau boleh tau?"

"Besok pagi."

"HAH?!" pekik Kalura spontan.

Fabien langsung menyumpal mulut gadis berambut gelombang itu dengan keripik kentang. "Berisik! Gitu aja kaget, lebay lo." komentarnya.

Ditatapnya dengan tajam. "LO PIKIR NURUTIN SEMUA PERMINTAAN LO ITU MUDAH, HAH?!" Kalura menjambak Fabien hingga pemuda itu mengerang.

"UNTUNG AJA DIBAYAR, KALAU NGGAK GUE JUGA NGGAK MAU NGURUSIN MANUSIA KAYAK LO!" lanjutnya berteriak.

"Ra! Lepasin, anjing! Sakit kepala gue!" pekik Fabien meminta. Ia merasa kepalanya hampir copot karena gadis ini menjambaknya dengan brutal.

"BODOAMAT! RASAIN NIH RASAIN!"

Merasa menjadi nyamuk, ayah beranak satu itu hanya tersenyum sembari mengelus dadanya. Untung besok ia sudah berangkat, mengingat dua sejoli ini sungguh luar biasa dalam masalah bertengkar.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Selesai membersihkan diri, Kalura menghampiri ibunya yang sedang membaca majalah di ruang tengah. Ditemani secangkir teh hangat, menambah kesan nyaman di sana.

"Ibu, kok belum tidur?" tanya Kalura. Ia pun duduk di sebelah ibunya.

Sang ibu tersenyum, dan meraih rambut Kalura. "Ibu nungguin kamu, Ra. Soalnya khawatir, jam segini kok belum pulang. Ternyata di rumah Fabien, kenapa nggak bilang?" tanya beliau lembut.

Kalura menghel nafasnya panjang. Gadis itu menyenderkan kepalanya pada bahu sang ibu. Ia merasa nyaman, lalu dua mata itu terpejam. "Lura tadi ngurusin buku buat Olimpiade Sains, terus Yumna nelpon suruh cariin taxi, dan diajak Fabien ke rumah karena om Angga mau bilang sesuatu." jawabnya.

"Battery-nya juga lowbat, jadi nggak bisa ngabarin ibu. Maaf ya, udah bikin ibu khawatir." lanjut Kalura dan menatap ibunya.

"Nggak apa-apa, yang penting kamu pulang ibu udah lega rasanya." Ibu bernama Frieda itu tersenyum lembut. Elusan tangan terhadap rambut anaknya pun masih ia lakukan.

"Ngomong-ngomong, Ra. Ayah tadi datang ke rumah." ucap Frieda setelah beberapa saat ada keheningan.

"Ada urusan apa ayah ke rumah?"

Lagi-lagi, ibu satu anak itu tersenyum. "Ayah ingin kita bercerai, suratnya sudah ada di ibu. Dan dia minta Lura ikut ayah."

Kalura termangu. Hatinya mendadak sesak dan berat. Haruskah berakhir secepat ini? Bahkan melihat senyuman ibunya yang tulus, itu sebuah kepalsuan.

Pukul 10.15 di laboratorium sains, Kalura bersama Kairo masih bimbingan. Sudah satu jam berlalu, namun tampaknya wanita yang merupakan guru pembimbing itu enggan menyelesaikan.

Kalura beberapa kali menguap. Ia merasa sangat mengantuk, bahkan kantung matanya tercetak jelas.

"Jadi, ada sistem seleksi lagi setelah pendaftaran. Semua peserta wajib ikut dan hanya 100 anak yang dipilih. Saya harap kalian bisa lolos seleksi." ucap guru pembimbing, Hanida.

"Sistemnya tes?" tanya pemuda yang menjadi partner Kalura, Kairo.

"Tes, karena ini akan mengetahui seberapa besar kemampuan. Mungkin materinya mirip seperti tahun lalu. Pelajari saja materinya." Bu Hanida memberi arahan.

Kairo pun mengikutinya, tidak dengan Kalura yang sibuk memikirkan cara mempertahankan keluarganya yang sudah berada di ujung. Ia bergelut dengan pikirannya yang seolah saling beradu. Sampai, arahan dari guru pembimbing pun tidak ia hiraukan.

"Kal, jangan ngelamun." ucap Kairo. Ia menyenggol lengan Kalura. Membuat gadis itu berdecak.

"Ck, ganggu aja." gumam Kalura. Merasa lebih pusing dari biasanya, dan jujur saja itu membuatnya lebih lelah. "Bu, bisa ulangi lagi penjelasannya?" pintanya.

Bu Hanida tampaknya menggeleng. "Saya sudah hampir berbusa memberi kalian arahan dan kamu seenaknya minta diulang. Tanya saja pada Kairo, dia mendengarkan semuanya." jawab beliau sedikit ketus. Wajar, mengajar itu melelahkan.

Kalura mendengus, lalu menatap Kairo. "Ro, tadi—"

"Datang ke kafe dream light nanti malam jam delapan, gue tunggu."

Kenapa semua orang seenaknya sendiri, sih?!

"Katanya, bokap lo mau cerai?" pertanyaan itu keluar dari mulut seorang gadis.

"Iya," sebenarnya Kalura merasa agak sensitif akhir-akhir ini. Apalagi ditambah tamu bulanan. "Gue nggak nyangka bakal gini."

Yumna, gadis itu memiringkan kepalanya. "Yaa, gue nyangka aja sih. Toh, ibu lo udah tanda tangan juga, 'kan? Jadi, nggak masalah." ucapnya tanpa mengerti perasaan.

"Tau darimana ibu gue tanda tangan? Gue nggak ngerasa bilang sama lo, Yum." Kalura heran, pasalnya ia merasa tidak pernah membicarakan hal sensitif ini ke siapapun. Bagaimana bisa tahu?

"Mama gue sendiri yang bilang," senyum miring itu terlukis di wajahnya. "Karena ayah lo lebih milih mama gue. Jadi, lo bisa apa? Mau sujud atau ngelakuin segala hal biar mereka balik juga percuma. Udah takdirnya, Ra."

"Lagian, mama gue jauh lebih baik. Tau sendiri lah ibu lo penyakitan. Apa tuh namanya? Asma? Ahh, iya. Cuma nyusahin tau nggak?" dalam hati Yumna tertawa. Dasar gadis bodoh.

BRAK!!

"DIAM!"

Gebrakan meja terdengar. Kalura mengigit bibir bawahnya. Emosinya kembali memuncak, ia menatap Yumna dengan tatapan seperti ingin menguliti gadis itu. Bisa-bisanya ia berucap tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Wah, lo marah?" lontar Yumna disertai senyuman mengejek.

"Yumna, kalau gue rebut posisi lo itu, lo mau apa?" tanya Kalura menekan disertai tatapan tajam.


TO BE CONTINUED

infallible, jaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang