Happy reading🐜
Riana menatap cucunya yang duduk diam di sofa single. Celi terlihat diam tanpa melakukan gerakan apapun, ini bukanlah hal yang baru. Hal seperti itu sudah menjadi pemandangan biasa baginya.
"Celi?" Tenggorokan Riana terasa tercekat begitu gadis kecil itu menoleh dengan pandangan kosong.
Wanita paruh baya itu berjalan mendekat dan menatap lekat wajah cucunya yang terlihat sangat kosong. Tidak ada ekspresi yang berarti, hanya tatapan kosong dengan wajah datar. Jika saat saat begini Riana selalu merasa cucunya sangat jauh, tangannya terulur membelai lembut puncak kepala Celi.
Tidak ada reaksi apapun yang di berikan. Tubuh cucunya bagaikan raga tanpa jiwa, walaupun sudah biasa terjadi tapi Riana belum dapat membiasakan diri.
Sudah berulang kali mereka menemui orang pintar, tetapi tidak ada satupun dari mereka yang mengetahui apa yang terjadi pada cucunya. Tidak ada kejanggalan yang mereka temui selain Celi yang terus diam bagai tubuh tanpa jiwa. Mereka juga sudah membawa Celi ke psikolog, tidak ada satupun dari mereka yang dapat membantu cucunya kembali.
Mereka hanya dapat menunggu cucunga kembali normal dengan sendirinya. Biasanya cucunya akan normal satu atau dua minggu ke depan.
Tanpa kata Riana meletakkan nampan berisi makan siang Celi ke atas meja. Tanpa di perintah tangan mungil itu meraih satu potong roti yang di sajikan padanya dan sedetik kemudian roti itu sudah berlabuh di mulut kecilnya.
"Cepat kembali." Riana kembali membelai kepala cucunya sebagai salam perpisahan sebelum wanita itu keluar dari kamar bernaunsa pink itu.
Riana keluar tanpa tahu jiwa cucunya berada di sebelah raga kosong gadis itu. Celi terus memanggil wanita itu berharap suaranya dapat di dengar, dia ingin menyusl tapi tidak bisa di karenakan kakinya yang di lilit oleh rantai, semakin Celi berusaha melawan, rantai itu akan semakin menariknya.
"Rantai sialan!" Celi memaki, dia sebenarnya ketakutan. Namun gadis kecil itu ingin berusaha terlihat tegar agar nenek tua gila yang akhir akhir ini mengganggunya tidak kesenangan.
"Hahaha... Menyerah saja gadis kecil. Datanglah kepadaku."
"Mimpi aja lo nenek tua!" Tidak ada rawut polos dan perkataan manis yang sering Celi tunjukan, gadis kecil itu menunjukkan jiwa dewasanya sepenuhnya.
Walupun dia terlihat kecil, wajahnya tidak menunjukkan demikian. Dia menatap nenek tua itu dengan sorot bengis, dia masih mampu bertahan meski hantu tua itu sudah sedari dulu ingin membawanya pergi.
"Ikutlah denganku, akan kujamin kau tidak akan merasa kesepian."
Suara itu kembali mengalun, Celi menggeram. Ingin sekali dirinya menendang nenek tua itu pergi, tapi apalah daya. Untuk bertahan saja dia sudah membutuhkan usaha keras, dia tidak punya tenaga untuk menendang hantu tua itu.
"Apa sih mau lo! Gak bisa apa ngeliat hidup orang tenang."
"Aku menginginkan jiwamu."
"Jangan harap!"
Rasanya Celi ingin menangis saja, dia tidak bisa terus terusan berada di posisi seperti ini. Sering kali tanpa peringatan jiwanya tertarik keluar seperti ini. Celi sangat kesal karena tidak bisa melawan, tidak ada hal yang bisa dia perbuat untuk menyingkirkan hantu tua itu.
Dirinya sudah sangat lelah, Celi berharap suatu hari nanti penderitaanya ini akan berakhir. Dia tidak ingin terus menerus berurusan dengan makhluk mengerikan seperti nenek tua itu.
Ketika nenek tua itu menghilang, barulah Celi bisa beranfas lega. Gadis kecil itu kini hanya tinggal berusaha kembali masuk kedalam tubuhnya, jangan sampai ada makhluk lain yang menempati tubuh kosongnya itu.
🐚🐚🐚
Rion berdiri menghadap keluar balkon. Di antara jari telunjuk dan tengahnya terselip sebatang rokok yang menyala. Wajahnya tetap datar, tidak ada yang mengetahui apa yang sedang papa muda itu fikirkan.
Angin malam meniup rambut pemuda itu yang agak panjang. Dia menghisap rokoknya sekilas sebelum menjatuhkan puntung rokok itu ke lantai dan menginjaknya.
Dia memejamkan mata menikmati angin malam yang menerpa wajah, menghembuskan nafas dengan kasar berharap masalah yang sedang di pikulnya ikut terhempas.
Ekspresi tenang itu tidak bertahan lama sebelum tiba tiba pemuda itu meledak memukul pintu balkon hingga terbanting dengan kuat. Wajahnya terlihat menggelap, entah apa yang membuatnya tiba tiba emosi begitu.
"Maaf." Suara lirihnya tersapu angin malam yang terasa sangat dingin.
Riana yang berniat memanggil anaknya turun untuk makan malam bersama berhenti di ambang pintu, dia menatap sendu punggung tegap anaknya yang terlihat sangat rapuh di matanya.
Entah cobaan apapun yang sang pencipta berikan pada keluarganya kali ini. Riana berharap mereka segera menemukan titik terangnya.
Tak lama wanita itu berbalik dan kembali menutup pintu kamar Rion dengan hati hati, membiarkan anaknya itu untuk sendiri kali ini. Riana fikir Rion butuh waktu sendiri untuk mengendalikan emosinya.
°°°°
Bye
KAMU SEDANG MEMBACA
CELI versi 2 [On Going]
Fantasy⚠️ BUKAN SQUEL☑️ 🍁🍁🍁 "Appa iyit." (Papa pelit.) "Serah gue dong." "Appa ahat!" (Papa jahat!) "Bodo amat." "Appa eyek!" (Papa jelek!) "Minta di gampar nih bocah." Rank: In 06 #osis 20 Februari 2022 🍁🍁🍁 Selamat datang di cerita CELI namun dalam...