Purple

12 0 0
                                    

Waktu adalah musuh terbesar kehidupan. Kekuasaan universal yang hanya takluk oleh akhir dunia. Bahkan ketika dunia itu sendiri tengah merangkak menuju akhir, waktu masih sempat menyisipkan gelombang kejut yang menciptakan guncangan baru.

Tahun 2142.

Sedari awal, kaum adam memang tak pernah lebih banyak dari kaum hawa. Wanita selalu mendominasi. Tetapi sejak dilakukannya reformasi dunia besar-besaran oleh sebuah organisasi anti-pria dua puluh tahun silam, segalanya berubah.

Wanita menguasai hampir seluruh aspek penting di dunia. Berbagai sektor utama di negara-negara maju diambil alih oleh wanita. Pria tidak dibutuhkan. Mereka dibuang dan disingkirkan ke sudut. Diskriminasi akan kaum adam merajalela, dan mencapai puncaknya lima tahun terakhir saat wanita juga menduduki seluruh kursi pemerintahan.

Jepang adalah yang terparah.

Negara dengan teknologi dan kemajuan mengerikan yang memiliki tingkat kelahiran dibawah rata-rata. Dengan status seperti itu, pemerintah dengan mudah mengubah tatanan dalam negara, menghapus aturan lama dan menciptakan perintah baru, membawanya melejit menduduki peringkat pertama di dunia sebagai negara tak kenal ampun bagi laki-laki.

Tak ada pria yang dipekerjakan untuk posisi tinggi. Mereka hanya dijadikan buruh, pelayan, pemungut sampah, budak, dan yang paling marak adalah penghibur sewaan.

Jumlah laki-laki menyusut drastis. Pernikahan tak pernah lagi terjadi, hanya dilangsungkan berdasarkan kontrak atau kehendak wanita yang ingin punya anak perempuan. Kalaupun ada kelahiran diluar pernikahan, setiap bayi laki-laki selalu disingkirkan.

Tak ada ruang bagi lelaki. Pria dianggap sebagai simbol keegoisan yang terlalu lama menguasai dunia dan menjadikan wanita sebatas mainan belaka. Dan kini, kaum hawa bangkit untuk membalas dendam, dan menciptakan mimpi buruk yang lebih mengerikan.

• ♬♪♩ •

Shibuya, 26 Mei 2142.

Kota sangat ramai hari itu. Jalanan didominasi oleh cewek-cewek remaja yang sedang shopping atau sekedar hangout dengan teman. Lampu di setiap bangunan, yang sebagian besar berwarna pink, ungu, dan biru menciptakan gradasi warna khas Shibuya di atas trotoar yang serupa layar kelabu.

Agak jauh dari keramaian pusat kota, di jalan yang lebih sepi dengan jajaran bar dan kelab malam, berjalan seseorang dengan hoodie hitam kusam dan topi yang menutupi wajahnya. Ia melangkah masuk ke salah satu bar dengan plang bertuliskan "+α-mart," yang sangat menjebak karena sering dikira orang sebagai minimarket.

Pemandangan ruangan penuh warna ungu pun menyambut mata begitu pintu bar terbuka.

Tidak ada pengunjung disana. Hanya ada pemilik bar yang berdiri di belakang counter dengan outfit serba-ungu minim bahan, jelas seorang wanita. Layar transparan kecil di meja menunjukkan namanya. 'Alfakyun'.

"Ada yang bisa kubantu? Menginginkan minuman untuk menghabiskan malammu?," tanyanya anggun.

Si hoodie kusam tampak ragu. "Satu anggur biasa... untuk dibawa pulang,"

Raut wajah Alfakyun langsung berubah mendengar suara berat itu.

"Kau laki-laki?" tanyanya dingin.

Yang ditanya mengangkat wajah, menampakkan raut gelisah seorang pria yang kemudian mengangguk pelan.

Alfakyun mengamati pria di depannya dengan jijik, sesaat kemudian pergi mengambilkan pesanan pria itu.

"Delapan ribu,"

Manik ungu sang pria membelalak. "De-delapan??! Tapi minggu lalu masih empat ribu--,"

"Lalu kau pikir selama itu harga anggur tidak naik? Pemerintah yang menaikkan harga, aku hanya mengikuti pasar. Kau tidak terlalu dungu sampai nggak mampu melihat berita, kan?,"

-Utaimashou- Let's Sing!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang