1. Kembali Ragu

19 2 0
                                    

"Apa tidak ada kata lain selain kata berpisah?" Ibu balik bertanya kepadaku. Pertanyaan yang sama ketika aku mengutarakan keinginanku untuk menggugat cerai Mas Hilmi.

"Iya Ibu." Aku tidak berani menatap wajah ibu yang sudah bisa ku tebak bagaimana ekspresinya.

Setiap kali aku mengatakan ingin bercerai dari Mas Hilmi, wajah ibu yang teduh seketika menjadi murung lalu disertai dengan hembusan napas panjang dan berat. Hati ibu kembali tersayat.

Aku tahu, kesedihan itu akulah penyebabnya. Aku yang menanam benih kepedihan itu di hatinya. Bukan orang lain, bukan juga Mas Lintang dan Mbak Mira kedua kakak ku yang telah mampu menunjukkan hubungan keluarga yang harmonis, pernikahan yang bahagia.

Berbanding terbalik dengan pernikahanku yang sudah berjalan hampir satu tahun. Pernikahan yang hambar, tanpa bumbu penyedap cinta dan kerinduan. Hubungan yang tidak terikat karena hanya memakai lem bernama -yang penting menikah-. Hubungan yang tidak bisa berjalan normal, karena tidak memiliki pedal kasih sayang untuk saling mengayuh.

Ibu sangat bahagia melihat keharmonisan rumah tangga anak sulung dan anak keduanya itu, sedang dengan rumah tanggaku ibu hanya menatap nelangsa. Setiap kali ada acara keluarga, aku dan Mas Hilmi tidak pernah duduk satu forum dan tertawa bersama walau hanya sekedar tersenyum. Kami tidak bisa saling berbagi perasaan, juga tidak bisa saling bergandengan tangan walau hanya pura-pura.

"Apa Hilmi seburuk itu di mata kamu Nak?"

Aku diam

Rupanya ibu masih berusaha mempengaruhi pikiranku agar mau menarik kembali keinginanku untuk bercerai dari Mas Hilmi. Ibu seperti tidak rela jika aku hidup terpisah dari lelaki yang tidak pernah memberiku perhatian apalagi cinta dan segala tetek bengek percintaan layaknya orang yang sedang kasmaran.

"Apa Hilmi tidak pernah melakukan satu kebaikan pun di hidup kamu Nak?"

Aku masih terdiam

Ah Ibu, kenapa ibu terus saja merayuku dengan kalimat ibu yang tidak bisa ku terima pembenarannya. Katakan ibu, aku harus menjawab apa ketika ibu sudah bertanya seperti itu kepadaku. Bukankah ibu sudah tahu jika aku tidak bahagia dengan pernikahanku.

"Aku akan mencari kembali jawaban atas pertanyaan ibu yang selalu tidak bisa ku temukan jawabannya" Pada akhirnya kalimat itu juga yang ku sodorkan pada Ibu, demi sedikit memberinya rasa tenang meski keputusan aku tetap bulat. Bercerai.

Beberapa saat kemudian, aku melihat gurat kesedihan di wajah Ibu berangsur memudar. Ia tersenyum. Aku lega namun juga merasa bersalah, dan tidak tahu seberapa dalam lagi aku akan melukai hatinya sebagai anak durhaka yang tidak bisa memberi kebahagiaan di masa senjanya.

"Kamu sudah makan?" Ibu membelai rambutku sembari mengatakan bahwa dirinya ingin menikmati semangkuk bakso Cak Wandi yang berada di ujung gang.

"Aku belikan dulu ya Bu," pamit ku padanya. Ku ambil jaket yang tadi ku buang sembarangan di atas sofa ruang tamu, dan sengaja merogoh kedua sakunya guna mengambil kunci motor.

"Apa yang kamu cari?" Rupanya Ibu menyadari kebingunganku yang sedang mencari kunci motor, sedang aku sendiri sering lupa meletakkan kunci motor. Sungguh ini sebuah kebiasaan buruk yang masih aku pupuk hingga subur, bahkan aku seolah tidak ingin berubah dengan membiasakan diri meletakkan kembali sesuatu pada tempatnya. Kebiasaan itu terus saja aku ulangi, ulangi dan ulangi lagi hingga ribuan kali.

Hal itu juga yang membuat aku tidak bisa mengembalikan keceriaan yang dulu selalu melekat pada diriku, Misti si gadis yang telah terenggut tawanya sejak penghulu menyatakan sah pada pernikahanku.

"Aku lupa menaruh kunci motor," jawabku sambil terus mengedarkan kedua netra ke seluruh sudut ruangan yang ada di rumah ibu. Bahkan aku nekad mereka ulang adegan saat aku sampai di rumah yang banyak menyimpan kenangan tentang diriku.

I'am Not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang