9. First Kiss

2 0 0
                                    

"Misti. Ayo cepat, kasih Hilmi nafas buatan!"

Ibu terus memaksaku untuk memberi nafas buatan kepada lelaki yang kini tergeletak di lantai, namun hatiku masih terluka mengingat perlakuannya kepadaku.

"Tidak ibu," tolakku dengan tegas.

Sama seperti ibu yang terus memaksaku untuk memberi nafas buatan kepada Mas Hilmi.

"Ibu mohon Nak!" Kalimat itu yang terus keluar dari bibir ibu.

Ibu menggenggam jemariku. Tangan ibu bergetar. Aku menangkap sebuah ketakutan yang sangat besar mengendap di pelupuk matanya. Aku tidak tahan melihat ibu yang terus mengiba demi manusia sedingin Mas Hilmi.

Aku menatap lekat kedua bola mata ibu yang berwarna kecoklatan, mencari alasan yang kuat agar aku bisa ikhlas melakukan perintah ibu yang sudah mengiba penuh harap.

"Misti. Bagaimana jika dia meninggal. Orang akan mencurigai kita Nak." Ibu menyatukan kedua telapak tangannya. Air mata yang tadi tertahan, kini tumpah membasahi pipinya.

"Ibu aku mohon, jangan seperti ini!" Aku menggapai kesepuluh jemari ibu. Menciumnya dengan penuh kasih sayang sambil merutuk pada diri sendiri, "anak seperti apa aku ini, yang tega membiarkan ibunya mengiba seperti pengemis. Durhaka kamu Misti."

Aku mengalihkan pandangan mata pada tubuh yang kini terkapar tidak sadarkan diri. Segera aku memberi Mas Hilmi nafas buatan, sesuai langkah dari materi yang pernah aku terima saat mengikuti kegiatan Pramuka.

"Misti apa yang kamu tunggu Nak!" Suara ibu yang naik satu oktav membuyarkan lamunanku. Entah apa yang baru saja aku lakukan di depan wajah Mas Hilmi yang berjarak hanya lima centimeter dengan wajahku.

"Ah iya ibu"

"Maaf bila aku mengusik kamu. Semua ini aku lakukan karena terpaksa. Jika bukan karena ibu yang meminta mungkin sudah ku guyur  wajahmu dengan air." Aku menggumam dalam hati.

Cukup dengan tiga kali tiupan, Mas Hilmi sudah tersadar. Seketika tubuhku terasa lemas sekaligus merasa lega karena Mas Hilmi selamat. Jujur aku tidak rela, bibirku sudah tidak perawan dengan cara yang tidak estetik seperti adegan di dalam drama korea. Namun, keadaan yang memaksa demikian.

Setelah mendengar Mas Hilmi terbatuk-batuk, ibu bergegas menarik bantal duduk yang tersedia di kursi. Lalu meletakkan kepala Mas Hilmi lebih tinggi dari tubuhnya.

"Hilmi. Kamu tidak papa Nak?," tanya ibu dengan nada penuh kekhawatiran.

Mas Hilmi menganggukkan kepalanya pelan. Ia tidak punya tenaga untuk mengeluarkan suaranya walau hanya satu kalimat.

"Misti, minumlah. Pasti, tadi Kamu juga khawatir dan takut sehingga wajahmu terlihat sangat pucat," ucap ibu yang sudah selesai memberikan obat pada Mas Hilmi.

"Iya ibu." Ku raih gelas keramik berwarna coksu dengan sedikit corak bunga berwarna senada, itu adalah gelas kesukaanku. Lalu ku tuangkan air dengan tangan gemetaran. Mungkin gelas itu habis dipakai ibu dan belum dibawa ke dapur.

Aku tahu ibu dan Mas Hilmi memperhatikan gerakan tanganku yang Tremor, dan tidak bisa ku kendalikan akibat perasaan campur aduk yang kini sedang menyelimuti hatiku. Sedih, bahagia, dan marah, semua emosi itu bertemu dalam satu situasi.

Tanpa ku duga, kelima jari kiri Mas Hilmi memegang tanganku yang begitu dingin. Ia tersenyum. kulit putihnya bersinar seperti mentari, tapi hatiku tidak terketuk untuk memberinya cinta walau hanya sedikit.

Aku akui, lelaki di depanku itu memiliki paras yang begitu menawan seperti Kyungso si Oppa K-Pop. Namun bukan tipeku, sebab ia tidak bisa menjadi rumah yang hangat untuk istrinya. Sedangkan aku butuh sosok lelaki yang seperti Mas Lintang, penyayang dan perhatian. Dia kakak laki-laki tapi rasa ayah bagiku.

I'am Not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang