5. Melukai luka

5 2 0
                                    

"Ya Tuhan, ternyata yang menikah Ziva. Beneran ini Mas Bian?."

Aku sungguh terkejut mendengar pernyataan Noris yang baru saja diucapkannya bahwa yang menikah bukanlah Mas Bian, tapi Ziva adeknya. Teman kami saat masih sekolah berseragam abu-abu.

Untuk membuktikan perkataan Noris, aku pun bergegas membuka undangan yang sedari tadi nyaman dalam genggaman. Ku abaikan Mas Hilmi yang masih menatapku dengan ekspresi abstrud. Masa bodoh dengan itu.

"Terus Mas Bian kapan?," imbuh Noris. Lelaki di ujung sofa itu tertunduk lalu tersenyum. Jika aku tidak salah mengartikan dari senyumannya, Mas Bian sedang menyesali sesuatu.

"Doakan ya Ris." Ku lihat Mas Bian meletakkan tangannya lalu mengusap pelan ujung kepala Noris tanpa membuat rambut sahabatku berantakan.

Aku iri. Aku juga ingin diperlakukan yang sama. Dulu aku sering sekali mendapat hadiah seperti itu, hadiah terindah yang paling melekat dalam kenangan. Bahkan Ziva sempat mengiri dengan sikap kakaknya kepadaku, padahal dia yang adek kandung.

Setelah mengetahui kebenaran bahwa bukan nama Mas Bian yang tertulis di dalam undangan tersebut, hatiku kembali tersenyum bahagia tanpa merasa bersalah pada lelaki yang sudah sah menjadi suamiku.

"Kita datang ya Ris!," ajakku dengan sedikit merengek.

"Oh ya pasti kita datang," jawab Noris sambil mengangkat jari jempolnya. Ia selalu bersemangat jika bepergian, ke manapun tujuannya.

"Satu minggu sebelum acara, kita sudah harus memesan tiket kereta. Kita harus menginap di sana," ucapku bersemangat. Karena memang aku juga sudah sangat merindukan Ziva. Entah sudah berapa lama kita tidak bertemu. Meski sering berkabar di dunia maya, namun rindu hangatnya pelukan tetap saja ada.

"Wah, kalau menginap lama aku harus pastikan dulu suami waktunya pulang apa tidak. Kalau minta izin pasti dikasih izin, cuma kan ya tetap saja aku harus bilang." Noris meletakkan undangannya di meja lalu mengangkat segelas teh hangat setelah mengeluarkan kalimat yang sangat menohok.

Ucapan Noris seperti cambuk yang diayunkan dengan sangat keras padaku. Kalimatnya seperti menertawakan kondisi kapal yang sedang ku tumpangi bersama Mas Hilmi. Terombang-ambing hampir karam. Bibir Noris seolah menuduhku sebagai istri durhaka atas sikapku yang tidak patuh pada suami.

Padahal keadaan ini bukan sepenuhnya atas salahku. Aku bukan tipikal orang yang susah untuk diajak kompromi, namun jika aku dilukai tanpa sebab aku berani meninggalkan sebab aku punya hak bahagia, dan aku memilih bahagia.

"Tapi Noris tidak tahu kondisi rumah tanggaku yang sebenarnya. Ia tidak tahu bagaimana cara nahkodaku membawa penumpangnya berlayar. Sudahlah, aku harus tetap tenang dan menutup rapat rahasia rumah tanggaku. Kecuali kepada ibu," gumamku dalam hati.

"Kamu juga harus mengantongi izin dulu dari suamimu." Ibu ikut bersuara. Melalui bibirnya, ibu seolah mengingatkan tentang tata krama istri kepada suami.

"Kami pasti akan mendatangi undangan pernikahan adik kamu Bian. Sekalian mengajak ibu jalan-jalan," ucap Mas Hilmi pasti. Tanpa berpikir dan tanpa ragu dengan menambahkan kalimat penyerta insya Alloh, ia menjawab langsung undangan Mas Bian. Kontan.

Aku tidak percaya, Mas Hilmi akan dengan suka rela mengatakan itu. Aku kira dia tidak akan mau bertemu dengan orang baru. Aku pikir dia akan membiarkanku pergi sendirian. Ku sangka dia acuh aku berhubungan dengan siapa pun.

Apa mungkin kalimat yang menyatakan dia akan mengajak ibu jalan-jalan hanya alasan agar ia bisa mengawasiku karena cemburu?. Ah mana mungkin lelaki acuh seperti dia punya rasa cemburu.

"Noris kamu berangkat bareng kita saja. Biar semakin ramai" Sengaja aku menggunakan Noris sebagai alasan untuk pergi bersama. Agar aku tidak punya kesempatan untuk berpikir tentang mencabut keputusan berpisah dari Mas Hilmi. Dan agar aku bisa menjaga hatiku untuk tidak merasakan debaran atas sesuatu yang tidak terduga. Aku tidak ingin jatuh cinta pada Mas Hilmi, tak akan ku biarkan itu.b

I'am Not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang