4. Dua lelaki yang berbeda

4 2 0
                                    

Hatiku berdebar, debarannya begitu luar biasa hingga terdengar sampai ke telinga. ku rasai ujung kuku tangan dan kakiku menjadi dingin karena gugup sudah tak sanggup lagi ku tahan.

Sengaja aku duduk di samping Noris agar aku bisa menghangatkan tubuhku di sampingnya, sebab hanya dia yang tahu betapa cinta matinya aku dengan Mas Bian. Namun Noris tidak tahu jika aku menyimpan kepedihan dalam rumah tanggaku.

Tangan Noris yang hangat menjadi sasaran yang tepat buatku menghangatkan ujung jari yang semakin dingin. Perempuan di sampingku itu seketika memutar kepala sambil melebarkan kedua kelopak matanya kepadaku. Ia seolah bisa menangkap apa sedang ku rasakan ketika untuk pertama kalinya kembali bertemu Mas Bian.

"Weh. Kamu gugup Misti. Tangan kamu sampai dingin begini?" Suara Noris begitu lantang. Pipiku berhasil memerah dibuatnya.

"Sialan kamu Noris," ucapku sambil mencubit pelan paha sahabatku itu.

"Au. Sakit Misti." Noris mengusap pelan pahanya setelah menggeser paksa sepuluh jemariku dari sana. Ia sangat kesakitan akibat ulahku yang protes dengan kalimat yang diucapkannya.

"Misti masih sering mencubit kamu Ris?," ucap Mas Bian.

Rupanya, dia masih mengingat kebiasaan buruk yang sering ku lakukan ketika aku sedang dalam posisi tersudut malu.

"Masih Nak. Misti masih sering begitu. Tidak ada yang berubah. Masih suka dimanja." Ibu menanggapi ucapan Mas Bian dan melengkapi dengan keburukan lain yang belum bisa ku ubah.

Aku semakin malu, tapi bukan malu karena yang mendengar adalah Mas Bian. Aku tidak peduli dengan Mas Hilmi, mau ia membenciku setelahnya aku tidak akan bersedih. Bahkan, aku sangat berharap ia tidak ingin meneruskan ikatan pernikahan kami.

"Nak Bian ini dulunya mantan pacar Misti. Kalian sudah berapa tahun pacaran?." Mata ibu mengarah kepadaku. Maka dengan semangat aku melempar jawaban dengan benar, agar Mas Hilmi tahu bahwa wajah jelek begini juga pernah punya pacar.

"Tiga tahun Bu. Sejak aku kelas tiga SMA. Mas Hilmi kuliah semester empat," terangku. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memberi kesan pada Mas Bian bahwa bersamanya adalah kenangan terindah bagiku.

"Masih hapal nih," ledek Noris.

Aku tersenyum, tertunduk malu.

Di waktu yang bersamaan, aku acuh pada perasaan Mas Hilmi. Perasaan yang seharusnya aku jaga sebagai seorang istri. Namun sikapnya sangat tajam, melukai hatiku tanpa sayatan.

Ku beranikan diri untuk melirik sebentar Mas Bian yang ternyata turut tersenyum dan tersipu malu. Aku pun penasaran dengan arti senyuman itu. Terselip harap bahwa dia masih merasakan debaran yang sama seperti saat ia memintaku menjadi kekasihnya, meski kenyataannya aku tidak akan pernah bisa bersanding dengannya.

"Jadi sekarang sudah menetap di Indonesia?" Pertanyaan ibu, membuatku penasaran dengan lelaki yang kini memiliki tubuh lebih atletis dari pada dulu saat masih menjadi kekasihku.

"Tidak. Saya hanya berkunjung ke makam kakek dan nenek. Di sini saya hanya satu minggu Bu," jawab Mas Bian.

Hatiku sedikit kecewa mendengar jawaban itu. Harapanku, kami bisa saling bertukar pendapat seperti dulu. Seperti saat masih bersama.

"Buka butik di negeri orang tidak susah Mas?" Mas Hilmi membuka suara dan aku tidak percaya itu. Aku pikir ia hanya bisa ramah dengan ibu. Sedikit pun tidak terpikir olehku jika suami di dalam buku nikah itu bisa juga ramah dengan orang lain.

Bahkan, ketika aku tahu Mas Hilmi sosok yang dingin, angkuh selain pendiam itu sempat terbesit dalam benakku bahwa ia adalah manusia yang paling dibenci di tempat kerjanya. Aku tidak pernah berpikir positif tentang kehidupan Mas Hilmi dengan kepribadian buruk di mataku itu. Hidupnya selalu sendiri, tidak ada kawan dekat atau bahkan kerabat itulah sebabnya ia tinggal di panti asuhan.

I'am Not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang