8. Kepanikan

1 0 0
                                    

Dengan cepat aku meremas kertas dari Mas Bian lalu memasukkannya ke dalam saku. Aku berharap Mas Hilmi tidak melihat gelagat mencurigakan antara diriku dan Mas Bian. Aku tidak ingin berdebat lagi dengan pria itu.

"Kami pulang Bu!," pamit Mas Bian. Ia sedikit menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat.

"Sepeda kamu mana Ris?" Aku melihat Noris langsung duduk di boncengan motor Mas Bian. Ternyata datang tidak dengan motornya.

"Ku tinggal di butik kamu," jawab Noris enteng.

"Lo?" Aku melongo karena bingung. Berbagai pertanyaan menggantung di kepalaku.

"Jangan bingung. Biasa saja," ucap Noris.

Noris memang selalu bisa membuat orang terkejut dengan tindakan yang tidak mungkin dipikirkan oleh orang lain.

"Bukankah sudah lama dia seperti itu?" Mas Bian menimpali sebelum akhirnya menyalakan mesin motornya lalu pergi dari pandangan kami.

Gegas aku masuk, membersihkan sisa makanan yang ada di meja. Lalu membawa gelas kotor ke dapur, ku cuci sekalian.

Ku lirik jam dinding yang nangkring di atas pintu dapur, jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga artinya hari sudah menjelang sore. Dan aku baru tersadar jika Mas Hilmi tidak kembali ke kantor setelah jam istirahat.

Lagi-lagi isi kepalaku dihinggapi beberapa pertanyaan. Apa Mas Hilmi mengetahui  kedatangan Mas Bian? Dari mana ia tahu soal Mas Bian? Dari ibu ataukah Noris?. Atau Mas Bian dan Mas Hilmi memang sudah saling mengenal sebelumnya?

"Brak"

Spontan aku membalikkan badan ketika mendengar suara pintu menghantam dinding dengan sangat keras. Lamunanku buyar. Ternyata Mas Hilmi membuka pintu terlalu keras dengan kakinya, sedang kedua tangannya penuh dengan beberapa tempat makan berisi kudapan yang tadi disajikan untuk tamu.

Setelah tahu siapa yang ada di balik pintu itu, kembali aku membersihkan gelas. Sengaja aku tidak membantunya. Rasa sakit atas perlakuan sikapnya tadi masih membekas.

Jika Mas Hilmi memang cemburu, kenapa ia tidak berusaha meluluhkan hatiku. Kenapa ia tidak mencoba membuat aku jatuh hati kepadanya. Kenapa justru mengancam diriku agar menjauhi Mas Bian, lelaki yang pernah membuatku nyaman berada di dekatnya.

"Misti. Kenapa kamu tidak membantu Hilmi," protes ibu.

"Aku juga sedang sibuk mencuci piring ibu. Lagian Mas Hilmi kan lelaki, pasti punya otot yang lebih kuat dibandingkan Misti Bu," jawabku beralibi agar tidak membantu Mas Hilmi.

"Hush. Kamu ini ya, jadi istri kok ya tidak ada sopan-sopannya sama suami," nasehat ibu. Aku tahu ibu malu, tapi ia tetap memakai nada rendah tanpa membentak kepadaku.

Rasanya aku ingin menyangkal, namun sepertinya bakal percuma. Sebab ibu sedang berbaik hati pada Mas Hilmi, juga sedang membangun image baik diriku di depan lelaki itu. Apalagi kalau bukan untuk alasan menyelamatkan pernikahan kami.

Tanpa berpikir panjang, gegas aku mendatangi Mas Hilmi yang masih sibuk meletakkan barang bawaan di tangan ke atas meja. Aku membantu dia meletakkan satu persatu hingga semua barang bawaannya itu berhasil pindah ke atas meja.

"Bilang terima kasih kek, atau apa kek. Orang kok ya cuma bisa diem. Saya manusia bukan boneka,"  gerutuku pelan. Sepertinya ibu tidak mendengar, sebab tidak ku dengar kalimat protes keluar dari mulutnya.

"Misti, buatkan Hilmi kopi tanpa gula. Biar dia minum kopi dulu sebelum pulang," perintah ibu sebelum keluar dari dapur menuju taman belakang.

"Iya ibu." Tidak ada yang bisa ku lakukan selain melaksanakan perintahnya.

I'am Not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang