6. Rahasia Masa Lalu?

4 0 0
                                    

Seketika mataku terbelalak, hatiku terhentak mendengar suara Mas Bian yang sudah berada tepat di belakangku. Segera aku masuk ke kamar mandi tanpa merespon panggilannya, agar ia tidak tahu jika aku sedang menangis.

Aku sengaja menyalakan kran kamar mandi, agar cairan hidung yang tidak bisa ku tahan alirannya tidak terdengar dari luar. Lalu aku juga sengaja menyiram bagian dinding kamar mandiri agar terdengar gemericik air layaknya orang sedang melakukan aktifitas di kamar mandi.

Setelah aku merasa cukup lama di dalam kamar mandi, gegas aku membasuh wajah untuk menyamarkan sembab di mata lalu keluar. Aku yakin Mas Bian sudah terlalu lama menunggu di luar. Namun jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap Mas Bian sudah pergi.

Keluar dari kamar mandi, aku terkejut dengan pemandangan yang ada di depan mata. Mas Bian yang kalem nampak sedang mengangkat tangan sambil mengepalkan tangan kanan, sementara tangan kirinya menarik kemeja Mas Hilmi. Apa yang sedang terjadi di antara mereka?.

Kedua lelaki itu secara bersamaan menatap ke arahku yang sedang termangu, sementara Mas Bian terhenti dengan tangan yang masih terangkat. Beberapa saat kemudian masing-masing dari kami tersadar, Mas Bian melepaskan kemeja suamiku. Ia juga langsung menurunkan tangan kanannya. Aku melihat Mas Hilmi sedang merapikan kemejanya yang berantakan akibat ulah Mas Bian.

"Apa yang kalian berdua lakukan? Apa yang kalian ributkan?" Aku marah, rahangku mengeras, namun sebisa mungkin aku menurunkan nada suara agar ibu tidak mendengar keributan yang sedang terjadi.

"Apa dia yang sudah membuat kamu menangis?," tunjuk Mas Bian ke arah Mas Hilmi.

"Bukan," jawabku cepat. Walau sebenarnya iya, aku berusaha menyembunyikan ketidakharmonisan rumah tanggaku sebab aku masih menjadi istri sah dari lelaki pemilik nama lengkap Hilmi Al Aziezie itu dan aku masih punya kewajiban untuk menjaga kehormatannya.

"Lalu apa yang membuat hati kamu terluka michi?," tanya Mas Bian sembari menggoyang bahuku.

Reflek aku memundurkan langkah, demi melepas tangan Mas Bian dari kedua bahuku. Aku sebenarnya menginginkan itu, bersandar di bahunya, menangis dalam dekapannya namun entah kenapa aku tidak bisa melakukan itu. Aku pun tidak punya alasan kenapa aku memilih menghindar dari pada harus menarik lengannya dan tenggelam dalam pelukannya.

"Aku hanya merindukan ayah," jawabku spontan.

"Bohong"

"Aku berkata jujur"

"Ini kesempatan terakhir kamu. Kenapa kamu menangis Michi?" Mas Bian maju satu langkah, aku pun mengikuti irama langkahnya dengan mundur satu langkah.

Hatiku bergetar mendengarnya kembali memanggilku dengan panggilan itu, sebuah nama khusus baginya. Meski dadaku berdebar, namun aku tetap menjaga jarak dengan Mas Bian. Lagi lagi aku tidak tahu alasannya.

"Berhenti mengintrogasi Misti. Bukankah tadi ia bilang bahwa tangisannya karena rindu sang ayah. Masih belum cukupkah?" Dengan cepat Mas Hilmi menghadang langkah Mas Bian. Ia berdiri tepat di antara kami dan untuk pertama kalinya aku bisa mencium aroma wangi tubuhnya.

Tapi aku tidak terlena dengan bau parfum itu, aku pun memilih menghindar dari Mas Hilmi sebab aku juga tidak ingin menghapus jarak di antara kami, sebab jarak itu dia sendiri yang membuatnya. Dan agar hatiku tidak goyah dengan keputusan ingin bercerai darinya.

"Lihatlah! Langkah Michi sudah memberi jawaban bahwa kamu penyebab luka di hatinya?" Aku melihat mata Mas Bian menyimpan kemarahan pada Mas Hilmi.

"Mas sudahlah. Bukan karena Mas Hilmi. Aku tadi sudah berkata jujur, bahwa aku merindukan ayah." Tidak ada cara lain untuk menjelaskan arti dari air mata yang terlanjur membasahi pipiku, selain berbohong.

I'am Not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang