tiga

1.7K 193 3
                                    

delapan tahun mengenal dan empat tahun di antaranya diisi dengan asmara khas anak muda, membuat san percaya bahwa ia tahu semua hal tentang pemuda bernama jung wooyoung.

entah kebiasaannya yang gemar mengenakan kaus dan boxer saja atau barangkali kemampuannya dalam memasak yang terhitung luar biasa. pula mulai dari kartun kesukaannya hingga hal-hal kecil yang bisa membuat wooyoung tertawa. ah, lihat, jika berhubungan dengan wooyoung, san selalu berlagak bagai satu-satunya manusia yang mengetahui segala.

padahal, tidak demikian. toh, setelah lepas dari jalinan cinta, san bahkan tak tahu bagaimana kabar dari pemuda itu. sekat pembantas antara dirinya dan wooyoung seakan hadir dalam semalam, memotong habis segala macam topik obrolan, pula menenggelamkan kenangan indah yang sempat hadirkan semringah.

“wooyo, lo kenapa?” ia bergumam bagai manusia bodoh. berbicara dengan diri sendiri, mengharap jawab dari sosok yang bahkan tak ada di sisi.

sekarang ini, tepat setelah melihat netra sembab juga hidung bangir yang memerah, san bahkan tak bisa untuk sekedar menutup mata walau tubuhnya seakan terbelah dua.

lelah yang meraja selepas habiskan waktu berdua dengan wanitanya total sirna begitu ia menginjakkan kaki di kediamannya. semua letih berganti tanya, terganti puluhan kata berporos keingintahuan atas alasan dibalik air mata yang wooyoung jatuhkan.

apa karena hubungan mereka? sungguh, apa wooyoung menangis karena dirinya?

san ingat betul, wajah manis itu memerah lara. jemarinya terkepal di sisi badan sementara kedua kaki melangkah kikuk tanpa tujuan. sorot netranya kentara menyipit ketika dapati kehadiran san di depan toilet wanita dan dengan langkah terburu meninggalkan posisi semula. pergi tanpa sapa, pergi tanpa satupun kata.

sangat bukan wooyoung, jika san boleh berpendapat.

seiring pikirannya bergumul hanya pada wooyoung, san kembali dilanda resah dan gelisah seperti minggu yang sudah-sudah. dadanya total poranda bersamaan dengan kepala yang pening tanpa diminta. binar dari kedua netra seakan redup, bak bulan yang kehilangan bintang, bak planet di luar jalur perputaran.

sial. san tak pernah suka jika rongga dadanya sesak tanpa aba, apalagi ketika ia tak tahu harus melakukan apa.

wooyoung terlena di bawah pohon besar sembari menepuk kedua pipinya. sesekali menarik napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk berdeham. tak apa, tutur batinnya ketika bulir bening itu kembali hadir dan kotori rupa. toh di taman ini, hanya ada dirinya.

jujur saja, bukan keinginannya untuk bertemu dengan san dalam kondisi yang memalukan; wooyoung menangis di salah satu bilik toilet sebelum bertemu dengan pemuda choi yang tampak menunggu seseorang, ingat, kan?

di detik itu, netra sembabnya pasti tertangkap indra dan hidung merahnya pasti menarik atensi san, karena sejauh yang wooyoung tahu, choi san tak suka jika ia menjatuhkan air mataㅡterlepas dari tanya apakah fakta yang satu itu masih berlaku atau sudah basi dan menjelma angin lalu.

“tadi itu, dia nungguin siapa?” lagi-lagi menghela napas, wooyoung memeluk kedua kaki dan mengistirahatkan dagu di puncak lutut. “cewek baru, kali, ya?”

selama puluhan tanya menyeruak intensif di pusat kendali otaknya, wooyoung terjatuh dalam dilema berkepanjangan yang tak kunjung menemukan titik terang. wooyoung masih menaruh rasa hingga detik ini, masih mengharapkan san yang telah memilih pergi.

iya, wooyoung memang agak gila, terlampau berharap akan sesuatu yang menggores hatinya.

“wooyoung? tumben sendiri. biasanya berdua sama cowok lesungㅡeh, kok, nangis?”

sosok semi-sempurna itu mendekat dan mengisi tempat kosong di samping wooyoung. pijarnya kalut, kentara panik hingga tenggorokannya seakan tercekik, hingga deretan kata yang lolos dari labiumnya terdengar terbata. sungguh, ia total lupa akan tujuannya menuju taman belakang yang jarang dijamah mahasiswa; putung rokok dalam saku kemeja telah diabaikan begitu saja.

dan alih-alih menjawab tanya yang mengudara, pemuda jung justru terkekeh pelan tatkala bola mata si penanya menatapnya penuh iba. “biasa aja, yeo, kayak gak pernah lihat orang nangis aja.”

“pernyataan lo gak ngejawab pertanyaan gue tapi gak papa, sih,” ujar sang lawan bicara dengan nada bicara yang kelewat lembut. selanjutnya, sembari menilik wooyoung yang mengatur pernapasan agar tak lagi sesengukan, ia kembali bersuara, “nih, minum dulu.”

kang yeosangㅡkenalan wooyoung sejak hari pertama orientasi mahasiswaㅡmemilih untuk sodorkan tisu dan sebotol air mineral yang telah tandas setengahnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
redo - woosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang