1

1.1K 129 2
                                    

Ketika Zoro menutup matanya, ia menemukan dirinya berada di tengah tempat asing. Reruntuhan bata dan langit biru cerah melintang di atas kepala. Sebuah lampu masih menggantung apik di atap yang bertahan dengan tiga pilar. Rambut hijau pendeknya dibelai angin sepoi, membuat dua matanya memejam sejenak. Tak lama kemudian muncul anak yang tampak seumuran dengannya dari balik pilar yang hancur. Helai pirangnya bersinar keemasan, seperti lingkaran cahaya malaikat. Mata bulatnya diwarnai lautan. Biru dan menghanyutkan.

Ia nampak terang di antara kehancuran.

Zoro mendekat, melangkahkan kakinya cepat. Kini mereka hanya berjarak dua meter.  Si pirang tidak bergerak, malah memandang heran. Ketika Zoro mendekat, ia malah menghilang.

Ia bahkan belum tahu namanya.

.
.

Zoro kembali bertemu dengannya. Kali ini di sebuah gubuk dalam hutan. Si pirang berjongkok di dekat kebun wortel, menarik beberapa daun yang mencuat keluar dan memasukkannya dalam keranjang anyam. Ia melakukannya untuk beberapa saat. Kemudian pemilik surai hijau datang menghampiri, menundukkan tubuh untuk melihat.

"Oh," bahunya meloncat ketika sadar Zoro memandang lewat bahunya. Ia segera berdiri dan menggenggam erat keranjang di sampingnya. Lagi-lagi irisnya memantulkan cahaya. Daripada laut, kini lebih terlihat seperti berlian dengan bias warna-warni.

"Siapa namamu?" Zoro bertanya, tidak sabar.

Sebuah senyum memikat terpancar dari wajahnya. Dua pipi persiknya mengembang senang. "Aku Sanji!" jawabnya dengan nada bersemangat. "Kau?"

"Zoro," si hijau ikut dibuat tersenyum. "Wortel itu untuk apa?" ia bertanya sambil menunjuk isi keranjang.

Sanji berjalan masuk ke dalam gubuk tanpa menjawab sementara kaki berbalut sandal Zoro hanya mengikuti pelan. Ia duduk di sebuah kursi yang agak tinggi, mungkin faktor umur mereka yang membuat segala hal dalam gubuk itu nampak besar. Untuk mencapai meja dapur saja Sanji harus memanjat sebuah anak tangga kecil.

Zoro menatap meja kayu dengan kaki ramping di depannya. Meja itu dihias kain merah polkadot dan sebuah vas bunga dari gelas transparan. Di sisi kanan ada sebuah sofa merah tua dengan perapian yang menyala, menempel pada dinding. Lalu suara pisau yang mengenai alas pemotong terdengar cukup kencang. Zoro menggoyangkan kakinya seirama dengan potongan wortel.

Lalu suara pengocok dengan adonan. Lalu suara oven yang dibuka. Lalu semerbak harum kue yang lezat. Lalu krim kocok yang dibalurkan di atas kue.

"Nah ini! Kue wortel!" Sanji meletakkan piringnya setelah beberapa saat. Baru saja Zoro mau menyantap, sekelilingnya malah berbaur pecah dan menghilang.

Ia kembali bangun.

Ah, jadi ingin kue wortel.

.
.

Mimpi lain muncul ketika Zoro terlelap di larut malam. Sekarang ia berada di sebuah hutan kabut berisikan pohon pinus tinggi. Kabutnya tidak terlalu pekat dan langit tidak begitu gelap. Zoro berjalan mengitari hutan. Hanya ada suara langkah kakinya yang menginjak ranting dan buah kering.

Sampai ketika sayup-sayup terdengar isakan kecil. Zoro menolehkan kepalanya, berjalan mengikuti asal suara. Hingga akhirnya ia menemukan Sanji duduk sendiri dalam posisi memeluk kedua lututnya. Zoro memiringkan kepala. Sanji tampak seperti bola. "Ada apa?" ia bertanya.

"...Mama...." tangis si pirang malah makin menjadi. Netra biru jernihnya menitikkan air mata, terlihat seperti sungai. Zoro berlutut dan menggunakan ujung lengannya sebagai tisu. Ia mengelap mata basah si pirang, membiarkan Sanji menatapnya bingung.

Sekarang Sanji sudah berhenti menangis tapi matanya bengkak dan hidungnya merah. Zoro meletakkan kedua tangannya di sisi pipi  yang lebih bulat dan mencubitnya pelan. "He?" Sanji berkedip.

"Mirip dango," ia mendengus. "Jadi kenapa menangis?"

"Ma-mamaaa..." matanya berair lagi. Menggenang. Dua ujung bibirnya tertekuk ke bawah. Zoro menghela napas berat. Suara tangisan bocah selalu membuatnya kesal. Dia hanya mau melihat Sanji berhenti menangis. Anak itu jauh lebih baik jika tersenyum.

"Memang mamamu kenapa?"

Sanji menggeleng pelan. Helai pirang lembutnya ikut berayun. Tangan kecilnya meraih wajah, berusaha menghentikan air matanya sendiri. Zoro menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia menatap langit sebentar sebelum mendecakkan lidah.

"Kemari," lalu mendekap si pirang dalam pelukan hangat. Tangisan Sanji kembali terdengar, tapi kali ini teredam dalam tenang.

.
.

Zoro tidak mendapatkan mimpi itu lagi sampai umurnya menginjak 13 tahun. Kali ini di dekat sebuah kolam dengan jembatan kayu. Ia menggenggam ranting pohon yang baru saja ia patahkan kemudian berjalan sembari membuat gambar di atas pasir.

Mendadak dari balik pohon muncul pemuda yang nampak seumuran dengannya. Dengan kaus putih lengan pendek dan celana olive selutut. Pipi kanannya kelihatan bengkak, ditutupi plester luka. Mata keduanya bertatapan. Kemudian si pirang mengalihkan pandang lebih dulu, agak tersipu. "Sanji?" Zoro menyapa.

"Zoro... ya?" Sanji tersenyum. "Kita bertemu lagi," ia berjalan mendekat sambil membawa seekor kodok. Kaki putihnya telanjang tanpa sepasang alas, berjalan menginjak batu dan pasir. Perlahan ia berlutut di jembatan dan melepaskan kodok tersebut ke dalam kolam.

Plung!

Riak air nampak jelas di permukaan yang cukup dangkal. Tangan kemudian dicelup, menciptakan gelombang ketika Sanji menggerakkannya. Suara dari langkah sandal bertemu kayu jembatan membuat Sanji seketika menggeser posisi duduknya. Zoro menganggapnya isyarat untuk menemani si pirang.

Dalam sunyi senyap mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sibuk dengan aktivitas sendiri. Zoro mengacaukan isi kolam dengan ranting kayunya sementara Sanji mencabut rumput bunga. "Pipimu kenapa?" Zoro memutuskan bertanya setelah membisu sejenak.

"Jatuh dari tangga."

"Pembohong," Zoro mendengus. "Kau tidak ahli berbohong," ia melempar batu dengan bidang yang relatif datar ke atas kolam, membiarkannya memantul di atas permukaan air sebelum akhirnya tenggelam.

"Kalau aku bilang dipukul apa kau percaya?"

"Ya, sejujurnya aku tidak perlu bertanya untuk tahu jawaban itu, tapi lebih baik memastikannya dari mulutmu sendiri," ia menyenggol sudut bahu si pirang. "Ya kan?" kemudian melempar senyum, menunjukkan deretan gigi dengan dua mata menyipit.

Sanji bungkam. Ia merapikan helai pirangnya kemudian bertopang dagu. "Iya," kedua matanya terpejam, menikmati semilir angin yang mengusap lukanya lembut.

"Aku penasaran," celetuk Zoro. Sanji menoleh, iris birunya menatap penuh rasa ingin tahu. "Apa kita bisa bertemu di luar mimpi?"

"...bisa saja," ia kemudian menatap kolam luas di depannya. "Kalau kau bisa menemukanku," lanjutnya.

"Apa itu tantangan? Aku tidak akan kalah kalau begitu," senyumnya congkak.

Sanji tertawa lembut. Sorot safirnya tampak cerah penuh harap.

~•-•~

Iya, tanganku gatel mau nulis, maaf belum bisa ngelanjutin YFM tapi malah bikin cerita baru T-T

Painted In GoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang