7

442 87 5
                                    

Awan menggantung rendah di luar sana, di antara horizon abu-abu. Zoro berdiam di dalam studionya dengan kuas di satu tangan dan mata memandang kanvas, fokus tertambat pada perpaduan warna yang menciptakan satu entitas indah.

Bajunya sudah dipenuhi cat tapi ia tidak peduli. Tangannya memberikan goresan terakhir, detail untuk mencerahkan latar. Perbedaan warna yang begitu kontras antara wajah si pirang dengan cahaya di belakangnya membuat lukisan itu nampak terang. Zoro mencelupkan kuasnya ke dalam thinner, membiarkan kuas itu terendam.

Lalu ia menghela napas dan mengedarkan pandang. Wajah si pirang itu masih menghiasi tiap sudut studionya. Bahkan kini semakin bertambah. Sejak Nami membantunya menciptakan sebuah akun untuk memperkenalkan karyanya, banyak orang yang sudah mengetahui wajah si pirang. Sayangnya Zoro belum menemukan satu pun yang mengenalnya.

Tapi setidaknya Zoro tahu pasti ada satu hal yang berubah. Akhir-akhir ini mimpinya semakin jernih, semakin jelas. Ia mampu mengingat alurnya, mampu mengingat tempatnya, bahkan setiap detail obrolan yang terjalin. Hanya saja nama itu tak kunjung muncul di kepalanya.

Zoro menghempaskan paletnya frustrasi. Jemarinya menyisir helai hijau ke belakang. Matanya kini tertuju pada hujan yang mulai menetes turun membasahi kota. Ini waktunya ia kembali.

Kakinya yang dibalut pantofel menginjak lantai kayu, mengambil sebuah payung yang bersandar pada dinding studio. Sebelah tangannya yang lain membuka pintu kemudian ia mulai membuka payungnya. Lengan Zoro mengapit payung dekat dengan tubuhnya selagi mengunci pintu rapat-rapat. Lalu ia berbalik dan menatap aspal di depannya.

Rintik air yang membasahi jalan membuatnya tampak licin, beberapa membentuk genangan air yang memantulkan bayangan si hijau. Matanya mengamati singkat dan kakinya tetap melangkah.

"Cuaca hari ini hujan dengan kemungkinan suhu akan turun hingga 5 derajat, kembali lagi dengan lagu setelah ini...."

Suara penyiar terdengar dari sebuah radio kuno di dalam toko usang. Zoro menatap sebentar, melihat beberapa panci tua yang tergantung di luar toko, tampaknya menjadi pajangan bagi pejalan kaki yang lewat. Tapi Zoro tidak berniat membeli, ia mau pulang.

Suara hujan yang terus menimpa lapisan luar parasut membuat melodi unik. Jaket tebalnya dirapatkan, menahan dinginnya temperatur kota. Untunglah apartemen barunya tak begitu jauh dari studio lukis. Dapat ia lihat bangunan itu berdiri tenang dengan pepohonan memayungi.

Langkahnya menjadi lebih cepat dan lebih lebar dari sebelumnya, berjalan melewati genangan air, membiarkan gemericik hujan menemani jalannya.

.
.

"Zoro, ada kabar baik," Nami tersenyum lebar. Zoro mendesah tak tertarik. "Hei lihat kemari," ia menghentakkan kaki di atas lantai parket. Zoro malah berjalan ke arah jendela, membukakan akses udara masuk. Apartemennya selalu sejuk, tapi dengan Nami dan parfum menyengatnya di dalam sini membuatnya agak tidak betah. Ia tidak pernah menjadi penggemar dari wangi vanilla, setidaknya parfum vanilla yang selalu dikenakan Nami.

"Tutup jendelamu, hari ini cuacanya dingin!" Nami memprotes.

"Sudahlah, katakan saja apa kabar baiknya,"

"Ada seseorang yang mengenal si pirang."

Seketika angin dingin yang berhembus di tengkuknya tidak lagi mengganggu pikirannya. Dunianya serasa berhenti dan jarum jam yang berdetak seakan ditelan keheningan— di saat bersamaan terdengar begitu keras. Kesunyian yang lantang.

Ia yakin wajahnya terlihat lucu sekarang, karena beberapa detik kemudian dapat ia dengar kekehan kecil mengalun dari gadis berambut gelombang. "Kau tidak sedang bercanda... kan?"

Helai ombaknya bergoyang lembut ketika ia menggeleng. "Tidak Zoro, seseorang sungguh mengenalnya,"

Kalau saja ia tidak menyukai pria, Zoro yakin ia akan mendekap Nami dan mencium bibir gadis itu.

.
.


"Kurasa sebentar lagi aku akan menemukanmu," Zoro berkata, masih terpana dengan tempatnya bermimpi kali ini. Sebuah kastil di atas awan. Berbeda dari tempat lain yang biasa ia temukan di atas hamparan tanah.

"Hm, sungguh?" Sanji tidak menoleh tapi suaranya terdengar jelas berharap.

Zoro menolehkan kepalanya, menatap si pirang yang tengah mengelus seekor elang di atas kakinya. "Seandainya aku sudah menemukanmu, kau akan mengatakan apa?" Zoro bertanya, penasaran.

Pria pirang terdiam sejenak. Ia menatap lurus, memandang awan-awan yang bergerak tertiup angin. Elang yang semula mendiami lututnya kini terbang. Sayapnya terbuka lebar dan mengepak, menutupi sebagian wajah Sanji. Angin dari kepakan sayap elang membelai surai pirangnya lembut. Sanji menoleh, melihat si hijau yang masih terpana. "Terima kasih," ia tersenyum teduh.

"Terima kasih telah menemukanku,"

.
.


Zoro menyeduh kopi hitam, menunggu dengan pandangan kosong. Hari ini ia berniat mendatangi kediaman seorang pria tua. Nami memberikannya sebuah alamat. Tempat itu terletak di atas gunung, di antara hutan belantara.

Ia tidak berniat datang sendiri ke sana. Zoro sudah meminta bantuan Luffy untuk mengantarkannya. Pemuda berambut arang itu tentu saja dengan cepat menyetujui permintaannya. Hanya saja hatinya sekarang bergejolak, khawatir.

Bagaimana jika seluruhnya tidak sesuai dengan bayangannya.

Bagaimana jika si pirang tidak mengingatnya.

Bagaimana jika yang ia temukan adalah sebuah batu nisan.

Zoro menggelengkan kepalanya.

Tangannya menarik secangkir kopi dan meneguknya. Ia tidak boleh mundur. Mimpinya sudah sedekat ini. Ia tidak boleh kabur.

Painted In GoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang