3

488 87 1
                                    

"Jadi... siapa namanya?" Perona duduk di kursi kayu, memandangi seisi studio. Rambut pink permen karetnya dikuncir dua, bergelombang dan kelihatan halus. Ketika ia menoleh, rambut tebal itu ikut bergoyang lembut.

Zoro mengangkat bahu. "Tidak ingat," dan meminum soda dari kaleng.

"Lukisannya sebanyak ini dan kau tidak tahu namanya?" Perona memandang heran. Kacamata merah muda segera ia lepas, berharap Zoro tidak sedang bercanda.

"Bukan tidak tahu, tidak ingat," si hijau mendengus.

Perona berdiri dan berjalan menyusuri seisi ruangan, melihat-lihat. Kaki berbalut stocking jaringnya dirapatkan ketika ia memutuskan untuk berjongkok. Tangannya menyentuh kanvas, memperhatikan. "Dan kau berniat mencarinya?"

"Ya,"

"Katamu kau hanya melihatnya di dalam mimpi kan, kau yakin dia nyata?" gadis itu mengerucutkan bibir.

"Entahlah... Aku hanya ingin bertemu dengannya di luar mimpi," Zoro mendesah, melemparkan kaleng sodanya ke tempat sampah di samping pintu masuk.

Klang!

Suara itu menggema ketika kaleng memantul ke atas lantai. "Payah," ejek si rambut pink. Ia berdiri untuk mengambilkan kaleng dan memasukkannya dengan benar ke dalam keranjang sampah.

Cahaya matahari yang menyusup masuk lewat sela jendela membuat Zoro menyipitkan mata. Ia mau menyelesaikan lukisannya lagi. Satu boks kertas emas dan persediaan cat baru sudah ia beli dengan uang yang didapatkan dari boxing ilegal minggu lalu.

"Ayah pasti bisa membantumu melelang lukisan ini," Perona berdiri di samping kanvas yang sebelumnya ia sentuh. "Banyak kolektor bersedia membayar untuk barang sebagus ini, asalkan kondisi kanvasnya tidak cacat tidak ada masalah,"

"Sampaikan salam dan terima kasihku pada Ayah," Zoro menarik kursi kayu tinggi ke tengah ruangan. Kanvas berukuran 80x150 cm sudah ia siapkan di atas kayu penyangga.

Perona menghela napas. Ia meletakkan tangan di atas pinggang, dua matanya menyipit melihat Zoro yang sudah sibuk berkutat dengan proyek lukisan barunya. "Kapan kau mau pulang?"

Zoro mengangkat bahu, menatap malas dari balik kanvas. Kuas di tangannya bergerak lembut, memberikan goresan halus berupa cat biru langit. "Kapan kau mau pulang?"

"Brilliant, kau memutar balik pertanyaannya," Perona memutar bola matanya. "Sekarang, aku akan bawa lukisan ini juga," ia mengangkat kanvas dan suara langkah bertumit tinggi miliknya perlahan menjauh dari studio lukis. Tidak lama kemudian dapat Zoro dengar mobil gadis itu pergi, meninggalkannya sendiri.

.
.

"Sanji, Sanji, Sanji," Zoro mengucapkan nama itu selayaknya mantra. "Kenapa aku tidak bisa mengingat namamu di luar mimpi?" Tanyanya. Lebih tepatnya bertanya pada diri sendiri.

Sanji menyampirkan sebagian rambut pirangnya ke belakang telinga. Tubuhnya merunduk, menyusun ulang letak bunga dalam vas dan merapikan tangkainya.

Zoro menghela napas. Ia melempar pandang ke sekitar. Taman kaca ini penuh dengan berbagai macam tumbuhan. Warna hijaunya berpadu apik, menjadi sedikit kekuningan begitu disinari matahari. Buah jeruk juga bergelantungan dari ranting pohon, memberikan kesan segar.

"Sanji," panggil Zoro sekali lagi.

Sanji menoleh.

Ia menatap wajah si pirang sejenak kemudian menggeleng dan tersenyum. "Tidak," ucapnya. Sanji hanya mengangkat alis bingung. Ia kembali berpaling untuk menyelesaikan rangkaian bunganya.

Zoro menatap punggung leher si pria pirang. Lalu ia termenung.

.
.

"Siapa namanya?" Nami membuka mulut, terkesima. Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan Perona, dan yang ditanyakan Zoro untuk dirinya sendiri.

Sebenarnya siapa...?

Nama itu lagi-lagi tidak terlintas di kepalanya. Seperti kertas yang seketika hangus dibakar api. Ia menekuk wajah, berpikir keras. "Sa... uh..."

"...kau tidak ingat?"

"Well-"

"Bagaimana kau mau menemukan orang yang bahkan tidak bisa kau ingat namanya?" Nami menyibak helai tangerine, memotong pembelaan si surai hijau. "Hahh... setidaknya aku bisa membantumu mengenalkan lukisan ini di sosial media," ia membuka ponsel cepat.

"Kau mau membantuku?"

"Lukisan ini indah, pantas untuk dipamerkan," Nami melempar senyum. "Percaya dirilah, akan ada banyak orang yang menyukai karyamu,"

"...terima kasih," Zoro akhirnya ikut tersenyum.

.
.

Langit saat itu bewarna jingga. Matahari tampak mulai jatuh dari singgasana, akan segera tergantikan oleh sang malam. Zoro berdiri di pinggir jembatan, menatap kosong. Pukulan hari ini terasa lebih sakit. Tulang pipinya sampai berdenyut. Ia yakin matanya biru sekarang.

Ia merogoh kantung, melihat gulungan uang kertas yang diikat karet. Matanya memejam ketika ia menarik napas dalam dan meregangkan kedua tangan. Ah, dia ingin menikmati waktu ini lebih lama. Waktu dimana tidak ada yang mengusik ketenangannya.

Zoro meletakkan dahinya di railing jembatan. Dingin, batinnya bersuara. Menyandarkan kepalanya pada besi dingin bukan ide yang buruk. Ia kembali menutup mata. Ia butuh uang untuk melanjutkan hobinya. Mungkin bukan dengan cara ini. Bukan dengan bertarung. Ia harap semua lukisannya bernilai mahal, setidaknya mampu untuk mencukupi kehidupannya.

Pria itu kembali mengangkat wajahnya, merenung memandangi sungai yang melintasi jembatan. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, menyisakan guratan awan oranye dan langit biru gelap. Sudah lama sekali sejak ia menikmati pemandangan senja.

Zoro berbalik, menyimpan dua tangan dalam saku dan melangkah di sisi trotoar. Ia berniat untuk kembali pulang. Tapi ketika tiba di sebuah perempatan langkahnya terhenti.

Sebuah mobil Mustang keluaran 1966 muncul dari sudut jalan. Zoro tahu mobil itu. Setidaknya pemilik dari mobil itu; pria yang menaruhkan sebongkah besar uang untuk lawan bertandingnya tadi, sudah kalah berturut-turut dalam taruhan karena seorang petarung baru di dunia bawah tanah. Zoro menutupi wajahnya dengan visor dan melangkah mundur, mengambil ancang-ancang.

Mobil dinyalakan, pedal gas diinjak dengan kecepatan maksimal. Zoro berlari sebelum mobil itu dapat menghantam tubuhnya.

Painted In GoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang