9

438 89 4
                                    

Zoro tidak tahu berapa lama ia menghabiskan waktu di dalam kamar. Zeff menyampaikan kabar bahwa Luffy sudah meninggalkannya sendirian. Sekarang hanya tinggal Sanji dan dirinya. Hanya mereka berdua.

Zoro menunggu, menunggu, dan terus menunggu hingga kelopak mata itu terbuka. Zeff mengatakan terkadang Sanji tidak akan bangun hingga berminggu-minggu lamanya. Di saat itulah sukmanya keluar dari raga, entah memasuki mimpi atau mencari pelarian di luar sana tanpa diketahui seorang pun. Ia tersembunyi dari hiruk-pikuk, dari kerumunan, dari keramaian. Ia bebas.

Selang beberapa saat, cahaya matahari dari kaca patri meredup, meninggalkan kegelapan dalam kamar luas itu. Suara rintik hujan terdengar, semakin lama semakin deras. Zoro masih juga menatap Sanji, sesekali menyentuh dan mengusap jemarinya.

Mendadak Zoro menangkap pergerakan dari sayap putih. Kelopak mata Sanji kemudian membuka dan mengerjap. Birunya seakan menenggelamkan siapapun yang melihat. Terpancar sinar bagai berlian dari iris itu ketika ia menyadari siapa pria yang kini tengah menggenggam tangannya.

Sebuah dengkuran kecil terdengar saat tangan Zoro meraih sayapnya dan membelainya. "Sanji, ingat aku?" suaranya rendah, menyapa si pirang yang masih terpesona.

Sebuah senyum tercetak di wajah Sanji. Ia mengangguk cepat dan berusaha bangkit dari tidurnya. Sadar tangannya masih terbelit selang, Sanji mendesis tidak senang. Ia berusaha menggoyangkan tangan, berharap selang itu lepas.

Mata besarnya kemudian menatap Zoro penuh harap, meminta tolong. Tapi Zoro tidak dapat melakukan apapun. Jadi ia berdiri dan mengusap pirang Sanji sebentar. "Akan kupanggil Zeff,"

Tidak lama kemudian Zoro kembali dengan Zeff. Sanji tidak bergerak dari tempatnya, hanya sedikit tersentak ketika selang dicabut. Setelah seluruh tubuhnya bersih dari selang, ia menatap Zoro dan melompat dari kasurnya, memeluk si hijau.

Tubuhnya tinggi, sedikit lebih pendek dari Zoro tapi tetap tinggi. Kulitnya putih dan halus. Aroma floral dan citrus menguar dari tubuhnya, tidak sesuai dengan yang dibayangkan. Zoro pikir ia agak sedikit berbau matahari, mengingat mimpi mereka yang selalu terjadi di bawah terik sinar matahari.

"Terima kasih sudah datang, Zoro!" oktaf suaranya menjadi agak tinggi dan melambung. Ia menyamankan kepalanya di perpotongan leher yang berkulit tan.

Zoro tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara tersebut. Suara yang selalu ia dambakan. Ia membalas pelukan Sanji dan tertawa kecil. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu... Sanji," matanya memejam ketika merasakan desahan napas lembut menyentuh telinga.

.
.

Mereka duduk di depan jendela, melihat langit gelap dengan petir yang menyambar beriringan. Zoro mendongakkan kepalanya, melihat kilat. Seketika suara kencang petir lagi-lagi menyambar. Sebelah sayap Sanji memeluk tubuhnya, menyalurkan rasa hangat. Pemilik sayap itu sendiri tengah berkutat dengan cokelat panas di tangannya, memainkan marshmallow yang mengapung di permukaan dan sesekali mengaduknya.

"Jangan dimainkan saja, ayo minum," Zoro bersuara.

Sanji mengangguk. Helai pirangnya jatuh menutupi mata ketika ia menunduk dan mengaduknya untuk terakhir kali. Bibirnya mendekat pada mulut gelas, menyeruput isinya pelan. "Enak?" tanya Zoro.

"Enak, buatan Zeff selalu enak," ucapnya kemudian.

Lensa birunya kembali memandangi jendela, mengamati hujan deras yang masih membasahi bumi. "Kau suka hujan?" ia bertanya, menolehkan kepalanya.

"Aku suka bermain hujan saat masih kecil, tidak punya kesempatan lagi setelah menjadi orang dewasa," Zoro mengangkat bahu. "Kau pernah main hujan?"

"Belum," Sanji menggeleng polos.

"Mau coba?"

Dilanjutkan dengan anggukan antusias dari yang berambut pirang. Zoro berdiri, meletakkan gelasnya di lantai tempat semula ia duduk. Tangannya terulur, membantu Sanji untuk berdiri.

.
.

Sanji sungguh seorang malaikat, pikir Zoro.

Zoro kembali dibuat terkesima oleh gerakan anggun si pirang yang menginjak tanah basah. Kakinya telanjang, tidak mengenakan sepasang sandal. Ia tidak berjalan selayaknya manusia pada umumnya, tidak. Langkahnya ringan, berayun. Sesekali sayapnya mengepak, mengangkat tubuh itu beberapa senti dari tanah, tidak sepenuhnya terbang.

Yang paling membuat Zoro kagum adalah lebar dari sayap yang selalu memeluk tubuh si pirang. Sanji memiliki sayap putih yang tergolong besar di balik bajunya yang dimodifikasi sedemikian rupa oleh Zeff. Ketika ia membukanya, sayap itu melebar hingga 7 meter.

Rambutnya bagaikan emas disiram hujan. Ia bergerak kesana-kemari, melompat dan tertawa. Zoro menikmatinya, ia suka memandangi wajah si pirang.

Hujan berhenti beberapa saat kemudian. Sanji menyibak rambut basahnya, menampilkan dua mata biru yang berkilau begitu ditimpa cahaya. Ia mendekati Zoro, tangannya membelai luka di mata kiri kemudian tersenyum.

"Zoro, kau mau tahu sebuah cerita?" Ia bertanya, napasnya menghembus lembut wajah si hijau.

Zoro tidak lekas menjawab.

"Orang itu... Orang yang kau bunuh..." Sanji mendekatkan bibirnya ke telinga Zoro. Ia membisikkan sebuah nama, membuat si hijau terpaku. Menyadari wajah Zoro yang memucat dan tampak seperti terjebak di masa lalu, Sanji segera meraih si hijau dalam sebuah pelukan. "Sshh.. tenang... tenanglah..." walau Sanji begitu buruk dalam menenangkan seseorang, setidaknya ia mampu membuat napas Zoro kembali normal.

"....ada apa dengannya?" Zoro bertanya pelan.

"Kau bisa tanyakan pada Zeff, dia tahu semuanya," sayapnya memeluk dua tubuh menjadi satu. Sekali lagi ia menepuk pundak Zoro pelan, berusaha menenangkan walau tahu ia begitu buruk dalam menenangkan.

Painted In GoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang