4

467 93 4
                                    

Napasnya kini berpacu. Si hijau mulai mengedarkan pandangan, mengawasi daerah sekitar. Langit sudah benar-benar gelap sekarang. Zoro berdiri di bawah tiang lampu, bersembunyi di antara ruko kosong. Sepertinya mobil itu sudah kehilangan jejaknya.

Dadanya membusung ketika ia menarik napas. Kepala ditolehkan ke kanan dan kiri sebelum berjalan di bawah atap. Setiap ruko yang dilewatinya tutup, dapat dilihat dari pagar lipat berkarat. Ada beberapa yang masih buka, tapi sepertinya tidak ada orang.

Langkahnya terdengar menyeret, berjalan tak tentu arah di bawah redup lampu ruko. Tiba-tiba seekor kucing liar melewati sela di antara kakinya, mengendus dan mendengkur. Ekornya melilit halus di pergelangan kaki, menyebabkan Zoro terkekeh geli.

Badan bongsor si hijau berjongkok, tangannya terulur untuk mengelus kucing. Senyum simpul terpasang di wajahnya. Tapi kucing itu tidak seperti yang lain. Setelah mendapatkan satu elusan, ia berjalan beberapa langkah kemudian berhenti. Lalu kepalanya ditolehkan, seakan mengajak si hijau untuk mengikutinya.

Kucing aneh.

Begitu pikirnya, namun segera menghempas jauh-jauh pikiran itu. Zoro memutuskan untuk mengikuti kucing tersebut. Toh ia tidak tahu jalan pulang. Tersesat sebentar tidak jadi masalah.

Beberapa lama membuntuti, Zoro berakhir di depan sebuah bangunan yang amat familiar. Sebuah bangunan kecil yang diapit gedung tinggi. Studio lukisnya.

Zoro merogoh kantung, berharap menemukan kunci. Keberuntungan telah berpihak padanya. Kunci dengan gantungan hijau itu berdiam di dalam kantung celana. Senyum mengembang di wajahnya ketika ia membuka pintu dan berjalan masuk.

Ruangan tempatnya melukis itu kosong. Hanya penerangan dari cahaya bulan saja yang menyinari seisi studio. Ia melepaskan topi dan menatap sofa rusak di sudut ruangan. Langkahnya pelan sementara kucing yang mengantarnya mengeong lembut, melompat ke atas sofa dan menyamankan diri.

Ia duduk, tangannya mengelus kain yang sudah robek. Kedua matanya kemudian memejam, berpikir bahwa bermalam di studio lukis ini bukanlah ide buruk.

.
.


Zoro mencelupkan sebagian kakinya ke dalam air. Sungai dalam gua itu cukup dalam. Beberapa ikan nampak berenang kesana kemari, beberapa memilih bersembunyi di bawah naungan gua. Sementara itu ia duduk di bawah cahaya matahari, menendang-nendang air dengan kakinya.

"Berhenti melakukannya, ikannya jadi kabur semua," tegur si pirang. Tangannya menyentuh kaki Zoro, memaksa si hijau diam di tempat.

"Kalau aku tidak mau?" Ia bertanya. Nadanya diselingi rasa jahil.

Sanji tidak menjawab. Pria itu menyelam ke dalam air, bergerak dengan leluasa. Tubuhnya meliuk cepat, berenang dengan ikan-ikan. Andai manusia duyung benar-benar nyata, Zoro yakin Sanji adalah salah satunya.

Lalu pirangnya menyembul sedikit ke permukaan, biru jernih menatap Zoro. "Apa?" Zoro bertanya. Sanji tidak menunggu waktu lama untuk segera menarik tubuh si hijau jatuh bersamanya ke dalam air.

Zoro kemudian muncul kembali ke permukaan sungai yang tenang. Ia menarik napas sebanyak-banyaknya, mulut terbuka dan menutup. Sanji tertawa ketika melihatnya.

"Kau mau membunuhku, sialan?!" seru si hijau.

Tapi Sanji masih tertawa. Dan Zoro benci ditertawakan. Jadi ia maju, mencium bibir si pirang untuk membuatnya terdiam.

.
.

Z

oro membuka mata. Sinar matahari yang menyingsing masuk lewat sela jendela kaca membuat kedua matanya menyipit. Ia teringat. Semalam tubuhnya hampir remuk ditabrak mobil, kehilangan arah kembali pulang ke apartemen karena kabur dari kejaran, dan berakhir menghabiskan malam di studio lukis. Tangannya menyentuh selembar selimut yang menutupi tubuh. Seingatnya ia tidak mengenakan selimut.

Alisnya bertaut. Apa ada yang menyusup masuk?

Zoro berjalan mendekati pintu, memastikan apa benar semalam ia sudah menguncinya. Seperti yang ia duga, pintu itu masih terkunci rapat. Zoro memperhatikan sekitar. Tidak ada jejak seorang pun selain dirinya dalam studio lukis.

Kucing yang semula membawanya juga tidak dapat ia temukan.

.
.

"Berhasil terjual," kata Perona. Gadis itu langsung mengabarinya setelah lukisan pemandangan yang dibuat Zoro berhasil dijual dengan harga tinggi di pelelangan.

"Oh?"

"Nanti seluruh uangnya akan langsung ditransfer ke rekeningmu,"

"...oke,"

"Ya, aku hanya ingin mengatakan itu, aku sedang sibuk, akan kututup,"

Zoro kembali memasukkan ponselnya dalam saku. Ia mendengus. Sibuk? Perona tidak pernah sibuk. Mungkin gadis itu sedang menikmati siangnya di salon kuku, menghabiskan uangnya untuk mempercantik diri.

Tangannya menyentuh kanvas. Ia sudah menghabiskan hampir 40 jam untuk menyelesaikan lukisan ini. Kertas emasnya sudah hampir habis dan tangannya dipenuhi cat kering.

Luka di wajahnya hampir memudar. Lingkaran hitam di matanya juga sudah tidak separah hari itu. Ia menghembuskan napas. Kalau uang itu cukup untuk menghidupinya, ia akan pindah apartemen. Mungkin mencari lokasi yang dekat dengan studio lukisnya. Atau tempat yang setidaknya jauh lebih baik daripada apartemen murah dengan pintu berderit. Ia juga berniat untuk segera melunasi hutangnya.

Lalu ia akan berhenti menjadi petarung bawah tanah. Bisnis itu tidak akan bertahan lama. Pasti akan segera terendus oleh pihak berwajib. Dan Zoro berniat untuk menjauhkan diri sebelum jatuh terlalu dalam.

Ia menatap kanvas, melihat wajah sama yang ia lukis untuk kesekian kalinya. Lukisan ini tidak akan ia jual. Apapun yang berhubungan dengan pria pirang itu tidak akan menjadi objek koleksi yang dapat dibeli dengan uang.

Kepalanya dimiringkan, walau begitu ia masih tidak ingat namanya.

Painted In GoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang