5

454 83 7
                                    

"Likes-nya sudah mencapai ribuan," Nami menyilangkan kakinya yang berbalut stiletto merah. Gadis itu mendekatkan bibirnya pada pinggir gelas, menyeruput kopi panas dengan hati-hati. "Kau terkenal,"

Zoro tidak menjawab. Ia memandang jendela lebar di samping tempatnya duduk. Kepalanya disenderkan pada kaca, menutup mata. Angin yang berhembus dari pendingin ruangan sedikit membuatnya menggigil. "Bukan aku yang terkenal, lukisanku,"

"Tapi kau juga, kan kau yang membuatnya, maksudku Mona Lisa memang terkenal, tapi bukankah Da Vinci juga menjadi terkenal karena lukisan itu?"

"Banyak pelukis lebih dihargai ketika mereka sudah mati," Zoro berkata. "Maksudku lihat saja Van Gogh,"

"Berhenti berlagak depresi seperti itu, kembali ke topik, banyak orang ingin tahu namanya siapa," Nami menunjukkan kolom komentar.

Zoro-masih bersandar pada kaca- menatap malas. "Tidak ingat," gumamnya pelan. "Aku tidak bisa mengingat nama pria yang menjadi inspirasiku," lalu berkata lebih keras.

"Kepalamu itu memang kosong atau apa hah?"

"Kubilang aku tidak ingat," Zoro mengerucutkan bibirnya.

Lalu Nami tersenyum masam. "Setidaknya sekarang aku tahu kau punya bakat selain membunuh orang,"

Genggaman Zoro pada cangkirnya semakin erat. Ia menatap Nami. Matanya menggelap dan jantungnya berdetak kencang, cepat. "Nami," suaranya terdengar berat.

"Ah maaf,"

.
.

Di dalam kamar apartemen berukuran 28 meter persegi itu Zoro beristirahat. Tubuhnya lelah setelah seharian membantu Nami memindahkan lemarinya dengan imbalan uang. Ia belum mengabari Max tentang keputusannya untuk berhenti. Entah kenapa rasanya berat.

Uang dalam rekeningnya sudah bertambah. Lebih dari cukup malah. Tangannya menyentuh lampu tidur, mematikannya. Kemudian jarinya kembali bergerak untuk menghidupkan lampu, lalu mematikannya lagi, lalu menghidupkannya lagi, dan memencet tombol itu berulang kali.

Zoro menghela napas. Iris cokelatnya yang menjadi keabuan memandang kosong ke langit-langit atap. Suara ramai klakson mobil dan beberapa pengendara motor di luar apartemen membuatnya ingin membeli drywall untuk memblokir kebisingan. Jalanan di bawah sana masih dilalui banyak kendaraan bahkan di jam 10 malam. Belum lagi pasangan yang bertengkar di kamar sebelah, atau musik yang diputar kencang di alun-alun kota.

Mungkin salahnya memilih apartemen murah di tengah kota. Zoro menutupi telinganya dengan bantal. Ia tidak membutuhkan drywall. Sebentar lagi ia akan mencari apartemen baru. Apartemen yang jauh dari ingar-bingar.

.
.


"Sanji," Zoro memanggil dari atas tebing curam yang langsung mengarah pada air laut. Pria pirang di sampingnya hanya tersenyum menatap laut di bawah kaki. "Sanji," suaranya sekali lagi memanggil.

Bunyi debur ombak yang menabrak karang membuat suaranya terkubur. Sanji membiarkan angin menyapu rambut kuningnya, masih juga memandangi laut yang kedalamannya tersembunyi di antara kegelapan.

"Zoro, kau menyukaiku?"

"Hm?"

Sanji tertawa kecil. "Kutanya sekali lagi, kau suka padaku?"

"Tidak tahu," ia mengangkat bahu.

Sanji tidak berkata apapun. "Aku juga tidak tahu," lalu memecah hening. Ia memutar balik tubuhnya cepat. "Hei, menurutmu... bagaimana rasanya tenggelam?"

Zoro tidak memiliki waktu untuk memproses ucapan si pirang, terlebih lagi menarik pria itu sebelum ia menjatuhkan diri dengan kedua tangan terentang. Lantas si hijau menjatuhkan diri, ikut melompat dari atas tebing. Kedua tangan solidnya memeluk tubuh yang lebih ramping, menarik pria itu sedekat dan seerat mungkin.

Sanji tersenyum getir dalam pelukannya. Pria pirang itu meletakkan sebelah tangannya di belakang rambut hijau, mendorong Zoro dalam sebuah ciuman. Mereka berciuman tepat sebelum ditelan ombak yang bergulung di tepi.

Lalu tenggelam.

.
.


Di pagi hari Zoro kembali mengenakan jaketnya dan keluar dari apartemen. Ia segera mengunci pintu rumah dan menuruni tangga.

Tangannya menyentuh sepanjang pagar tangga yang bewarna kemerahan. Karat sudah menggerogoti besi yang lama ditimpa hujan itu. Pemilik gedung tidak kunjung memperbaikinya. Tapi Zoro sama sekali tidak mempermasalahkan karat pada railing tangga. Ia bukan orang yang peduli pada masalah kecil.

Ada masalah yang jauh lebih besar. Air panas di kamar apartemennya tidak berfungsi. Suhu semakin rendah mengingat musim dingin semakin dekat. Zoro merapatkan jaketnya. Cuaca hari ini agak lebih dingin daripada hari sebelumnya.

Lengannya diayunkan dengan harapan dapat menghangatkan badan, sedikit melakukan olahraga. Kakinya kemudian melangkah, setengah berlari. Temperaturnya naik setelah beberapa saat berlari.

Ia baru melambatkan jalannya ketika berada di dekat sebuah toko. Dari etalase dapat ia lihat sebuah pedang dipajang rapi. Kepalanya mendongak, menatap papan nama. Sepertinya toko perlengkapan antik.

Zoro terdiam cukup lama. Matanya memandang refleksi diri. Pedang, darah, dan sirine dari mobil polisi seketika melintas di pikirannya. Tangannya mengepal erat hingga buku jarinya memutih. Harusnya ia sudah lupa.

Pandangannya dialihkan pada jalan trotoar. Ia harus cepat. Hari ini jadwal pertemuannya dengan seorang agen properti. Cepat, jangan pikiran hal itu lagi, jangan terpaku pada insiden itu lagi. Cepat, ia harus cepat.

.
.

"Ini apartemen terbaik dengan harga yang sesuai budget anda, letaknya juga strategis dan dekat dengan studio lukis,"

"Bagaimana dengan suara?"

"Tempat ini relatif tenang, jarang ada mobil yang lewat," pria itu berjalan ke arah balkon, menunjukkan lebih jelas. "Anda juga bisa memasang dinding kedap suara kalau mau, tapi tentu saja menggunakan anggaran pribadi,"

Zoro mengangguk dan bersandar pada pagar pembatas. Sejenak ia terdiam, menikmati angin yang bertiup. Ia menyukai tempat ini. "Aku mau menyewa apartemen ini,"

Agen perantara tersenyum simpul. "Baiklah, sisanya biar kami yang urus, Tuan Roronoa."

Painted In GoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang