10

438 78 2
                                    

Ketika Zoro menanyakan nama itu pada Zeff, sebelah alis pria tua tersebut terangkat, memandang si hijau penuh curiga. Namun ia merilekskan tubuhnya di atas sofa, mata terpaku pada Sanji yang sibuk menyirami pot-pot berisi bunga di dalam rumah. "Dia yang mengurung Sanji di ruang bawah tanah," akhirnya ia bersuara, rendah dan lambat.

Zoro tidak paham pasti, tapi mulutnya terbuka untuk beberapa saat, kemudian menutup lagi. Zeff memandanginya kemudian menghela napas. "Aku berhasil menemukan Sanji setelah kematian orang itu, aku dengar seseorang membunuhnya, beritanya simpang siur,"

Tangan Zoro mengepal kuat. Lalu ia menyentuh kulit sofa, kuku menggaruk permukaan sofa kuat. Kebiasaan buruknya mencuat keluar di saat ia merasa gugup. Mungkin itulah sebabnya sofa di studio lukisnya rusak. Mungkin itulah yang membuat kulit luarnya terkoyak.

Mungkin semua kembali lagi pada fakta bahwa dia yang membunuh orang itu.

Zoro menolehkan kepalanya, mencuri pandang pada si pirang yang tampak tidak mempedulikan sekitarnya. Bibir merah jambunya mengerucut, mata biru menatap bosan pada sekumpulan burung yang menetap di jendela. "Kau menemukannya..." Jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah. "Di basement Saga?"

"Ya, ketakutan dan kelaparan,"

Pantas saja Sanji tidak menganggapnya pembunuh. Pria itu, malaikat berambut pirang itu, menganggapnya sebagai pahlawan.

Ketika Sanji menoleh, memergoki dirinya tengah mencuri pandang, ia malah melempar senyum cerah. Lagi-lagi Zoro tak mampu mengungkapkan kata. Suaranya ditelan, tersembunyi di balik semburat merah.

.
.

"Aku harus pulang," Zoro berdiri, merapikan lengan bajunya setelah seharian menunjukkan keterampilannya melukis di depan si pirang. Pria yang menjadi subjek dalam mimpi-mimpinya itu kini hadir di sampingnya, tangan beristirahat di atas lutut yang menekuk. Tidak bisa dipercaya.

Rambut emasnya tampak seperti pagar bulan, bercahaya dan membingkai wajah putihnya. Bola biru besarnya menatap penuh harap. "Tinggallah di sini semalam saja, ya? Temani aku," tangannya menyentuh lengan kemeja biru langit si hijau. Kemeja itu berbeda dari awal kedatangannya. Zeff meminjamkannya sepasang pakaian untuk dikenakan karena baju yang ia pakai sebelumnya basah terguyur hujan.

"Sanji..." Ia menghirup napas dalam.

"Malam ini biar aku yang buat makanannya! Jadi kau tinggal di sini, makan masakanku, tidur denganku, lalu boleh pergi, bagaimana?"

Pikiran Sanji terlampau simpel. Pria itu menatapnya seakan dia sudah melakukan tawar-menawar yang cukup baik. Senyumnya terlihat sombong dengan dada membusung. Zoro meraih rambut pirang, mengacaknya lembut.

"Aku bisa datang lagi besok,"

"Tidak— tunggu! Jangan pergi malam ini!" pintanya cepat.

Zoro menatap keluar jendela. Hari sudah hampir petang. Rencananya untuk pulang pupus sudah. Melihat manik biru jernih yang memandangnya intens, segalanya tidak lagi sesuai rencana, tidak berjalan seperti yang Zoro mau. Padahal si hijau bukanlah pria yang mudah goyah. Menurut beberapa temannya, Zoro terkadang bagaikan sequoia raksasa. Ia tinggi, kuat, dan mengintimidasi— seseorang yang berpegang teguh pada pendiriannya.

Tapi Sanji? Malaikat itu?

Zoro tersenyum tipis. Mungkin Sanji lah satu-satunya alasan baginya meruntuhkan tembok dalam kepalanya. Ia kalah. "Masakkan aku sesuatu yang enak, makanan favoritmu," tuturnya keluar dengan aksen rendah.

Sanji mengangguk cepat. Ia melesat pergi menuju dapur, meninggalkan si hijau dalam sunyi senyap kamar. Zoro tertawa kecil. Ia mengikuti langkah— pantaskah disebut langkah saat ia menggunakan sayapnya? Si hijau menggelengkan kepala. Kakinya terus berjalan menuju ruang tengah, membawanya pada Zeff yang duduk menyendiri.

Pria tua itu melempar senyum kecil padanya. Bahkan Zoro tidak tahu apa dia harus menyebutnya sebagai sebuah senyuman. Ia bergerak mendekat dan duduk. "Bagaimana dengan Sanji?"

"Sempurna," kata-katanya keluar tanpa mampu ia pikirkan lebih dulu. Buru-buru Zoro menutup mulutnya dengan sebungkus permen, memakannya cepat. "Maksudku... dia baik,"

"Baik... Kupikir kata itu terlalu luas untuk menggambarkannya kan?"

Lalu apa yang harus ia katakan? Rupawan? Indah? Pandai?

Entah kenapa hanya baik-lah yang terpikirkan di kepalanya. Lebih cocok untuk mendeskripsikan sosok anak di depan sang ayah, bukankah begitu?

Lalu Zeff bertanya, "Bagaimana kau kenal Saga?"

Zoro tercekat. Sesaat dapat ia rasa lidahnya menjadi kelu. Ia memandang nanar, gelisah tampak begitu kentara. "...teman lama," Zoro harap suaranya tidak terdengar rapuh dan pecah.

Zeff menyesap teh yang baru ia tuang dari dalam teko. "Kau bisa ceritakan padaku, nak... Apa hubunganmu sebenarnya dengan Saga,"

Si hijau terdiam. Ia kembali dipaksa mengingat kejadian itu. Saat ia menghempaskan tubuh kawannya ke dinding dan menggunakan sebilah katana tajam yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri untuk melukai Saga, sekedar menggoreskan luka. Tapi ia tak sadar, luka yang dibuatnya begitu dalam.

Zoro melakukannya di luar kendali setelah melihat Saga menyiksa seorang wanita. Kemudian wanita itu menjerit, meneriakkan kata pembunuh berulang kali. Zoro tidak berniat membunuh. Demi dewa-dewi di langit—andai mereka sungguh nyata, ia tidak pernah berharap Saga mati. Ia berniat menyelamatkan wanita itu. Tapi malah makian dan cercaan yang ia dapat. Lalu dinginnya ruangan kecil di balik jeruji besi.

Sekarang, melihat kembali peristiwa itu dan menghubungkan talinya dengan Sanji, Zoro tidak lagi merasa bersalah. Hati busuknya merasa lega telah membunuh pria itu. Dan perasaan runyam yang membebaninya mulai diangkat satu persatu.

Seketika Zoro tersadar dari lamunannya setelah kedua tangan hangat menggapai lehernya, memeluknya dari belakang. "Makanannya sudah siap, ayo,"

Painted In GoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang