Sebait kalimat |4|

0 1 0
                                    

Aroma capuccino mulai menyeruak kala pintu rumah terbuka. Memang tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman. Aku mulai mendekati sofa coklat di depan televisi, dan duduk disana. Sambil mengeluarkan ponsel milikku.

Andi juga ikut. Namun, Ia duduk di sofa tunggal.

"Aku panggil Bu Nana dulu, ya!" baru saja ia duduk. Sudah mau berdiri lagi?

"Mau apa? Mau minta makanan lagi?"

"Ya enggak, lah! Aku mau ajak Bu Nana. Beliau kan lebih tau daripada kita. Gimana? Boleh, 'kan?"

"Iya!" bukan aku yang menjawab. Itu Viro. Ia tiba-tiba duduk di sampingku. Dengan memegang sebuah tongkat kayu.

Astaga. Untuk apa Viro membawa tongkat kayu itu?!

"Itu apa?" pertanyaan Andi kali ini membuatku kesal. Apa ia tidak lihat? Itu kayu. Aku bisa melihat itu dengan jelas.

"Gak tau." aku menggeram dalam hati. Ini Viro dan Andi kenapa, sih?

"Bingkai foto!" ucapku kesal. Lah, sudahlah. Biar aku saja yang memanggil Bu Nana.

"Kemana, Ra?!" aku tak peduli dengan pertanyaan Viro.

Rumah Ziella dan Bu Nana sangat dekat. Tidak terhalang satu rumah pun malah. Jadi, sangat dekat untuk aku memanggil beliau.

Kebetulan sekali. Bu Nana sedang di depan rumah nya, bersama seorang gadis.

"Ibu." Bu Nana tersenyum sejenak padaku, dengan memberi isyarat lewat tangannya. Seakan-akan ia akan mengucapkan 'tunggu sebentar'.

Aku tak punya pilihan lain selain menunggu. Tak sopan juga, 'kan kalau aku memotong pembicaraan mereka.

"Terima kasih, Ibu. Saya pamit ya!" obrolan nya diakhiri oleh sang gadis yang mengucapkan kalimat tersebut.

"Iya. Sama-sama." aku baru mulai mendekati Bu Nana.

"Itu siapa, Bu?"

"Tetangga baru. Dia tanya-tanya tentang lingkungan disini." aku mengangguk.

"Ada apa, ya?"

"Ini Bu. Kita mau Ibu ikut ke rumah Ziella, boleh? Ibu pasti  lebih tau di banding kami." aku sempat ragu jika Bu Nana akan menjawab iya. Terlihat dari penampilannya yang sudah sangat rapi.

"Maaf. Tapi, Ibu tidak bisa. Ada keperluan." baiklah. Terpaksa kami bertiga akan berkeliling sendiri.

"Oh. Ya sudah Bu, tidak apa-apa. Terima kasih ya. Dan maaf merepotkan." Ibu Nana mengangguk sejenak. Lalu tangannya merapikan rambutku yang terurai.

"Ibu yakin kamu baik, Nak. Tolong ya. Bantuin Ziella."

"Pasti Bu!" tangan Bu Nana berhenti merapikan rambutku. Rasanya nyaman kala Bu Nana melakukan itu. Bu Nana mengelusnya penuh dengan kasih sayang.

"Mah. Ayok!" kami melirik ke arah suara itu berasal. Terdapat seorang lelaki yang seumuran denganku. Menggunakan kemeja abu motif kotak-kotak yang tak terkancing, dengan dalaman kaos putih polos. Serta celana jeans hitam dan sepatu putih.

"Iya ayok. Ya sudah ya, Safira. Ibu berangkat dulu." aku mengangguk dengan sopan.

"Ra!" tepukan dari pundak membuatku kesal. Sudah pasti ini kerjaan Viro. Siapa lagi coba?

Nah kan. Iya. Dia Viro.

"Apa sih?"

"Jadi gak nih? Terus Bu Nana kenapa malah pergi?" aku melengos tak memperdulikan.

"Sombong amat kamu, Ra." kali ini aku meninggalkan Viro dan segera melakukan penelusuran. Siapa tau, memang ada petunjuk di rumahnya Ziella.

"Ayok cepat Viro!"

Terjebak dalam KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang