Kemarin 2 |6|

0 0 0
                                    

Sore ini, acara beres-beres rumah sudah selesai dilaksanakan. Tinggal Dika yang ditugaskan untuk membakar sampah yang telah dikumpulkan.

Sampah tersebut berasal dari buku-buku yang sudah tak terpakai. Pakaian lama, dan barang-barang yang sudah tak di butuhkan pula.

Semuanya membereskan kamar masing-masing untuk memilah mana sampah dan mana barang yang masih dipakai. Namun, kamar Ziella di bereskan oleh Dika. Karna kala itu, Ziella tengah sibuk menata kembali ruang tamu bersama ibunya.

"Cuaca hari ini cerah sekali." Dika menengadahkan kepalanya, melihat matahari yang masih bersinar terang di atas sana.

"Waktunya membakar sampah!" Dika mengeluarkan korek dari saku celana nya. Perlahan, api muncul, dan Dika mengarahkan itu pada sampah yang sudah menggunung dengan sempurna.

"Dika! Biarkan saja sampah itu terbakar. Mari sini!" Dika memutar tubuhnya. Ziella dan ibunya sudah menunggu di teras rumah dengan beberapa camilan di depan mereka. Terlihat juga Fani yang ikut-ikutan kumpul.

"Kamu mau teh manis atau pahit?"

"Pahit sepertinya enak. Cemilannya, 'kan manis." teh pahit dengan beberapa kue manis. Perpaduan yang cocok untuk ngemil sore ini.

"Aku juga ingin, Dika." Fani mulai mendekati Dika dan merayu, layaknya sang adik yang merayu pada kakak lelakinya.

"Fani katanya mau, mah."

"Oh ya? Mau apa?" ibunya melihat ke samping Dika yang tak terlihat. Tapi, di situ memang ada Fani yang juga menatap ibunya. Walaupun sang ibu tak dapat melihat Fani, tapi Fani bisa melihatnya.

Keluarga ini yang masih menganggap Fani ada.

Fani merasa merindukan keluarganya. Terutama sang Ibu.

"Sama kayak Dika." Fani menjawab lirih. Jawaban dari Fani, Dika sampaikan. Dengan sigap, ibunya membuat teh pahit dan di sodorkan di samping Dika.

"Silahkan Fani." Fani menatap teh pahit itu dengan tatapan sendu. Asap yang mengepul dari teh membuat tangannya sedikit hangat. Kenangan bersama ibunya terlintas di kepala begitu saja.

"Aku rindu ibu, Ka." seakan mengerti. Dika menyentuh pundak Fani dengan lemah lembut, Dika berusaha memancarkan kehangatan pada Fani.

"Anggap saja ibuku juga ibumu, Fani." sang ibu yang merasa terpanggil menatap Dika seolah-olah bertanya 'ada apa?'

"Fani rindu pada ibunya, mah."

"Kasian sekali Fani. Mari sini, mamah peluk!" ibu Dika merentangkan tangannya, memberi isyarat agar Fani memeluknya.

"Bolehkah?" Fani menatap Dika untuk meminta ijin.

"Tentu saja!"

Fani menerima pelukan dari ibu Dika. Air matanya meluncur begitu deras. Ia ingat, bagaimana sang ibu yang memperlakukannya bak tuan putri. Di keluarga Dika pun, dirinya diperlakukan seperti itu.

"Fani memelukmu. Sambil mengangis." mendengar hal itu, ibu Dika mengusap tepat di punggung Fani.

"Tidak apa, sayang. Kamu akan baik-baik saja."

Perlahan demi perlahan. Raga Fani mulai terlihat jelas di mata semuanya. Ibunya, Ziella. Mereka melihat bagaimana Fani memeluk sang ibu dengan erat. Ziella baru bisa melihat bagaimana rupa Fani kali ini.

"Kau anak yang cantik, Fani." merasa ada yang meraba rambutnya, Fani menengok. Dan mendapati Ziella yang kini menatapnya.

Awalnya Fani bingung. Tapi setelah Ziella mengeluarkan kalimat.

"Aku sekarang bisa melihatmu. Mamah juga bisa melihatmu. Hai Fani Adelliani!" sapaan dari Ziella tentu membuat Fani tersenyum dan membalasnya.

"Hai, kak Ziella Anastasya!" lalu Fani menatap pada ibu Dika. Senyum terbaiknya ia tunjukkan.

Terjebak dalam KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang