Di chapter 'kemarin' ini hanya akan diceritakan masa lalu Dika dan Ziella. Jadi. Untuk chapter ini. Safira, Viro, sama Andi gak akan ada.
Kalau pengen tau konflik nya lebih jauh. Baca chapter ini sampe akhir, yaa!
♣♣♣
Burung-burung di langit sore menambahkan panorama yang indah untuk di pandang. Semilir angin sejuk mulai terasa di kulitnya.
Berkumpul dengan keluarga sembari bercanda. Dilengkapi dengan suara kicauan burung, dan langit sore yang berwarna orange.
Indah.
Itu yang dapat di simpulkan.
"Ayok tebak. Yang mana?" Ziella mengasongkan kedua tangannya yang tergenggam rapat. Di dalamnya ada uang koin bernilai seribu rupiah.
Dika menggerakan tangannya seakan-akan ia sedang berfikir.
"Mungkin ini." pilihannya jatuh pada tangan kanan. Siapa tau tangan kanan itu yang berisi uang? Bukannya yang kanan itu selalu bagus?
"Yahhh. Kok bener, sih?"
"Dika gitu, lho!" Ibu dan Ayahnya hanya bisa tersenyum simpul melihat tingkah anaknya. Lalu masuk ke dalam rumah dengan sebuah candaan yang dilontarkan Ayah.
"Main bola yuk, kak!" belum sempat Ziella membalas. Dika sudah menariknya terlebih dahulu. Jadi. Mau tidak mau, Ziella harus bermain dengan Dika. Walaupun ia tak menyukai bola.
"Siap?!"
"Siap tidak siap. Aku harus siap." Dika tertawa lepas mendengar nya.
"Kau Kakak yang hebat! Aku bangga memiliki Kakak sepertimu."
"Sudahlah. Jangan memujiku. Ayok cepat!" kakinya mulai mengayun. Bermaksud memberi ancang-ancang untuk menendang bola.
Ziella pun mulai bersiap memposisikan diri agar bola itu tak masuk dalam gawang.
"Hiaaa!" teriakkan Dika menandakan bahwa permainan sedang berlangsung.
"Ketangkep dong! Yahh, Dika payah."
"Kak Ziella curang itu!" ucapnya tak terima.
"Curang darimana nya?"
"Yaa. Intinya curang!" berikut contoh orang serakah. Sudah tau tak pandai bermain bola. Tetap saja keukeuh untuk bermain. Lebih parahnya lagi, ingin menang walaupun kenyataannya ia kalah.
"Ya sudah, ya sudah. Nih gol." Ziella menyimpan bola nya di dalam gawang.
"Horey!" biarlah dia bahagia. Walaupun bukan dengan usahanya sendiri. Dika masih kecil ini, toh.
Tapi. Walaupun Dika masih kecil. Tetap harus diajarkan untuk menerima keadaan. Jika kalah, ya kalah. Jika menang, ya menang.
"Udah dulu, ah! Kakak cape. Mau bobo sore."
"Bobo sore emang ada? Tanggung banget padahal. Bentar lagi, 'kan malam." karna Dika masih ingin bermain. Ia bermain bola sendiri tanpa Ziella. Dengan lincahnya ia menendang bola kesana kemari.
Trang!
"Ya Tuhan." gumamnya ketakutan
"Dika Perwira!" ia ingin berlari saja rasanya. Tapi sayangnya pagar yang akan ia jadikan tempat pelarian sudah di tutup rapat. Dan kunci nya ada pada sang Ayah.
"Tidak apa-apa Dika. Ibu mu, 'kan baik." teman tak terlihat nya mulai muncul dan memberikan sebuah kalimat penenang.
"Maafin Dika, mah." ucapnya masih dengan ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak dalam Kata
FantasySafira Adhena Sukma Putri. Gadis remaja yang harus masuk dalam sebuah kisah Novel yang sedang ia baca. Ini bukan tentang perpindahan jiwa dari sang pembaca kepada sang pemeran. Ini nyata. Safira yang mendadak menjadi peran utama. Pembunuhan. Itulah...