04. Please?

569 155 6
                                    

"Nggak diterima? Maksudnya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nggak diterima? Maksudnya?"

"Ya diusir? Namanya aja udah ditolak."

"Ckck, kenapa nasib lo bisa semiris ini sih, Bang." Kai berdecak sambil menggeleng. Adalah suatu rekor untuk seorang Giovanka bisa mengalami sebuah nasib malang.

"Nah itu gue juga heran. Bahkan dalam percintaan, gue selalu dijauhkan dengan yang namanya penolakan. Gue memuja para kaum wanita, begitu juga sebaliknya. Heum, apa jangan-jangan ini karena gue nggak memuja kaum bernama Bintang, ya?"

Kai tergelak. "Haha, ada-ada aja, sih."

"Anyway, makasih tumpangannya malam ini, Kai. Akhirnya gue bisa segar dan bersih dari segala noda kayak yang Bintang bilang."

"Bukan apa-apa, Bang."

"Btw lo keliatan nyaman banget ya tinggal sendiri kayak gini." Gio memantul-mantulkan dirinya di sofa empuk itu. Apartemen yan jadi kediaman baru Kaivan itu tak kalah mewah dengan milik Bintang Anderson. "Coba aja gue anak tunggal juga."

"Lah? Bukannya lebih enak kalau punya saudara?"

"Cih, mana ada. Jangan percaya mitos, Kaivan."

Kai mengernyit. Butuh penjelasan, dimana letak mitosnya gagasan barusan.

Gio langsung menegapkan duduknya, bereskpresi serius. "Listen to me. Gue adalah testi nyata di depan lo. Gue punya satu buah abang. Yang anti dan alergi sama adeknya sendiri. Even selama ini, dia punya dua sebutan andalan buat gue. Can you guess?"

"Hmmm, adikku sayang? Adikku tercinta? Gio manis? Atau ... baby?"

"Anjrit, nggak gitu!" umpat Gio, yang kesal sendiri mendengarnya. "Yang pertama, bocah tengik. Yang kedua, bocah setan," katanya dengan nada yang mantap. Melanjutkan, "terus juga ya, kalau dia marah atau kesal, dia bakal panggil nama gue lengkap-lengkap. 'GIOVANKA ANDERSON!' gitu..." jelasnya, sambil menirukan gaya marah andalan Bintang.

Kaivan tergelak lagi. Baginya senior dunia kerjanya ini mood sekali kalau sudah diajak berbincang.

Benar. Kaivan dan Giovanka saling kenal dan berteman semenjak keduanya sempat dipromosikan bersamaan sebagai duo best model periklanan brand yang cukup terkenal. Di agensi StarBoyz, keduanya sering disebut-sebut sebagai model tak ada banding dan berkedudukan setara, meski faktanya Giovanka lebih senior.

Gio kalau sudah di mode bekerja takkan putus memungkas, "pokoknya gue model no.1 di sini!" Dan Kaivan hanya bisa mengiyakan saja, dangan senyum tulus dan lapang dada.

"Intinya itu, deh. Punya saudara itu nggak semenyenangkan, sesoft dan semanis yang orang-orang kira. Makanya kadang gue emosi jiwa lihat banyak novel genre brothership yang menceritakan hubungan manis kakak adek cowok, laku keras di pasaran. Cih, sumpah dongeng banget!"

Untuk ke sekian kali, Kai hampir tewas karena tertawa. Bahkan seniornya itu telah sukses jadi komedian pribadi Kaivan tanpa perlu usaha. "Oke oke oke, paham kok, Bang. Betapa nggak indahnya hubungan kalian."

"Sangat jauh dari kata indah, Kai!"

Ponsel Gio yang tergeletak di meja bergetar hebat. Menampangkan sang penelepon yang sang empu namai "Abang Star" di sana.

"Lah panjang umur. Baru dighibahin, dia nelpon," ujarnya, tanpa bereaksi apa-apa dari posisinya.

"Nggak diangkat?"

"Nggak, ah. Males banget. Dia yang ngusir juga. Malam ini gue nginep di sini aja ya, Kai? Boleh, kan? Yayaya?"

Kai mengangguk tanpa pertimbangan. "Apa juga alasannya sampai gue harus nolak, Bang."

"Btw, gue mau minta tolong lagi, dong."

"Tolong apa?"

"Besok. Sepulang sekolah 'kan gue harus ke tempat Bintang. Nah, lo ikut aja ya? Mana tahu hati mungilnya akan langsung tergerak kalau lihat adik idaman kayak lo."

INDOORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang