Di antara keanggotaan The Spring, Arjunanda itu termasuk member yang perfeksionis dan keras kepala. Bahkan di beberapa momen, dia cukup impulsif dan jadi sangat pemarah. Mungkin ini alasan mengapa dia berposisi sebagai leader bahkan tanpa perlu kesepakatan.
Juna yang memiliki jadwal padat kelas arsitektur dan jadwal performnya sebagai drummer jadi memiliki waktu yang sedikit untuk berberes dan membersihkan rumah. Bahkan kadang dia baru sempat melaundry pakaian kotornya yang menumpuk sebulan sekali.
Sadis sekali, bukan?
Semua orang di luar sana barangkali telah terkecoh sebab Juna itu pandai sekali dalam berpenampilan rapi dan bersih.
Hari hampir malam saat Juna baru pulang ke kosannya tercinta. Tadinya dia asal buka kunci pintu dan menyelonong masuk dengan mudah. Sempat-sempatnya dia lupa kalau sekarang tak lagi tinggal sendiri.
"Udah pulang, Bang?"
"Ya ampun gusti!" Juna terlonjak, memegangi dadanya. Satu hal yang sangat sama diantara dua bersaudara ini adalah mereka sama-sama paling muda kaget akan apapun. "Kenapa tadi lampunya nggak dihidupin!?" kesalnya, barusan menyalakan lampu yang dimaksud.
"Aku nggak tahu saklarnya. Bingung dari tadi nyari-nyari."
"Ada di sini, nih. Nggak sulit, kan?"
Juna langsung membeku setelah menjelaskan letak saklar itu. Melihat ke selilingnya yang bagai sudah disulap jadi hunian mahabersih; gorden lusuhnya yang sudah diganti menjadi warna cerah, tumpukan sampah yang menghilang berganti dengan tong yang mengkilap seperti baru, lantai yang kinclong, set drum maupun meja arsitektur yang terbebas dari debu, serta pewangi ruangan yang baru saja Juna notis.
"Kamu ... kamu apain kosan abang!"
"Dibersihin," jawab adiknya polos. "Oh iya, maaf juga, tadi aku ambil semua tumpukan baju kotor abang di kamar, terus dicuci di kamar mandi. Baru setengah, aku pause nyucinya soalnya takut gelap."
"Siapa yang nyuruh kamu bersih-bersih, hah?"
"Nggak ada. Aku gabut." Dia lantas berpamitan setelahnya. "Karena udah terang, aku mau lanjut nyuci dulu ya, Bang."
"Eehh, kenapa ga dilaundry aja, sebanyak itu!"
"Ck, sayang uangnya. Selagi bisa dicuci sendiri kenapa harus laundry. Abang masih punya rinso juga."
"Tapi 'kan, cape, Raffa. Udah tinggalin di situ."
"Enggak, bang. Selama di asrama bahkan aku sering nyuci baju temen-temen kalo mereka nggak sempat."
"Bentar. Kamu jadi korban buli ya, di sekolah?"
"Enggak. Aku emang suka cuci baju."
Juna menepok jidat. Hobi anak ini ada-ada saja!
Juna langsung menyusul Raffa ketika adiknya itu sudah berjalan duluan ke kamar mandi. Duduk di kursi plastik kecil dan mulai memberos satu persatu pakaian. Juna berdecak, merasa bersalah.
Raffa menoleh sebentar. "Udah, abang tenang aja. Aku udah biasa nyuci dengan bersih. Uang yang biasa abang pakai buat laundry 'kan bisa disimpan, mungkin bisa dibeliin bahan masak biar abang nggak makan mi terus."
Pintar sekali. Memasak adalah hobi lain Raffa. Mungkin sikap ini hanya termasuk ke dalam alibinya agar Juna bersedia mengisi kulkas dan dia bisa berkreasi kembali dengan aneka masakan rumah.
***
Raffa benar-benar membawa pola hidup yang baru di kediaman Juna. Bahkan untuk memakan mi instan sebagai makan malam, dia sampai membeli sendiri beberapa bahan makanan. Memadukan telur mata sapi juga irisan sosis yang membuat acara makan mi lebih variatif.
Bahkan dia tidak perlu minta persetujuan dari kakaknya.
Raffa sudah mulai beranjak ketika keduanya telah menghabiskan makanan masing-masing.
Juna menahan tangannya sigap. "Ettt, udah diem aja. Kamu pasti capek seharian beres-beres sama nyuci. Biar abang aja yang beresin ini sama buang sampahnya."
Adiknya sudah mau membantah lagi, tetapi Juna sudah lebih cepat membungkam. Tegak sambil mengancam beri hukuman kalau Raffa bertingkah lagi masalah urusan kebersihan.
Juna menenteng seplastik kecil berisi sampah kemasan. Mengembus napas panjang ketika dia pamit keluar kosan sebentar untuk membuang itu di pembuangan utama, tak jauh dari sana.
Padahal Raffael yang mengerjakan banyak tugas rumah itu, namun entah kenapa Juna juga ikut kelelahan dibuatnya. Entahlah, mungkin Juna kelelahan batin melihatnya.
"Eh, Juna?" sapa Tegar, yang merupakan penghuni di samping ruangan Juna.
"Oi, Bang," balas Juna, yang dikarenakan memang Tegar lebih tua dua tahun di atasnya.
"Adiknya lagi berkunjung, ya? Sampai kapan?"
"Kurang tau sih, Bang. Untuk sementara, katanya. Mungkin gak lama. Kenapa?"
Tegar tersenyum. "Anaknya manis banget, pake segala anterin roti ke kamar gue." Masih terbayang jelas diingatannya, saat Raffa mampir menyapa sambil membawa buah tangan itu.
"Saya adiknya Bang Juna di sebelah, makasih udah jaga abang saya selama ini. Harap maklum kalau ke depannya dia buat keributan pas latihan drum, ya? Abang saya emang pecinta musik sejati."
Tegar tersenyum sumringah, merangkul Juna sok akrab. Padahal sebelum ini, dialah satu-satunya si tukang protes yang suka melabrak dan mengumpati Juna kalau Juna berisik dengan drumnya. "Lo bilang dong, sejak awal, kalau lo pecinta musik sejati. Jadinya 'kan gue ngerti dan anggak akan komplain apa-apa pas lo latihan." Cowok itu menepuk bahu Juna dua kali. "Semangat ngebandnya, ya, Jun!"
Juna terpelongo melihatnya, bahkan butuh waktu beberapa menit untuk dia meload semua yang baru saja dia alami.
Bukan hanya dalam rumah, tapi juga membuat pengaruh di lingkungan sekitar. Juna meringis sendiri memikirkannya, mengacak-acak surai kelamnya.
"Buset, Raffael Ganendra, lo ngapain aja seharian ini!"
Ini dia Raffael si anak rajin sejak lahir ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
INDOOR
Humor[A TXT LOCAL FANFIC] Persaudaraan itu tak selamanya indah, tak selamanya pula terasa sumpek. Relasi pedas manis itu akan terus terjadi seiring waktu berjalan. Akan selalu melekat sehingga kamu akan merasakan bahwa lingkaran tersebut adalah rumah yan...