05. Pengaruh Baik/Buruk

614 149 7
                                    

Hari sudah malam saat Raffa selesai mengeluarkan sebagian barang bawaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari sudah malam saat Raffa selesai mengeluarkan sebagian barang bawaannya. Hanya beberapa lembar pakaian yang dia tata di lemari kecil—yang Juna buru-buru kosongkan dari benda-benda tak bergunanya.

Sebenarnya kosan Juna tidaklah terlalu kecil. Hanya saja dua hal telah memenuhi spasi yang seharusnya masih dapat lapang. Yang pertama karena set drumnya, dan yang kedua, meja arsitektur milik Juna.

Juna tengah sibuk mendesain sesuatu dan bergumul dengan penggaris skala khususnya di meja besar itu. Serius sekali hingga dia hanya asal menyeka keringatnya, sekilas melirik Raffael yang diam-diam menghampiri.

"Oh, udah selesai beres-beresnya?"

"Udah." Raffa langsung berlalu ke area dapur minimalis kakaknya. Bermaksud tak mau mengganggu Juna yang masih tampak sibuk.

Anak itu membuka kulkas, memeriksa apa ada yang bisa dia olah untuk makan malam

Klek.

"Raffa, ngapain!" Juna auto panik sewaktu dengar kulkas legendnya terbuka.

Nampaklah sosok Raffa yang berdiri di depan kulkas sampai tercenung memandang ke deretan kaleng bir di sisi pintu kulkas. Sementara di bagian rak utama bagian dalam, kosong melompong bagai tak pernah dijamah.

"Abang ... nggak pernah belanja bahan makanan buat isi kulkas?" tanya Raffa ragu, agak takut menyinggung sang kakak.

"Nggak. Kadang gue gak sempet." Juna berusaha tenang meski dia sedang mengumpati diri kelupaan menyingkirkan benda haram dari sana.

"Terus biasanya, makan apa?"

"Di lemari atas," tunjuk Juna ke belakang Raffa dengan dagunya. "Itu tempat penyimpanan stok mi instan cup. Kalo mau makan dari situ aja."

"Oh, oke."

Juna lanjut lagi mengerjakan tugasnya, Raffa pun beraksi mengambil dua cup dan hendak memasaknya.

"Aku bikin sekalian buat abang, ya."

Juna pun merespon tanpa menoleh. "Boleh. Thank you~"

***

Lagu patah hati bertajuk "Good boy jadi bad boy" melantun penuh enerjik di sebuah kafe yang ramai pengunjung muda.

Juna menyeka keringatnya dengan lap yang selalu stand by di dekatnya. Rekannya bernama Jeman, sang keyboardist, lantas menyodorkan botol air mineral untuknya.

Hari sudah petang ketika band yang dikenal dengan nama The Spring itu menuntaskan jadwal tampil mereka.

"Mahen," panggil Juna, lekas tegak dan menyimpan stik drumnya.

"Ha?"

"Ikut gue bentar."

Keduanya pun memisahkan diri lebih dulu dari sana, dan mengambil waktu bicara di sisi kafe.

"Nih." Juna menyodorkan sekantong plastik penuh kaleng bir.

"Apa maksudnya nih?"

"Gue nggak mau kulkas gue jadi tempat penyelundupan stok minuman kita lagi."

"Lho? Kok tiba-tiba?"

"Lo lupa? Adik gue sementara ini tinggal sama gue." Juna mengacak rambutnya, agak stres. "Nggak aman benda ini tetap di situ. Nanti kalau dia kepo, terus iseng coba, gimana?"

"Ya nggak papa. Namanya juga bertumbuh dewasa."

"Tumbuh dewasa pala lo!"

Mahen menghindar kala Juna nyaris menoyor kepalanya. "Lagian apa masalahnya, sih!"

"Intinya jangan jadi pengaruh buruk, ah. Udah. Bawa pulang ke rumah lo."

"Yaelaa, di rumah gue sama aja. Gue lebih parah. Masih tinggal sama nyokap."

"Urusan lo. Bye." Juna melengos begitu saja, sementara Mahen memegangi plastik besar itu dengan pasrah.

Juna pun menghampiri salah satu meja, dengan salah seorang gadis yang dikenalnya. Dialah Momo Ayana, atau yang kerap disapa Momo oleh semua temannya. Kadang kala, Juna punya panggilan andalan yakni "Moa" untuk gadis itu, sebab keduanya memang telah berteman akrab sejak jaman SMA.

Melody Cafe yang menjadi lokasi perform tetap The Spring adalah kepemilikan ayah dari sobat Juna tersebut.

"Hadeu..." Juna menggeleng seraya menyeruput minuman milik Momo.

"Ish, kan bisa pesan sendiri kalau mau."

"Lama."

Momo memandangnya sebentar. "Nggak pulang? Tumben."

Juna mengacak atas rambutnya. Berdecak.

"Ada masalah apa sih? Kelihatannya beban lo melebihi gunung fuji," sindir Momo saat menyadari wajah kusut sang kawan.

"Adik gue. Sekarang tinggal sama gue."

Momo langsung menahan tawa. "Pfftt, mampus, banyak ketangkap basah lo, kan?"

"Tau aja."

"Lihat sisi baiknya, Jun. Seenggaknya lo akan banyak belajar untuk menjadi lebih bijaksana."

"Gue dah pernah cerita, kan? Adik gue itu sangat penurut dan jadi harapan bokap nyokap. Gue heran kenapa bisa sampai mereka biarin anak baik-baik kayak dia jatuh ke tangan gue."

"Pasti ada maksud dan tujuannya. Lo jangan cepat ngeluh kayak gini, dong." Momo memberi semangat, sekilas menghabiskan tegukan terakhir minumannya. "Btw kenapa dia bisa sama lo? Bukannya di asrama?"

"Asramanya ada kasus gitu. Terus siswanya dipulangkan."

"Jam segini udah jam pulang anak SMA, kan? Dia pulang pergi sekolah naik apa?"

"Tadi pagi sih, gue anter make Debby. Terus karena tadi siang ada kelas, gue suruh dia pulang sendiri naik taksi atau bus aja." Debby adalah nama yang Juna berikan untuk motor besar kesayangannya.

"Terus ngapain lo masih di sini?"

"Lo ngusir?"

"Ya enggak. Lo kan lagi punya bocah buat diasuh di rumah. Pulang gih, buru!"

INDOORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang