08. Barter

532 145 4
                                    

"Jadi, lo beneran tinggal sama abang lo sekarang?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, lo beneran tinggal sama abang lo sekarang?"

Raffa mengangguk, melahap roti blueberry favoritnya dengan gigitan besar. Ini sudah jam pulang sekolah ketika mereka mampir ke kantin untuk mengobrol.

Kaivan tertawa renyah, teringat akan nasib rekan seprofesinya. "Gokil banget. Senior gue di agensi yang juga sekolah di sini, juga ngungsi ke tempat abangnya. Abangnya mood banget, maniak bersih sampai senior gue dikarantina dulu."

"Yang bener?" Raffa tertarik, ikut terkekeh. "Sekolah di sini juga? Berarti kakak kelas kita?"

"Hu'um. Namanya Giovanka, gue biasa panggil Bang Gio."

Raffael mengangguk-angguk paham. "Oke, sabi nih buat dijadiin rekan berbagi kisah selama ngungsi sama abang."

"Siap. Kapan-kapan deh gue kenalin sama orangnya. Jam segini sih dia biasa udah ngajak cewek jalan dengan sporty merah kesayangannya," jelasnya, mendadak jadi kangen sama Gio. "Oh iya, tinggal sama abang, gimana? Sekocak Gio apa engga?"

Raffa menggeleng. "Biasa aja, sih. Bang Juna baik, cuma dia sibuk aja, jadi kosannya agak kurang terurus. Untung aja gue anak rajin sejak lahir. Masalah itu adalah hal sepele untuk gue mah."

"Ya iyalah, lo aja jadwal piket wc-nya tiap hari pas di asrama."

"Bersih-bersih tuh seru tau."

"Idih. Gak dulu deh, Raf. Menurut gue, itu bukan kelas yang setara untuk model pro, sih."

"Idih, sombong."

Sebenarnya, Raffael itu hanyalah anak dosen yang kehidupannya tidak semewah dan se-glamour Kaivan yang anak sultan. Namun, alasan mengapa Kaivan bisa sampai berteman dengannya itu simple. Raffa anak kalem yang pendiam, suka mendengarkan dan cerdas. Keduanya juga sefrekuensi di beberapa hal, mungkin itu jugalah yang membuat mereka cukup betah untuk menghabiskan waktu-waktu yang tak panjang itu untuk berdua.

Raffa sebentar termenung saat melihat pesan masuk di ponsel, dengan proses mengunyah yang terhenti.

Kai menotisnya, penasaran. "Ada apa, Raf?"

"Bang Juna. Katanya mau jemput gue ke sini."

***

"Selingkuh, alhokoholan, main ke kelab, bawa cewek ke rumah, dan gue rasa mungkin smoking juga, deh."

"What!?" Momo memelotot, syok mendengar penuturan teman sekelasnya itu. "Lah, Bin, terus lo diam aja?"

"Lebih ke terlambat, sih. Dia udah kelas akhir SMA, dan udah terjerumus ke hal-hal kayak gini sejak dia terjun dunia model pas kelas satu."

Momo menggeleng. "Waaa, gila, luar biasa. Kenapa anaknya bisa berbanding terbalik gitu sama lo ya, Bin?"

"Mana gue tau! Gue juga heran! Apa jangan-jangan, pas masih bayi, adik asli gue ketuker lagi sama anak setan."

Momo tergelak begitu geli. "Woi, hati-hati sama omongan!"

"Serius, Mo! Andai aja gue bisa resign jadi abang tuh makhluk."

"Ih, jangan gitu. Siapa tahu, dia nakal begitu karna butuh diperhatiin, butuh kasih sayang, butuh dikasih pengawasan. Gue yakin, pasti selama ini dia memang terlanjur dibiarin hidup bebas, ya kan?"

"Yaa, emang iya, sih. Terus harus gimana, dong?"

Momo terkekeh lagi. "Nggak tau, deh, gue jadi ikut pening. Baru aja kemarin temen SMA gue juga curhat kalau adiknya barusan mulai tinggal bareng dia. Adik kalian satu sekolah nih pasti."

Bintang adalah teman sekelas sekaligus rekan seperambisan Momo dalam lika-liku kisah berproses sebagai mahasiswa bisnis dan manajemen. Khusus hari ini, Momo mengundang Bintang untuk berdiskusi santai sambil nugas di kafe ayahnya—Melody Cafe.

"Wah, temen lo ada yang tinggal bareng adik juga? Boleh dikenalin nggak? Manatau dia mau diajakin barter adek."

"Haha, apaan? Barter adek? Gila lo?" ledek Momo sesaat, lalu melirik arlojinya. "Gue bisa dengan senang hati kenalin, kok. Tunggu aja, hari ini bandnya dia ada jadwal manggung di sini. Bentar lagi pasti sampai."

INDOORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang