CHAPTER 1

37 5 6
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Sorot bintang dan lampu kendaraan saling beradu. Semakin malam, semakin padat. Berbagai jenis kendaraan memenuhi jalanan ibukota di jam pulang kantor yang tak kunjung usai ini. Saling berbaris terjebak di pemberhentian lampu lalulintas.

Begitupun dengan mobil keluarga gue yang cukup lama tersendat macet. Meski sedikit suntuk, kita tetap bisa menikmatinya dengan obrolan-obrolan kecil.
"Alhamdulillah ya kak, banyak kemajuan" ucap mama sambil memegang sejumlah berkas di tangannya.
"Iya ma. Alhamdulillah." Jawab gue singkat.
"emm..yah, boleh minggir sebentar nggak di JPO depan. Kia mau pipis hehee."
"Kebiasaan kamu kak. Yaudah sebentar ya." jawab ayah seraya melirik gue dari spion atas.

Tak lama kemudian ayah memberhentikan mobilnya di dekat tangga JPO. Dan gue pun bergegas turun dari mobil dengan hanya membawa ponsel yang tersimpan di saku jaket.
"Jangan lama-lama ya kak, kasian adek." pinta mama sembari mengelus kening adek yang tertidur di pangkuannya.
"Iya maa."

Gue mempercepat langkah menaiki anak tangga. Lumayan jauh untuk bisa sampai ke toilet umum di sebrang jalan. JPO jadi jalur alternatif untuk sampai disana.

Lima belas menit kemudian, seusainya gue dari toilet umum itu, gue segera kembali kearah mobil ayah. Mereka sudah cukup lama menunggu. Gue menyebrangi jembatan yang sama. Sudah cukup sepi, hanya satu dua orang yang berlalu lalang disini. Gue menundukkan pandangan ke layar ponsel. Sangat fokus.

"aarghh..kenapaa susah bangett..gue capek..."

Sontak teriakan sayup-sayup itu membuyarkan pandangan gue dari layar ponsel. Meski tersapu kencangnya suara angin malam dan deru mesin-mesin kendaraan, gue dapat cukup jelas mendengarnya. Pandanganpun langsung menjelajah kesetiap sudut jembatan.

"Dimana ya? Suaranya deket." gumam gue lirih.

Sampai akhirnya gue terkejut, melihat hal berbahaya pada seorang pria di ujung jembatan. Ia sudah duduk di atas pagar pembatas dengan kaki menghadap kearah luar.

"Woyy..stop, jangann.."

Sedetik kemudian gue berteriak, berlari ke tempat pria itu berada. Dan sesampainya disana, tanpa pikir panjang lagi gue refleks memeluk, mengunci tubuhnya dengan kedua lengan dari arah belakang. Semakin pria itu berontak, semakin erat juga kuncian lengan gue di badannya.

"Lepasin gue..!!" pria itu memberontak lagi.
"Ngga bakal..turun ya, oke" bujuk gue.
"Biarin gue mati."
"Gue capek..hhh" lanjut pria itu dengan napas yang memburu.
"Woy, lo gila ya..ayo turun!!" kesal gue sambil terus berusaha menggeret tubuh pria itu.
"Lagipula emangnya lo yakin, kalo loncat dari sini lo bakal langsung mati, hah? Ini tuh kurang tinggi bego." lanjut gue. Segala bujukan terlontarkan, dengan sedikit berteriak agar pria itu mendengarnya.

Kali ini tidak ada orang satupun yang dapat membantu. Jembatan sudah benar-benar sepi. Dan gue mulai kelelahan menahan tubuh manusia itu.
"Sumpah batu banget ya lo. Gue capek ini." umpat gue.
"Yaudah lepasin. Kita nggak kenal, lo ga usah sok perduli." balas pria itu
"Yaudah abis ini kita kenalan yaa, makanya lo turun dulu." bujuk gue kesekian kali.
"STOP PAKSA GUE !! Biarin gue, biar masalah gue selesai." bentak pria itu.
"oke." spontan gue melepaskan pelukan itu.
"Terserah. Lo mau loncat? Silahkan!!" Gue membentak balik, pria itu memaku. Hening.
"Kenapa diem? Hah?"
"Lo pikir, cuma lo yang punya masalah paling berat? Cuma lo yang mau mati?"
Gue sedikit mengatur napas, menahan air mata yang sudah menggenang. Pria itu masih pada tempatnya, belum ada pergerakan. Ia hanya mencerna setiap perkataan yang gue ucapkan, tanpa mengalihkan pandangannya dari bawah jembatan.
"Gue juga mau, mau banget matii.." lanjut gue. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya lolos mengalir di pipi.
"Liat gue, turun." perintah gue dengan suara pelan yang tanpa diduga pria itu menurutinya. Ia langsung terduduk, menunduk lemas.

Gue mendekatinya. Memeluknya kembali. Isakan pelan hampir tak bersuara. Terdengar sangat sakit. Pecah. Ia menangis, meluapkan semuanya.

Sekitar dua menit berlalu. Setelah lebih merasa tenang pria itu baru berani melepaskan pelukan gue. Menunjukkan wajah pilunya. Terlihat banyak kepedihan di dalam matanya. Ia menghapus air mata dengan kasar.

"Sorry." ucap pria itu pelan.
Gue hanya mengangguk, menatap iba.
"Boleh kenalan?" tanya gue sedikit berhati-hati. Dia balas mengangguk.
"Gue kiana. Panggil Kia aja. Semoga kita bisa berteman ya." lanjut gue sembari mengulurkan tangan kearahnya.
"Bian." jawabnya sangat pelan. Ia membalas jabatan tangan gue, tanda kita saling berkenalan.
"Karena kita udah kenal, gue udah boleh dong perduli sama lo? hehee.." tanya gue, mencairkan suasana.
Bian tersenyum.
"Kenapa tadi lo nolongin gue?"
"Apa untungnya buat lo?"
Bian sudah mulai mau berbicara lebih banyak.
"Ya lo pikir aja, disini nggak ada orang sama sekali. Cuma ada gue."
"Dan kalo sampe tadi lo mati, gue yang harus jadi saksi dong..ogah ya, ngga usah nambah-nambain ribet." jelas gue yang hanya dibalas senyum tipis oleh Bian.
"Senyum lo gila..eh, tapi gapapa sih. Itu artinya setan di badan lo udah ilang hahaa." terus gue.
"Sembarangan lo." balas Bian.

Gue melirik ponsel di saku jaket.Gue terkejut, ternyata sudah pukul sebelas kurang lima belas menit. Terlihat sekitar sebelas kali panggilan tak terjawab serta beberapa chat masuk dari mama dan ayah di layar ponsel gue. Bodohnya gue menggunakan mode hening saat itu.

"Bian, sorry banget gue harus balik."
"Kalo lo belom mati, besok kita harus ketemu lagi disini. Lo harus cerita. Jam tujuh yaa.."cerocos gue yang langsung berdiri dan berlari tanpa menunggu jawaban dari Bian.

.
.
.
.
.

Haii..
salam kenal semuanya🤗
selamat membaca ya..
semoga berkenan sama cerita pertama gue
maaf kalo masih banyak kesalahan ya gais..
masih belajar hehee

tungguin chapter selanjutnya yaa
jangan lupa vote and comment
thanks ♡

Dan, SELESAI.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang