CHAPTER 4

12 2 0
                                    

  Jam istirahat hampir selesai. Terlihat Arra, gadis berkulit hitam manis itu berjalan menuju kelasnya. Dari kejauhan ia mengamati seorang cewek yang tak lain adalah sahabatnya, ia tengah duduk di kursi panjang depan kelas. Kemudian sifat jahil pun mendadak muncul.

"Kia tuh, gue kagetin ah " Ia pun mengendap-endap, berjalan ke arah Kia yang kebetulan sedang membelakanginya.

Tak lama kemudian ia sudah berdiri tepat di belakang Kia. Tatapi Kia sama sekali tidak menyadari. Ia sangat fokus pada ponsel di tangannya. Arra pun iseng melirik. Kaget. Spontan ia merebut ponsel dari Kia.

"Hah. Lowongan pekerjaan? Uang jajan lo kurang Ki?" Arra berteriak. Ia cukup terkejut dengan apa yang di lihat dari ponsel sahabatnya itu. Secara ia sangat tahu bahwa Kia merupakan anak dari keluarga yang cukup berada.

"Ssstt.. Arra balikin ngga hp gue, iseng banget lo" Kia berdiri kemudian merebut paksa ponselnya. Ia pun kembali duduk di kursi tadi. Arra mengikutinya.

"Lo serius pengen cari kerja?" Tanya Arra penasaran.
"Bukan buat gue"
"Terus? Buat ayah lo? Ayah lo dipecat ya Ki?" Cerocos Arra yang kemudian dibalas lirikan sinis dari Kia.
"Ngaco lo..amit-amit Ra" jawab Kia sedikit kesal.
"Kapan-kapan gue ceritain. Bu Dewi dateng  tuh" lanjutnya. Lalu mereka segera beranjak masuk setelah melihat guru mapelnya saat itu tengah berjalan menuju ke arah kelas.

****

Pukul satu siang, jam belajarpun berakhir. Seperti sebelumnya, gue selalu menunggu pesanan ojek di halte depan sekolah. Kali ini tak bersama Arra, jemputannya sudah lebih dulu datang.

Tak lama ojek pun tiba. Gue segera menumpanginya, dan motor itu melaju meninggalkan lingkungan sekolah. Sama seperti kemarin, hari ini gue akan bertemu Bian. Tanpa sepengetahuannya. Gue langsung menghampiri Bian ke rumahnya.

Setibanya di tujuan, gue dibingungkan oleh suara keributan yang sumbernya jelas dari rumah Bian. Perlahan-lahan gue mendekat, sampai berada tepat di ambang pintu yang terbuka lebar.

"Mana duitnya!! "
"Masih untung gue cuma minta gantiin biaya sekolah lo. Bukan semua biaya hidup lo! "
"Sialan, anak nggak tau diri !! Nyesel gue mungut lo!! "

Bentakan dari seorang wanita itu terdengar sangat lantang hingga keluar rumah. Disusul suara gebrakan meja, atau benda-benda yang dibanting. Mencaci tanpa henti. Tidak ada jawaban perlawanan sama sekali.

Sedetik kemudian, gue menerobos masuk ke dalam rumah itu. Menuju ke arah suara. Benar saja, tampak Bian yang duduk termangu di kursi ruang makan. Ia menunduk menamati secarik kertas di tangannya. Di hadapannya ada seorang wanita usia tiga puluh tahunan, belum terlampau tua. Fisiknya pun masih amat kuat.

Sekejap wanita itu bungkam, wajahnya yang meredam marah berubah datar bersamaan dengan munculnya gue di depan mereka secara tiba-tiba.

"Maaf kalo ngga sopan. Kalo boleh tau berapa jumlahnya?"

"Lo siapa? Emang punya duit belagak nanya, heh?" Wanita itu balik bertanya.
Melirik sinis, lalu memutarkan bola matanya acuh.

"Saya Kia. Temannya Bian, tante."

Benar, wanita itu adalah tante dari Bian. Gue sudah yakin sejak mendengar perdebatan mereka tadi.

"Nih. Lo baca" Ia menarik kasar kertas di tangan Bian, dan memberinya ke gue.

Gue membaca sekilas. Kertas itu berisi rincian seluruh biaya sekolah Bian mulai dari TK sampai sekarang. Wanita itu benar-benar mencatatnya sedetail mungkin. Tertera angka tiga puluh lima juta rupiah yang tertulis lebih besar di akhir penotalan. Gue yakin itu hanya total perkiraan dia saja. Untuk biaya sekolah sampai SMA mungkin bisa saja lebih dari itu.

"Saya boleh minta nomor rekening tante?"
"Saya bisa bantu cicil. Tapi saya minta, tante nggak perlu lagi bentak-bentak kayak tadi."

Meski sedikit heran dengan perlakuannya, gue tetap berusaha menanggapinya dengan tenang. Kemudian, wanita itu menuliskannya di kertas yang sama.

"Nih. Gue tunggu" Ia menyerahkan kertas tadi dengan sangat angkuh dan melenggang pergi meninggalkan rumah.

Hening. Gue menatap Bian yang memaku tak berubah dari posisi duduknya. Ia diam, tidak ada bantahan atau pembelaan apapun yang terlontarkan sedari tadi.

" Gue pulang dulu ya, kalo udah mau ngomong kabarin aja."
Tak lama gue pamit, menuju keluar rumah. Tetap tidak ada jawaban. Bahkan tatapan Bian tidak sedikitpun beralih.

" Tunggu Ki."
" Lu nggak perlu ngelakuin ini. Gue masih bisa usaha sendiri. Ini cukup jadi urusan gue. " Bian menyusul ketika gue sampai di teras rumahnya. Ia menolak bantuan gue. Lalu mengambil kertas yang masih gue pegang.

"Gue tau, lo emang bisa. Tapi apa salahnya gue bantuin lo Bi?"
" Ini juga ngga seberapa kok. Tapi seenggaknya, untuk beberapa hari ke depan  tante lo bisa diem." Berusaha meyakinkan Bian tidak semudah itu.

"Tapi Ki, gue nggak mau punya hutang sama siapa-siapa lagi." Bian masih saja menolak.

" Gue nggak akan anggap ini hutang, Bian. Terima ya. Percaya sama gue, tante lo kayak gitu karena dia emang dia lagi butuh uang aja kok. Capek kan kalo harus denger dia ngomel tiap hari?" Gue terus membujuk, memohon agar Bian menerimanya. Ia tidak menjawab lagi. Berpikir, sedetik kemudian ia mengangguk. Gue tersenyum lega. Setelah satu dua kalimat lagi kita berbincang, gue kembali berpamitan. Sebelumnya gue membuat janji akan menemani Bian untuk mencari lowongan pekerjaan besok seperti niat awal hari ini.

.
.
.
.

sorry lama ngga up gais..
jangan lupa follow juga yaa
thanks 🖤

Dan, SELESAI.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang