CHAPTER 3

26 4 0
                                    

"Lo tinggal dimana?" tanya gue sebagai pembuka obrolan kembali.
"Deket sini" Bian selalu menjawab singkat. Tanpa timbal balik bertanya.

"Lo ngga ada inisiatif buat nanya balik gitu?" kesal gue sembari mengaduk minuman yang baru saja datang.

Kita berpindah. Sengaja mengajak Bian ke salah satu cafe favorit gue. Dan seperti biasa, gue memilih tempat duduk paling pojok di bagian rooftop cafe itu.

"Gue kira lo udah mati" celetuk gue, yang sebenarnya berusaha mencairkan suasana. Bian melirik sinis.

"Gue masih ada janji, abis ini gue mati" "Tunggu aja kabarnya" jawab Bian santai, sedikit membuat gue tercengang.

"Kalo gitu kita buat janji terus yaa" sahut gue,  dia kembali diam.

Gue pun diam. Merangkai pertanyaan selanjutnya dengan hati-hati.

"Jadi.. kemaren kenapa Bi?" tanya gue perlahan.

"Ngga perlu tau. Ngga ada urusannya sama lo"

"Yaa..iya sih, tapi seenggaknya lo bisa bagi masalah lo ke gue. Siapa tau gue bisa bantu" terang gue. Bian menggeleng.

"Hidup lo sendiri udah ribet kan?" tanyanya.

"Bian..semua manusia itu pasti punya masalah kok. Bahkan sebahagia apapun yang lo liat dari mereka.   Entah itu masalah yang paling kecil atau mungkin yang paling besar" gue menjeda, sedikit menarik napas.

"Its oke. Emm..anggap aja masalah tuh kaya warna gitu. Semakin banyak masalah yang lo dapet, semakin berwarna hidup lo. Dan akhirnya hidup lo yang paling indah Bi. Hidup lo yang paling menarik" jelas gue pelan. Bian mendengarnya dengan baik.

"Tapi lo ngga ada di posisi gue Ki. Gue ngga bisa cerita" ia masih menolak.

"Menurut gue ya, berbagi cerita ke orang lain tuh perlu loh. Kalo lo ngga ngerasa terbantu,tapi seenggaknya tanpa disadarin satu beban lo tuh berkurang" gue mencoba meyakinkan.

"Tapi apa lo bakal percaya?"
"Gue cuma takut orang-orang mikirnya gue itu ngarang Ki" timpalnya.

"Bi, gue percaya sama orang yang percaya juga ke gue. Kalo lo udah bisa cerita, itu artinya lo udah yakin kan?"
"Gue ngga maksa, ngga harus sekarang" ujar gue.

"Oke, iya gue cerita" ucap Bian setelah beberapa detik diam berpikir. Gue membalasnya dengan senyuman.

  Bian menghela napas. Menata ceritanya.
"Gue anak tunggal, orang tua pisah dari gue umur dua tahun. Setelah itu gue ikut ayah" ia menjeda, mengatur suasana hatinya.
"Dan setahun kemudian, ayah gue meninggal. Habis itu gue diasuh sama tante sampe sekarang" lanjutnya.

Gue menyimak, menatap lekat kedua matanya. Mendengarkan betul-betul setiap ucapannya.

"Terus?" tanya gue.
"Setelah itu, gue pikir hidup gue bakal baik-baik aja. Walaupun tante hidup sederhana, tapi dia tulus ngerawat gue" jawab Bian. Matanya mulai berkaca.

"Tapi ternyata gue salah besar Ki. Tante  ngga sebaik yang gue kira"

"Maksudnya?" Gue mencari kejelasan.
"Selama ini semua yang tante kasih ke gue itu diperhitungkan. Dan sekarang dia minta ganti rugi. Gila kan? Ada ya manusia kayak gitu" nadanya sedikit naik. Bian mulai terpancing emosi. Ia mengusap air matanya yang sudah penuh terbendung.

Gue pun menggeleng heran.
"Kok bisa ya..apa sebelumnya tante lo lagi ada masalah?" terka gue. Bian mengangguk.
"Iya. Tiga bulan lalu dia emang baru pisah dari mantan suaminya. Mereka ribut besar " jelasnya.
"Oh.. Sorry kalo gue boleh tau, berapa jumlah yang harus lo ganti?" tanya gue hati-hati.

"Besar Ki. Anak sekolahan kayak kita ngga bakal mampu nutupin utang sebesar itu. Mau dapet uang dari mana?" Bian menggeleng pasrah.

"Insyaa Allah ada jalannya Bi..gue pasti bantuin"

"Makasih Ki "

"Apa lagi yang bisa gue bantu?" tanya gue.

"Untuk sekarang gue mau cari kerja dulu, supaya gue bisa cepet-cepet ngekost dan nyicil hutang-hutang gue"
"Dan rencana selanjutnya, gue pengen cari ibu. Dia satu-satunya yang gue harapin sekarang" jelas Bian. Gue menganggukan kepala tanda mengerti.

"Kita usahain sama-sama ya. Gue janji bakal bantuin lo sebisa gue".

Bian mengiyakan. Kemudian tersenyum ke arah gue. Senyuman terindah pertama yang gue lihat. Gue semakin yakin, Bian bisa sembuh. Luka-luka batinnya masih bisa pulih.

"Hmm..ini nomor gue. Simpen ya" pinta gue seraya menyodorkan secarik kertas yang bertuliskan sebuah nomor.
"Kalo ada perlu, atau sekedar pengen cerita kayak gini kabarin ya. Ngga usah ragu okee.." sambung gue.

Bian menerima kertas itu,lalu menyimpannya di saku celana.
"Makasih udah mau dengerin cerita gue" ujarnya kemudian.
"Dengan senang hati" gue tersenyum kembali.
"Mulai sekarang kita sahabat"
"Tidak ada penolakan" ucap gue memaksa dan langsung menjabat tangan Bian.

"Iya deh iya" Bian menyetujui.

****

Tak terasa malam semakin larut. Bian dan Kia masih asyik berbincang. Sudah saling tukar cerita tampaknya. Mereka sudah seakrab itu sekarang.
Cafe mulai sepi,dan sepertinya sebentar lagi akan tutup. Merekapun memilih untuk meninggalkan tempat itu.

"Eh cabut yuk.." ajak Kia.
"Ayo"

Akhirnya mereka pulang. Hampir tiga jam sudah mereka habiskan di cafe ini. Kia memesan taksi online. Dia berniat mengantarkan Bian terlebih dahulu.

"Gue anterin lo ya" ujar Kia.
"Ngga perlu, gue bisa pulang sendiri" Bian menolak tawaran Kia.
"Gapapa. Gue udah pesenin taksi juga"
"Gue harus mastiin kalo lo beneran sampe rumah Bi, biar gue bisa tidur nyenyak" tambahnya. Bian sudah tidak mengelak lagi.

  Mereka menunggu di halte depan cafe. Tidak lama menunggu taksi pun datang, mereka beranjak dari tempat itu. Jalanan tak seramai biasanya. Mobil taksi itu melaju lancar. Bian mengarahkan rute rumahnya pada sang supir.

"Nanti pertigaan depan belok kanan ya pak" arah Bian.

Mobil itu sudah memasuki daerah perkampungan di tepi kota. Tampak rumah-rumah lawas,dan sepetak lahan perkebunan kosong yang saling berdampingan. Disini sudah benar-benar sunyi. Sepanjang jalan ini hanya diterangi oleh beberapa lampu remang.

"Samping warung stop ya pak" perintah Bian. Bapak supir itupun mengerti. Ia menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana yang terletak di samping warung kopi.

Bian turun dari mobil. Ia mendekati Kia yang menengok dari jendela.
" Thanks ya Ki. Seneng ketemu lo" ujar Bian. Matanya berbinar.
"Seneng juga denger cerita lo. Lo hebat" balas Kia memujinya. Bian semakin berbinar.
" Bye. Hati-hati" Bian melambaikan tangannya, kemudian masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum saat membalikkan badan. Kia tak mengetahuinya.

Kia menatap lekat sampai sosok Bian benar-benar hilang. Ia sebegitu memastikannya bahwa Bian pulang dengan aman.

"Kok terbalik neng? Jadi neng yang nganterin pacarnya" tanya pak supir kepada Kia.

"Hah? Temen saya pak" Kia mengoreksi perkataan pak supir.

"Bentar lagi juga jadi pacar neng" pak supir itu menggodanya. Melirik Kia dari spion atas mobil.

"Temen" Kia menegasi sekali lagi. Bibirnya tersungging malu. Ia menunduk, menyembunyikannya.

Supir itupun menggeleng lucu,dan memutar balikkan mobilnya. Kini waktunya untuk mengantarkan Kia. Malam juga makin larut. Kia mengantuk dan sempat tertidur. Pak supir tidak mengganggunya. Kia sengaja memberikan share lock rumahnya terlebih dahulu pada pak supir agar ia tidak perlu kesulitan mengarahkan.

.
.
.
.

tungguin chapter selanjutnya ya gais..
terimakasih 🖤

Dan, SELESAI.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang