Hari ini Julia tengah memandangi Aidan yang menghampirinya dengan senyum sumringah, rambut hitam lelaki itu bergoyang mengikuti arah angin. Sudah lama ia tidak melihat Aidan yang seperti itu.
"Hai, Lia. Udah lama nunggu ya?" tanya Aidan lalu duduk di sampingnya. Mereka kini duduk berdua di bawah pohon rindang di taman kampus mereka. Tempat mereka pertama kali berinteraksi.
Julia menggeleng. "Enggak kok, aku juga baru duduk si sini." Matanya beralih ke pergelangan tangan Aidan. "Itu beli sendiri?" tanyanya sambil menunjuk gelang dengan berlian imitasi berwarna merah marun.
Aidan tertawa kecil. "Ini dari Kizi, dia kasih tadi. Gak tau ada angin apa tiba-tiba ngasih," jawabnya sambil memandangi gelang barunya yang akan menjadi perhiasan barunya.
"Ooh gitu, lucu banget sih." Rasa haru tumbuh di benaknya, ternyata akan datang masa di mana Aidan hanya akan merasakan kebahagiaan dalam satu hari, bahkan satu minggu.
Harusnya selain merasa terharu, Julia juga merasa senang. Tapi entah kenapa ada sedikit rasa cemas. Setiap hari ia berusaha membuang rasa cemas itu, sayangnya tidak pernah berhasil.
"Kak, aku boleh ngomong sesuatu?" tanya Julia hati-hati.
Aidan mengangguk. "Boleh, ngomong apa?"
"Aku selalu takut sama yang namanya perubahan." Julia berusaha memandangi wajah Aidan yang disinari matahari, matanya jadi menyipit. "Perubahan hubungan kita yang sebenernya positif juga bikin aku takut."
Aidan tidak begitu mengerti dengan ucapan Julia. "Kok gitu? Apa yang kamu takutin?" tanyanya bingung. Ia tidak pernah sekalipun merasa takut dengan semua perubahan yang ada.
"Aku takut perubahan ini salah satu kode dari dunia kalau aku gak bisa ngerasain perubahan ini lama-lama. Aku takut kalau semisalnya sebentar lagi bakal ada perubahan baru yang negatif. Aku gak bisa nikmatin masa bahagia ini karena aku selalu kepikiran masa terpuruk yang bisa aja dateng sebentar lagi."
Mungkin ini akan terdengar aneh dan tidak masuk akal di telinga Aidan, tapi inilah yang Julia rasakan selama ini. Bukan hanya saat menjalin hubungan dengan Aidan, tapi saat ia menjalani hidupnya dari dulu hingga detik ini.
Kekhawatiran yang tidak pasti membuatnya lelah. Ia ingin bebas dari kecemasan itu. Julia selalu mencari akun-akun motivator berusaha mendapatkan jawaban dari semua kecemasannya, tapi nihil, tidak ada jawaban yang bisa mengubah pikirannya.
"Maaf, aku malah jadi bikin kamu kepikiran juga. Maaf banget ya, Kak." Julia memasang wajah getir setelah menyadari kesalahannya. Bodoh sekali dirinya, lebih baik ia diam saja dan membiarkan kecemasannya berhenti di dirinya.
Aidan menggeleng kencang. "Enggak. Ngapain minta maaf? Aku gak bilang kamu salah. Aku baru mau bilang makasih."
Julia memiringkan kepalanya. "Makasih?"
"Makasih karena kamu mau berbagi kecemasan kamu, makasih karena kamu kasih aku kesempatan untuk tau apa yang kamu khawatirin, dan makasih karena kamu bisa jujur sama diri kamu sendiri kalau kamu cemas dengan sesuatu."
Julia mengerjapkan matanya, kalimat itu tidak langsung mengubah pikirannya, namun ia bisa merasakan ucapan Aidan yang begitu tulus ditujukan padanya. Lelaki itu terlihat sangat bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Manusia itu memang dikasih kemampuan untuk merasa gak aman atau merasa khawatir. Tuhan kasih kemampuan itu supaya kita bisa terus upgrade diri kita sendiri ke tingkat yang lebih baik, Julia."
Aidan meraih tangan Julia dan mengelusnya sepenuh hati. "Kamu pernah gak sih ngerasa insecure sama fisik kamu?" tanya Aidan.
Julia mengangguk. "Pernah. Pernah lah pasti haha," jawabnya sambil tertawa. Ia tidak yakin ada manusia yang tidak pernah merasa kurang dengan fisiknya.
"Bener, walaupun di mata orang kita udah mendekati sempurna pasti ada aja bagian yang menurut kita kurang." Aidan menatap wajah Julia sekilas sebelum kembali menatap rumput hijau di hadapannya. "Setelah sadar kekurangan fisik itu, apa yang kamu lakuin?"
"Aku dulu insecure sama muka aku yang jerawatan sama badan aku yang kecil banget. Jadi aku mulai belajar pake skincare sama nyoba berenang, terus aku juga ngatur pola makan," jelas Julia detail.
"Sekarang kamu udah puas sama hasilnya? Hasil dari skincare sama hasil dari ngatur pola makan kamu?"
Julia mengangguk menjawab dua pertanyaan itu. Ia cukup puas dengan bentuk tubuhnya yang sekarang, setidaknya lebih baik dari yang sebelumnya walaupun tidak sesempurna apa yang ia bayangkan.
"Itu yang Tuhan mau." Aidan menautkan helaian rambut yang menghalangi wajah Julia ke daun telinga perempuan itu. "Tuhan mau kamu mengapresiasi kerja keras kamu sendiri, semua perubahan yang ada itu terjadi karena niat dan usaha kamu sebelum perubahan itu muncul."
Julia masih terdiam, memberikan Aidan kesempatan untuk berbicara lebih lama.
"Kenapa aku bisa jadi kayak gini? Sebagian besar ini terjadi karena kamu yang berusaha untuk bimbing aku ke jalan yang lebih baik, kamu berusaha bawa aku ke tempat yang lebih baik dan kamu berhasil."
Tatapan Aidan terasa semakin lekat, lelaki itu tidak berniat untuk bercanda atau menganggap enteng apa yang Julia khawatirkan karena perempuan itu jarang sekali memiliki masalah atau menceritakan masalahnya.
"Berkat bantuan Tuhan dan niat kamu yang kuat, semua perubahan ini terjadi. Sekarang waktunya kamu apresiasi pemberian Tuhan dan usaha kamu. Aku tau gak mudah buat kamu, tapi aku yakin kamu pasti bisa. Kalau kamu bisa ngerubah aku, kamu juga bisa ubah diri kamu sendiri, Julia."
Aidan menghela napasnya. Menyadari kalau ucapannya terdengar sangat menggurui. "Orang kayak aku gak pantes sebenernya ngasih kalimat kayak gini, tapi bukan berarti aku biarin kamu nyari jalan keluar sendiri dari kecemasan kamu. Aku
mau coba bantu kamu."Julia mengangguk namun wajahnya ia sembunyikan dengan menunduk. Ia bisa merasakan panas di matanya karena berusaha untuk menahan air mata. Kenapa Aidan bisa berbicara seperti itu? Sejak kapan Aidan bisa sebijak itu? Semuanya benar-benar sudah berubah.
"Liat ke aku dong, Lia." Aidan menangkup wajah Julia dan mengangkatnya pelan. Ia menyadari matanya yang sudah berkaca-kaca. "Ternyata nangis." Ia tersenyum tipis seraya mengusap pipi perempuan itu dengan ibu jarinya.
Tidak tahan lagi, air mata itu terjatuh membasahi wajah Julia dan tangan Aidan yang masih menangkupnya. "Nangis beneran dong, ya ampun." Dengan cepat Aidan memeluk perempuan itu erat.
Tangisan Julia semakin menjadi-jadi, begitu juga dengan tawa Aidan yang semakin menjadi-jadi. Ia tidak menyangka Julia akan menangis karena ucapannya yang mungkin terdengar aneh. Ia tidak biasa memberikan kata-kata motivasi, ini mungkin termasuk peristiwa langka.
Aidan menepuk pelan pundak Julia beberapa kali guna menenangkan perempuan itu. "Lia itu cengeng dan harus selalu cengeng ya." Ia tertawa di tengah kalimatnya. "Kamu gak boleh sembunyiin air mata kamu apalagi di depan aku ya, junior cengeng."
• Aujourd'hui •
KAMU SEDANG MEMBACA
aujourd'hui
RomanceAku tidak bisa berjanji akan berada di sampingmu untuk selamanya. Aku juga tidak bisa berjanji akan menyayangimu selamanya. Tapi selama aku sedang di sampingmu dan sedang menyayangimu, aku akan memanfaatkan waktu itu dengan baik hingga waktu yang se...