Loving You Was Red

32 8 0
                                    

Hari ini Julia tengah menyapu teras rumahnya, pintu sengaja dibuka lebar-lebar agar cahaya matahari yang menyegarkan bisa masuk ke dalam rumahnya.

"Julia, bisa-bisa lantai rumah kamu terkikis kamu sapu terus. Udah bersih kok, Sayang," ujar Aidan sambil bersandar ke pintu memandangi Julia yang kelewat semangat hari ini.

Julia tertawa kecil. "Aku lagi excited banget tau, Kak. Gak bisa aku duduk diem aja," ujarnya.

"Kak Julia pasti kangen banget ya sama mama papa Kak Julia?" tanya perempuan berambut panjang yang baru saja merapikan makanan di meja ruang tamu.

Julia mengangguk. "Banget! Ini aja aku udah bisa bayangin nanti pasti aku nangis pas liat muka mama papa aku. Kalian jangan ketawain ya nanti," ujarnya mengancang-ancang. Ia yakin matanya tidak akan bisa membendung air yang keluar.

Baru saja Julia melarang untuk tertawa, dua kakak beradik itu malah melontarkan gelak tawanya. Bukan hanya di mata Aidan perempuan itu terlihat menggemaskan, namun di mata Kizi pun perempuan itu terlihat menggemaskan.

"Sean gak ikut ke sini juga, Zi?" tanya Julia.

Kizi menggeleng. "Enggak. Sekolah dia lagi ada acara kemah, Kak."

Julia mengangguk paham. Ia duduk di sofa bersama Kizi, menunggu keluarganya datang. Ia tidak bisa menahan degup jantungnya, saking bersemangatnya ia menghentakkan kakinya ke ubin rumah.

Suara ban yang menyeret aspal mencuri perhatian mereka semua. Dengan cepat Julia bangkit dan duduknya, begitu juga dengan Aidan yang cepat-cepat menaruh gelas air mineralnya. Mereka semua menyambut keluarga Julia.

"Ma, Pa!" Begitu dua orang yang sudah lama tidak Julia lihat keluar dari mobil, ia melambungkan tubuhnya, memeluk mereka erat. "Ya ampun, Julia kangen banget!"

"Udah besar ya kamu, Julia. Mama kangen," ujar wanita yang memakai dress putih dan rambut dibiarkan tergerai. Baru saja melihat wajah putrinya beberapa detik sudah membuat matanya berkaca-kaca.

"Ini siapa? Cantik banget," tanya Willa, ibu Julia. Ia berjalan mendekati seorang perempuan berambut coklat pendek sepundak.

"Kizi, Tante. Adiknya kak Aidan," jawab Kizi ramah setelah mencium punggung tangan wanita itu.

Mereka melanjutkan acara temu kangen di dalam rumah Julia sambil menikmati hidangan yang sudah Julia dan Aidan siapkan sejak pagi hari tadi. Walaupun hanya orangtua Julia dan beberapa sepupu, rasanya tetap ramai.

"Aidan keliatannya lebih seger ya sekarang, bahagia ya sama Julia?" tanya Willa sambil tertawa kecil.

"Banget, Tante!" sahut Aidan penuh semangat. Ia bisa saja menjabarkan semua jasa Julia yang sudah membuatnya bangkit dari kegelapan, namun waktunya tidak akan cukup saking banyaknya.

"Kami lega banget begitu tau Julia ada yang jagain di sini. Jadi tiap malem bisa tidur nyenyak," ujar pria tua yang bernama Beni itu. Ia menepuk pelan pundak Aidan. "Makasih banyak ya, Nak Aidan. Saya berhutang banyak sama kamu."

Aidan mengangguk pelan dengan senyum canggungnya. Entah kenapa ia merasa tidak pantas mendapatkan ucapan seperti itu. Apakah orangtua Julia akan menarik kata-katanya jika mengetahui apa yang Julia lalui bersama Aidan selama ini?

"Berarti bisa dong ya nikah tahun ini? Kan Kak Julia bentar lagi lulus," celetuk salah satu saudara orangtua Julia.

Julia tertawa kecil. "Doain aja deh, Tan. Pokoknya Julia ikutin apa takdir Tuhan aja." Ia beranjak dari duduknya, hendak pergi ke kamar kecil.

Tanpa disengaja, ini kesempatan Aidan untuk berbicara dengan kedua orangtua Julia. Ia menyerongkan tubuhnya ke arah mereka. "Om, Tante. Aidan mau ngomong sama Om, Tante."

Lantas Willa dan Beni menaruh semua perhatiannya pada Aidan. Kelihatannya lelaki itu akan membicarakan hal yang sangat penting, terasa dari atmosfer ruangan yang berubah.

"Saya mau minta maaf ke Om sama Tante, selama ini saya banyak salah ke Julia. Saya dulu gak sebaik saya yang sekarang, tapi Julia sabar bantu saya jadi lebih baik. Mungkin dengan saya ngomong gini, Om sama Tante akan ragu sama hubungan saya dan Julia, tapi saya rasa saya harus cerita ini ke kalian."

Willa dan Beni saling melempar tatap, entah apa ketidakbaikan Aidan di masa lampau pada anak semata wayangnya, mereka tidak akan tahu. Namun, melihat kesungguhan Aidan untuk mengakui kesalahannya dan kemauannya untuk berubah membuat mereka yakin kalau Aidan adalah orang yang baik.

"Itu masa lalu, Nak. Gak usah diungkit lagi. Semua orang punya masa lalu yang mungkin kelam, tapi itu semua gak lagi berarti di masa ini. Kamu cuma harus konsisten sama niat kamu untuk jadi pribadi yang lebih baik," tutur Beni dengan suara yang lemah lembut dan tegas khas seorang ayah.

"Tapi saya jahat banget ke Julia, saya bukan laki-laki yang baik. Saya terima kalau kalian mau marah sama saya karena saya pantas," ujar Aidan lirih.

"Julia itu sayang banget sama kamu, Aidan. Kami—orangtua Julia—gak punya hak untuk larang-larang kalian saling mencintai. Kalian juga udah dewasa, pasti tau apa yang terbaik buat diri sendiri. Kami cuma bantu doa supaya kalian bisa menjalani hidup yang bahagia," tambah Willa.

Akan sangat memalukan kalau Aidan ketahuan menitikkan air matanya, sayang Kizi mendapatinya yang sudah menangis. "Kak Aidan jangan nangis!" serunya sambil kalang kabut mencari tissue.

Lantas tawa Willa dan Beni pecah. "Ya ampun, Nak ... sampe nangis gini loh." Beni beranjak dari duduknya dan memeluk Aidan erat. "Saya percaya sama kamu, Aidan. Saya percaya kamu bisa ambil tugas saya untuk jaga Julia."

Merasakan pelukan hangat ini malah membuat tangisan Aidan semakin menjadi-jadi. Bohong kalau ia bilang tidak merindukan kehangatan yang sebenarnya tidak pernah ia rasakan selama hidupnya. Lagi-lagi ia harus berterima kasih pada Julia karena sudah memberikan apa yang tidak ia punya.

Di tempat duduknya, Kizi diam-diam mengipas daerah matanya yang hampir meneteskan air mata. Di hari yang bahagia ini ia tidak ingin terlihat sedih.

Julia keluar dari kamar kecil dengan wajah penuh heran, kenapa tiba-tiba semua orang menangis? Ia menghampiri Aidan, mendapati lelaki itu dikerubungi keluarganya yang berusaha menenangkan lelaki itu.

"Kak Aidan kenapa?" tanya Julia khawatir.

"Calon suamimu ini loh, Julia. Sungkeman ke Mama sama Papa sampe nangis," ujar Willa yang juga sedang menyeka air matanya dengan tissue.

Julia sedikit terperangah dengan kata 'calon suami' yang terdengar seperti sebuah kode. Ia duduk di samping Aidan dan merangkul lelaki itu. "Kak Aidan ngomong apa sama Mama Papa? Kok gak nungguin aku ... aku juga mau denger," ujarnya merajuk.

"Aku malu kalo kamu denger, Lia," lirih Aidan dengan suaranya yang serak.

"Ya ampun, Kak." Ia mengedarkan pandangannya, menyadari kalau kini semua orang memandangi Aidan dengan tatapan yang hangat, yang memberikan rasa aman pada lelaki itu. Apa karena ini benteng pertahanan Aidan runtuh? Semua ini mungkin langka bagi Aidan.

"Mama Papa aku sayang sama kamu, Kak. Apalagi aku. Semua yang ada di masa lalu jadiin pelajaran buat di masa depan. Hidup itu bukan tentang siapa yang lebih dulu jadi baik, tapi tentang siapa yang punya keinginan kuat untuk jadi lebih baik setiap harinya."

Mungkin kebahagiaan ini tidak bertahan lama, mungkin beberapa saat lagi akan datang masalah baru yang menghantam mereka. Tetapi itu semua tidak lagi menghantui pikiran Julia. Dengan Aidan ia bisa merasakan seperti apa bahagia selama-lamanya.

Tidak ada yang selamanya di dunia ini, termasuk Julia. Akan ada masanya perempuan itu pergi meninggalkan Aidan. Ajaibnya, Julia bisa memberi tahu Aidan seperti apa cinta yang lebih besar setiap harinya dan cinta yang lebih lama dari selamanya.

• Aujourd'hui •

aujourd'huiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang