She Is All I Ever Wanted

21 6 0
                                    

Hari ini Aidan tengah kalang kabut di jalanan siang hari dengan ponselnya yang menunjukkan gambar sang adik.

"Pak, liat adik saya gak? Ini fotonya."

Aidan menunjukkan foto sang adik ke semua orang yang ia temui di sepanjang jalan. Semua orang itu memberikan jawaban yang sama, tidak ada yang melihat adiknya.

Niat baiknya terpaksa batal saat adiknya tidak kunjung pulang kemarin malam. Ia menunggu semalaman sampai pukul 3 pagi di ruang tamu tapi tidak ada tanda kalau adiknya akan pulang. Saat ia memeriksa kamarnya pun kosong.

Orangtuanya tidak ada yang mengungkit hilangnya sang adik. Bagaimana bisa Aidan terus berdiam diri dan menganggap semua ini angin lalu? Bagaimana kalau adiknya sedang dalam bahaya? Bagaimana kalau adiknya bertemu dengan orang jahat?

Aidan berjalan lebih jauh lagi, mengabaikan kakinya yang sudah pegal dan kerah kemejanya yang basah karena peluhnya. Beberapa orang di sana merasa iba melihat lelaki itu kelimpungan ke sana ke mari untuk mencari seseorang yang hilang.

Panas matahari seakan melenyapkan akal sehatnya. Ia mulai menyeberang jalan tanpa memastikan tidak ada kendaraan yang melaju kencang. Kecelakaan hampir saja terjadi siang itu.

Aidan pikir mobil yang hampir menabraknya tadi akan pergi begitu saja. Namun mobil itu melipir ke pinggir jalan dan sang pemiliknya menghampiri lelaki itu dengan wajah menahan marah.

"Lo ngapain sih di tengah jalan kek gitu?! Udah dua kali nih gue hampir nabrak orang!" omel Sabrina. Setelah beradu tatap dengan Aidan ia menyadari keadaan lelaki itu yang sangat berantakan. "Lo ... lo gapapa? Ada apa sih?"

"Adek gue ilang, Sab." Aidan menyodorkan ponselnya. "Lo pernah liat dia gak?" tanyanya sambil memberikan Sabrina tatapan penuh harap.

Sabrina memandangi wajah anak perempuan berambut pendek di ponsel Aidan, sedikit tidak asing tapi ia tidak bisa mengingat di mana ia bertemu perempuan itu. Ia menggeleng tanda kalau ia tidak pernah bertemu dengan adik Aidan.

Aidan mengembuskan napasnya kasar. Ia melemaskan lututnya dan berjongkok di pinggir jalanan, tidak peduli dengan Sabrina yang menyebut dirinya seperti gembel.

"Kirim fotonya ke gue. Gue bantu cari," pinta Sabrina mendesak. Ia berniat untuk menyebarkan foto adiknya di sosial media miliknya, mungkin akan sedikit membantu.

Begitu foto terkirim, Aidan kembali bangkit dan berjalan lebih jauh lagi. Menanyakan semua orang yang berpapasan dengan dirinya tentang keberadaan adiknya. Ia tidak akan menyerah sampai adiknya benar-benar ditemukan dan berdiri di hadapannya.

Awalnya Sabrina ingin membiarkan Aidan pergi, namun melihat lelaki itu berdebat orang seorang pria yang sebaya membuatnya berubah pikiran. Ia berlari menghampiri Aidan dan menengahi mereka. Untung saja pria tidak dikenal itu tidak memperpanjang masalah dan memilih untuk segera pergi.

"Dan! Lo apa-apaan sih kok berantem sama orang?" tanya Sabrina heran.

"Dia gak mau bantu gue, Sab! Dia bahkan gak mau liat foto adek gue dulu. Apa susahnya sih bantu orang?" balas Aidan penuh emosi.

"Ya kepentingan orang kan beda-beda, Dan. Bagi lo sekarang yang penting itu adek lo, bagi orang lain ya beda lagi. Jangan mikir cuma lo doang yang lagi kesusahan!" Sabrina tidak berpikir panjang sebelum melontarkan kalimatnya. Ia pikir dengan menyadarkan Aidan bisa membuat lelaki itu lebih bijak dalam mengambil tindakan.

Aidan mengepalkan tangannya sekencang mungkin, menahan dirinya untuk tidak melakukan hal yang membahayakan dirinya atau Sabrina. Ia harus menenangkan dirinya sejenak agar bisa berpikir jernih.

"Lo udah bilang ke Julia belom?" tanya Sabrina lalu dibalas gelengan pelan oleh Aidan. "Kan! Kenapa sih lo selalu gak mau cerita sama Julia tentang masalah lo? Mau keliatan independen gitu? Katanya mau berubah, tapi komunikasi masih jelek banget," cibirnya.

Aidan mengeraskan rahangnya. "Tau apa lo tentang pikiran gue?" Ia berjalan mendekati Sabrina dan memberikan perempuan itu tatapan tajam. "Enak banget lo nuduh gue sok independen. Orang kayak lo gak pernah bisa ngehargain perjuangan orang lain tau gak? Lo cuma bisa protes dan ngejudge," ujarnya sambil menuding Sabrina.

Sabrina melangkah mundur, tentu saja ia tidak terima dengan ucapan Aidan. "Dih? Kenapa lo marah kalo misalnya omongan gue salah? Lo juga enak banget nuduh gue gak bisa hargain perjuangan orang. Masalah mental lo bukan tameng lo biar gak bisa nerima kritik ya."

Aidan mengatur napasnya yang semakin lama semakin terasa berat. Kalau saja ia tidak berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti main tangan, mungkin sekarang Sabrina sudah terkapar di jalanan penuh memar.

Ia memiliki alasan yang cukup kuat kenapa ia tidak menceritakan tentang adiknya yang hilang kepada Julia. Seharian ini pikirannya hanya terpaku pada adiknya sampai tidak ingat kalau ia memiliki Julia yang mungkin bisa membantunya.

Juga ia tidak ingin merepotkan Julia untuk beberapa waktu ke depan. Ia tidak ingin Julia terjerat dalam masalahnya. Lebih baik Julia menjauh darinya sampai keadaan membaik.

Ternyata hal itu mustahil, ia bergegas membuka ponselnya, meminta Julia untuk menemuinya di tempat ia berdiri sekarang. Aidan butuh Julia, hanya Julia yang bisa membantunya. Hanya Julia yang mengerti apa yang ada di pikirannya.

"Mending lo sekarang pergi, Sab. Lo gak bantu apa-apa tau gak?" sembur Aidan. Sudah cukup ia frustrasi karena adiknya, ia tidak mau menambah masalah lagi.

Sabrina menganga. "What? Gak bantu apa-apa lo bilang? Ini snapgram gue yang post foto muka adek lo apa kalo bukan bantuin lo? Lo harusnya bersyukur gue gak nabrak lo tadi. Dah lah, gue capek!" Ia menghentakkan kakinya pergi meninggalkan Aidan.

Aidan memandangi mobil Sabrina yang semakin lama semakin menjauh. Ia merenungkan semua ucapannya, apakah ucapannya memang terlalu menyinggung? Apakah ia gagal mempertahankan niatnya untuk merubah diri? Kenapa semuanya terasa sangat sulit?

Ia memandangi orang-orang yang berlalu lalang, tidak lagi menghampiri mereka untuk menanyakan adiknya. Tenaganya seperti terkuras habis begitu saja. Seketika ia berpikir semua orang tidak akan ada yang peduli dengan adiknya, mereka semua akan kembali fokus dengan urusannya sendiri.

Sekitar 20 menit Aidan berdiam diri duduk di pinggir kios yang sudah lama tutup. Hingga akhirnya ia mendengar suara yang sangat ia kenal memanggil namanya.

"Kak Aidan!" Julia berlari kecil menghampiri Aidan yang terlihat memprihatinkan. "Kak ... kok bisa di sini? Kenapa? Ada apa?" tanyanya penuh cemas. Ia mengambil beberapa lembar tissue di tasnya dan menyeka peluh Aidan.

Lama kelamaan, bukan hanya peluh yang menyerap ke tissue, namun juga air mata Aidan. Julia berhenti menyekanya. "Kak ... kok nangis." Ia merentangkan sedikit tangannya, memberikan Aidan izin untuk memeluknya. "Kak Aidan bisa cerita nanti, sekarang yang paling penting kamu tenang dulu ya."

Suara Julia sangat lembut. Hanya Julia yang membuat Aidan mengerti seperti apa rasanya mendengar suara lembut saat ia sedang berada di titik terendahnya. Ia tidak harus mendapat caci maki dan pukulan saat bersama Julia.

"Aku terlambat, Lia. Aku gagal perbaikin semuanya, sekarang semuanya udah berantakan. Aku gak tau harus apa, Julia," lirih Aidan disela isak tangisnya.

"Apa yang berantakan? Belum terlambat kok, selama kamu masih ada di sini kamu masih bisa perbaikin semuanya." Julia melepas pelukannya dan merapikan rambut Aidan layaknya anak kecil yang baru saja mengadu kepada ibunya. "Kamu gak harus cerita semuanya sekarang, kamu bisa ceritain kalo kamu udah tenang. Ada aku di sini, aku bakal nungguin, tenang aja ya, Kak."

Dengan wajah yang sedikit sembab Aidan mulai menceritakan masalahnya. "Kirisha ilang, Julia. Aku gak tau dia pergi ke mana. Mama Papa gak ada yang khawatirin Kirisha, aku bingung kenapa mereka setega itu sama anaknya sendiri. Apa kalo aku ilang mereka juga bakalan begini?"

Julia menatap nanar lelaki di hadapannya. Kasarnya, kenapa Aidan memiliki hidup yang sangat sial? Andai saja Aidan dikelilingi dengan orang yang memberi pengaruh positif, mungkin lelaki itu juga bisa menjalani hidup dengan baik.

"Kita cari adik kamu sama-sama ya. Nanti kita lapor polisi juga, aku selalu bantu kamu kok, Kak."

• Aujourd'hui •

aujourd'huiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang