Hari ini Julia menghabiskan jam kosongnya bersama Linda di kantin kampus sebelum kelas selanjutnya dimulai. Sebenarnya Julia tidak ingin ada seorangpun yang tahu tentang dinamika hubungannya dengan Aidan, namun ia rasa setidaknya harus ada satu orang yang tahu.
"Jadi luka yang di tangan sama bibir lo itu gara-gara si Aidan itu? Bukan gara-gara kecelakaan?!"
Linda menatap teman seperjuangannya dengan mata yang melebar. "Jul, jangan gini dong ... gue tau lo gak bego. Kenapa masih dipertahanin?" tanyanya dengan nada geram.
Julia meringis. "Gue punya banyak alesan Lin, alesan kenapa gue gak bisa biarin dia sendirian."
Linda menyugar rambutnya frustrasi. "Sebanyak apa pun alesan lo, gue gak peduli. Gue cuma peduli sama nyawa lo, gimana kalo nanti dia bunuh lo? Lo tuh jadi orang jangan terlalu baik, Jul!" ceramahnya.
Mendengar ucapan Linda membuat Julia sedikit merasa ciut, padahal ia hanya ingin menceritakan masalahnya, bukan diceramahi dan dianggap bodoh. Apakah ia memang terlalu bodoh sampai Linda mengomel seperti itu?
"Kak Aidan banyak masalah Lin, di rumahnya. Kalo diibaratin, dia itu nyalain lampu SOS dan gue notice kalo dia butuh pertolongan," jelas Julia dengan suara yang sedikit getar.
Julia tidak tega melihat Aidan yang sangat rapuh, ia sangat ingin menemani Aidan sampai lelaki itu bisa melewati semua masalahnya. "Kalo gue ninggalin dia dan dia jadi makin parah, jatohnya gue yang salah, Lin."
"Jadi lo cuma gak mau disalahin?" tanya Linda.
"Bukan itu aja, gue juga takut dia nyari orang lain yang dia anggep bisa jadi tempat dia nunjukin perasaan dia dan orang itu malah nganggep dia jahat atau segala macem."
"Ya karena dia emang jahat," sela Linda setelah menyesap es teh manisnya. "Jadi lo ngorbanin diri lo sendiri supaya Aidan gak makan korban lain, 'kan?"
Julia menghela napasnya. "Kok bahasanya korban sih? Gue gak bilang kalo gue itu korban juga," ujarnya kesal.
"Ya pokoknya gitu, 'kan? Lo gak mau ada orang lain yang disakitin sama Aidan jadi lo mikir 'oh yaudah gue aja yang disakitin gapapa sampe dia puas' gitu, 'kan?" Linda masih berpegang teguh pada pendapatnya yang berpikir kalau Julia adalah korban dari sifat kasar Aidan.
"Kalo ngomongin korban, kak Aidan juga korban, Lin. Lo tau? Keluarga dia berantakan, orangtuanya abusive ke dia sama adeknya. Dia dipaksa masuk Hukum, dia gak bisa gerak bebas kayak orang-orang," debat Julia yang jelas-jelas membela Aidan.
"Ya harusnya dia bisa pilah mana sifat yang bisa ditiru dan gak diaplikasikan ke pasangannya. Kalo kayak gini cowok lo juga cocok dikasih title pacar abusive," balas Linda.
Linda membetulkan kacamatanya yang merosot. "Kalopun keluarga dia emang berantakan, harusnya dia rapihin dulu sebelom mulai hubungan sama orang. Kalo kayak gini jadinya kan nyusahin, bukan cuma dia doang yang punya trauma, tapi lo juga jadi punya trauma."
Julia mengembuskan napasnya kasar. "Dia gak separah itu sampe bikin gue trauma kok," balasnya.
"Sekarang mungkin belom berasa, tapi nanti lo bakal masuk fase di mana lo selalu refleks lindungin diri lo kalo ada orang ngangkat tangannya ke arah lo atau kepalin tangannya sambil ngekretekin jari-jarinya."
Julia berdecak sebal. Linda selalu saja berhasil menjawab omongannya dan membuatnya terlihat seperti orang bodoh. "Lin, lo bisa gak sih sekali aja di pihak gue. Jangan debatin omongan gue mulu," protesnya.
"Ya gimana gue gak mau debat kalo semua omongan lo berlawanan sama pendapat gue?" balas Linda jujur dari hatinya. Ia bukan tipikal orang yang rela berbohong untuk menyenangkan hati orang lain.
"Menurut lo aja nih ya, Jul. Siapa sih manusia yang rela dipukul sama orang yang keluarga aja bukan? Dia tuh masih pacar, Jul. Dia bukan bapak lo, dia bukan abang atau adek lo, tapi dia berani kasar sama lo. Aneh, Jul. Sadar dong!"
Linda melirik ke arah Julia yang sudah tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Mungkin omongan Linda memang terlalu jujur sampai Julia tidak siap mendengarnya. Sedikit rasa bersalah timbul di benak Linda.
"Gue gak mau ngasih saran apa-apa ke lo. Gue tau lo udah punya rencana sendiri dan lo gak mau rencana itu dirusak sama orang lain termasuk gue. Lagian gue sering nemu orang kayak lo, bebal kalo dikasih tau. Jadi mending gue diem aja simpen tenaga."
"Kenapa gue bisa temenan sama lo sih, Lin?" tanya Julia, terdapat sedikit sindiran di dalam pertanyaannya. Ia dan Linda memiliki kepribadian yang berbeda, tapi ajaibnya mereka bisa dekat sejak awal kuliah.
"Harusnya gue yang nanya kenapa gue bisa temenan sama lo yang bego abis," balas Linda pedas. Ia memandangi sekitar kantin kampus, mendapati beberapa laki-laki seangkatannya bahkan beberapa tingkat di atas dan di bawahnya sedang mencuri pandang ke arah Julia.
"Cowok baik yang siap buat bikin lo bahagia itu banyak, Jul. Coba lo liat di sekitar lo," perintah Linda.
Begitu Julia mengedarkan pandangannya, para lelaki yang semula memandanginya langsung membuang muka. Linda menggerutu dalam hatinya melihat jiwa pengecut orang-orang itu.
"Gak ada, Lin. Kalo ada juga gue gak mau," balas Julia.
"How about Jordan?" tanya Linda sambil menaikturunkan alisnya.
Julia bergidik ngeri mendengar nama itu. Jordan, laki-laki yang sering menjadi topik utama pertengkaran Julia dan Aidan. Sering kali Aidan salah paham menganggap Julia sudah berpaling darinya dan memilih untuk bersama Jordan.
"Jordan lebih cocok sama lo ah," balas Julia asal.
Linda mengendikkan bahunya. "Ya ... Jordan bisa sih memenuhi kriteria cowok yang mau gue jadiin pasangan, tapi gue gak masuk tipe idaman dia," jawabnya sambil meringis.
Julia tersenyum jahil. "Jangan gitu dong! Kenapa gak lo approach dia duluan aja? Siapatau kalian nyambung."
"Apa sih? Kok jadi ngomongin gue sama Jordan? Balik lagi ah ke topik," protes Linda. Hampir saja mereka keluar dari pembahasan utama. "Jul, lo tau kan kekerasan itu masuknya udah ke tindakan kriminal?" tanyanya.
Julia mengangguk kaku. "Ya tau, siapa yang gak tau?"
Linda tertawa remeh. "Lo." Raut wajahnya seketika berubah menjadi datar. "Lo gak tau kalo lo udah jadi korban kekerasan."
Julia mendadak gagap. "T-terus kenapa? Kalo gue fine-fine aja gimana?" balasnya dengan rasa percaya diri yang kecil.
Perempuan berkacamata itu berdecak sebal mendengar balasan angkuh Julia. "Jul, kayaknya lo dipelet dah sama Aidan. Mau gue cariin orang pinter gak buat ilangin peletnya?" Ia menangkup wajah Julia dan menatap mata bulat Julia.
Bahkan Linda berani taruhan kalau tidak ada orang yang lebih bodoh dari Julia di muka bumi ini. Setidaknya mereka yang mengalami kekerasan akan menyadari siksaan yang mereka terima dan berharap untuk bebas, namun Julia tidak mengeluh sama sekali.
Perlahan Julia menepis tangan Linda. "Ngaco lo. Gue deket sama Tuhan gue, gak mungkin kena yang begituan," balasnya sinis.
Linda menghela napasnya. "Bener ya kata Taylor Swift, love made someone crazy, you're crazy, Julia."
Julia menyunggingkan senyum miring. "And if love doesn't made you crazy, you ain't doing it right, Linda."
Mata Linda berkedut memandangi Julia yang masih saja tidak sadar dengan semua omelan dan sindirannya. "Wah anjing lo, Jul. Gue beneran heran sama lo. Kalo gue jadi emak lo udah gue paksa putus kalian," cecarnya dengan wajah yang memerah.
Mungkin cinta memang berpotensi membuat seseorang gila dan tidak bisa berpikir jernih, namun Julia pikir itu efek samping dari cinta yang sebenarnya. Tidak ada orang yang menggunakan otaknya saat menjalani suatu hubungan.
Mereka yang tenggelam dalam cinta hanya mengandalkan hati yang kadang bertolak belakang dengan logika. Sama seperti Julia yang tenggelam dalam cintanya kepada Aidan.
• Aujourd'hui •
KAMU SEDANG MEMBACA
aujourd'hui
RomanceAku tidak bisa berjanji akan berada di sampingmu untuk selamanya. Aku juga tidak bisa berjanji akan menyayangimu selamanya. Tapi selama aku sedang di sampingmu dan sedang menyayangimu, aku akan memanfaatkan waktu itu dengan baik hingga waktu yang se...