PROLOG

1.2K 81 2
                                    

Jagad membunuh kucing saat usianya tujuh tahun. Bocah cilik berwajah manis dengan pipinya yang tumpah-tumpah, dengan tidak wajar membawa beberapa anak kucing terlantar menuju sungai di sisi tempatnya tinggal. Anak laki-laki itu mempunyai tas plastik dan tali di tangannya, lalu memasukan semua kucing, mengikatnya erat dan membuangnya hingga binatang-binatang hidup yang lucu itu terbawa oleh arus.

Kedua orangtuanya tentu tidak tahu, Jagad kembali ke rumah untuk minum susu dan tidur. Lalu dia bangun untuk sekolah dan bermain.

Jagad adalah anak yang manis untuk setiap mata yang melihat. Tentu begitu adanya, siapa yang akan sadar? Jagad hanya anak-anak, polos, lembut, dan hanya ada kasih sayang untuknya. Tentu manusia lain tak akan sadar bagaimana cara jalan pikiran bocah itu.

Cara jalan nya yang kejam dan gelap. Jagad mempunyai mangsa walau bibirnya tersenyum saat matanya mendapati bayi perempuan berumur satu tahun tengah bermain di dalam kamarnya, dengan mainan-mainan lembut di mulutnya untuk di kunyah.

Jagad ingat dia adalah putri kecil bibinya. Putri yang sangat kecil, lembut, dan mudah di hancurkan. Bibir Jagad tertarik lebar saat jari telunjuknya di genggam erat oleh tangan kecil penuh liur.

Bocah laki-laki itu tertawa kecil saat tampak si bayi tersenyum antusias untuknya. Lihat? Putri bibinya menyukainya!

Jagad juga menyukainya! Tidak bohong!

" JAGAD!! "

Tubuhnya memutar, Jagad berdiri dengan matanya yang lugu saat mendapati kedua orangtuanya berlari mendekat bersama bibi yang histeris. Bocah itu tetap berdiri tenang, menatap polos pada bibinya yang sudah menangis keras, terdengar pilu, menyakitkan untuk di dengar olehnya hingga Jagad mengerutkan kening.

Anak itu membawa matanya pada sang ayah. " Ayah--"

PLAK!

" AYAH! "

Tubuh kecilnya ambruk dengan sangat keras, menghantam trotoar gudang belakang hingga Jagad memegangi pipi dan meringis. Anak laki-laki itu mendongak, menatap bingung pada wajah ayahnya yang memerah marah.

Jagad menoleh sedih pada ibunya saat tubuhnya di lindungi lagi dari tamparan kedua ayahnya.

" APA YANG KAMU LAKUKAN JAGAD! "
" Mas! Sudah, Mas!! " Tampak sang ibu menangis keras memeluk tubuh Jagad. Sang ayah semakin berang.

Jagad tersentak, tangannya di tarik keras hingga ia berdiri, bocah itu meringis saat kedua bahunya di remas. Matanya menatap tenang saat kedua manik ayahnya menggelap. " Ayah.. "

Jagad tidak tahu apa yang salah pada dirinya. Anak itu di tinggalkan di dalam kamar, kedua tangannya berhenti memukul pintu agar ia di keluarkan saat ayahnya dengan tega menguncinya di dalam ruang membosankan ini. Ia memutuskan untuk duduk di jendela balkon, menatap mobil polisi yang berjajar untuk membawa mayat bayi dari gudang rumahnya. Tampak kedua orangtuanya berjalan memasuki mobil, bersama sang bibi yang terus menatap kosong.

Jagad tidak mengerti. Apa salahnya saat ia meminta sedikit waktu untuk bermain bersama bayi?

.....

Bibinya masuk ke rumah sakit jiwa? Itu aneh. Namun jika di pikir-pikir lagi, itu bisa saja terjadi. Karena Jagad ingat bagaimana terpukulnya diri sang bibi setelah kematian suaminya, pakmannya. Dua tahun lalu. Pasti bibinya rindu dan depresi. Jagad mengangguk-angguk kecil, lalu anak itu tertawa.

Menggeleng setelah mendengar kabar burung dari percakapan ayah dan ibunya di ruang tamu. Bocah itu acuh berjalan menuju taman depan, meraih selang dan menyirami bunga-bunga yang masih basah. Membuat tanahnya banjir. Melupakan fakta bahwa beberapa menit yang lalu, Jagad memiliki pikiran yang terlalu dewasa dan menyimpang tentang bibinya.

Selang itu di jatuhkan. Jagad mendongak, menyipitkan mata saat mendapati beberapa burung melintasi biru, mengepak dengan bebas. Tiba-tiba keningnya tertekuk, Jagad mengubah raut wajahnya menjadi suram, perasaan iri memenuhi dadanya hingga Jagad meraih batu lalu menghantamkannya pada burung-burung di atas sana.

Merpati putih dengan telak jatuh menghantam aspal. Sayapnya lecet saat Jagad mendekat, meregangkannya hingga burung itu mengoceh kesakitan. Jagad tersenyum, membawanya memasuki rumah, berjalan ke dapur meraih gunting, lalu duduk manis di sisi rumahnya. Mengusap-usap sayang merpati yang sekarat.

Jagad tersenyum lagi. Lalu mulai memotong dua kaki burung yang tidak bersalah, burung itu sontak memekik, bergerak brutal hingga Jagad murung. Sadis tubuh merpati itu di tekan ke tanah, Jagad mematahkan kedua sayapnya dengan tangan, lalu meraih guntingnya sebelum sebuah intruksi membuat matanya teralih.

" Jagad? "

Jagad terdiam. Melepaskan tangannya dari burung, lalu menatap ibunya yang berdiri kaku sembari menangis. Wanita itu menutup mulut, terisak dan bergerak memeluk tubuh putranya. " Jagad.. "

" Ibu. Jagad tidak jatuh, jangan menangis. "

Jagad adalah anak yang baik, Jagad adalah anak baik, Jagad anak baik. Sang ibu tak berhenti meramalkan kalimat yang sama untuk berulang-ulang, seolah menampik fakta bahwa dua minggu lalu adalah kejadian di mana satu nyawa meregang dengan cara yang keji oleh tangan-tangan kecil. Kepalanya tetap mengangguk, menggendong tubuh putranya tanpa peduli pada betapa tidak wajar darah-darah di tangan anak itu. Dress putihnya sontak terkotori, ia terpaku saat langkahnya di buat berhenti oleh tatapan datar suaminya.

Tampak pria berumur itu berdiri dengan tatapan mata yang terselip berjuta-juta amarah dan kekecewaan. Keduanya menatap sendu.

Karena keduanya tidak tahu, bagaimana bibir bocah itu tertarik lebar mendapati si merpati bergerak sekarat dan tak lagi mampu terbang.
Jagad puas.

Behavior Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang