Shella

678 53 0
                                    

Tangan dengan cakar tajam itu tiba-tiba merenggut rambut di sekitar ubun-ubunku.

"Aaargh!!" Aku menjerit kesakitan, merasakan perihnya ujung-ujung kuku lancip yang seolah menusuk dan menembus kulit kepalaku.

Haruskah aku merasakan penderitaan, sebelum nyawa ini terlepas dari raga?

Seolah arus listrik menyengat isi kepalaku. Tiba-tiba sebuah cahaya yang sangat silau membuat pandanganku mengabur.

Slide masa lalu kemudian bermunculan di depanku. Layaknya dejavu.

Alam pedesaan dengan hawa pagi yang sejuk, ditingkahi cericit burung dari dahan-dahan pohon.  Terlihat sebuah rumah besar bergaya klasik dengan cat putih, dilatarbelakangi pemandangan gunung yang membiru.

Halaman luas rumah itu dikelilingi pagar kayu, yang juga dipoles cat berwarna putih. Terlihat asri oleh bunga anyelir kuning yang tumbuh di sekitar pagar.

Beberapa puluh meter dari rumah bercat putih, berdiri pula sebuah rumah mungil, hanya berdinding bambu serta beratapkan jerami. Sangat sederhana. Tampak sangat jauh perbedaan yang terlihat antara kedua rumah itu.

Seorang gadis belia berseragam putih abu-abu, keluar dari pintu rumah bambu yang terbuka. Wajah polos khas gadis desa itu tampak tersenyum simpul. Usai memakai kaos kaki dan sepatu kets yang sudah usang, dirapikan lagi jilbab kaos yang tadinya terpasang asal di kepala.

Pintu bambu yang tampak sudah reot ditutup tergesa. Gadis itu kemudian berlari kecil menuju rumah bercat putih. Tiba di depan pagar, dia segera memanggil-manggil seseorang yang ada di dalam.

Bola mata beningnya selalu memandang takjub pada rumah di depan. Rumah yang dimiliki orang paling terpandang di desa. Dia sering berkata kepadaku, kalau suatu hari nanti, ingin memberikan rumah yang sebesar dan sebagus rumah itu untuk neneknya.

Pintu rumah kemudian tampak terbuka. Keluar seorang gadis cantik berkulit putih yang mengenakan seragam dan jilbab yang sama. Gadis itu aku. Saras Ariana Lestari.

Aku tersenyum padanya. "Yuk, berangkat!"

Berpegangan tangan aku dan dia menyusuri jalan setapak desa. Melewati hamparan sawah, menuju sekolah tempat kami menghabiskan sebagian besar waktu. Sepanjang jalan kami bercerita seru tentang apa saja, lalu tertawa cekikikan bila ada hal yang lucu.

Salasiah nama gadis yang bersamaku. Kami lebih sering memanggilnya 'Sala' saja. Dia tetangga sekaligus sahabatku. Sejak kecil aku dan Sala tumbuh bersama. Hanya saja, nasibku jauh lebih beruntung darinya.

Aku anak seorang kepala desa yang notabene orang berada dan terpandang. Selain menjabat sebagai kepala desa, bapak memiliki beberapa pabrik penggilingan padi. Hidupku tak pernah merasakan kekurangan.

.Berbeda dengan Sala yang hanya anak yatim piatu. Dia bahkan harus menjadi tulang punggung untuk menghidupi neneknya yang sudah sangat renta.  Sala hanya tinggal berdua dengan neneknya di gubuk bambu itu.

Sejak kecil Sala suka menari jaipong dan menyanyi, apalagi lagu dangdut. Suaranya lumayan bagus. Lalu dia mulai mendapat undangan menyanyi dari panggung ke panggung di acara hajatan kawin. Uang hasil menyanyi itu sedikit membantu kehidupan dia dan neneknya.

Kelas dua SMA, Sala berhenti sekolah. Dia lebih fokus mencari uang dengan menyanyi. Menurutnya urusan perut tak bisa ditunda. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu. Hanya bisa menyemangati apapun yang terbaik untuknya. Kami tetap bersahabat. Masih sering menghabiskan waktu bersama. Kadang kusempatkan untuk menonton jika dia manggung.

Tak lama setelah aku lulus dari sekolah, ada beberapa lelaki yang datang meminangku. Sejak aku tumbuh menjadi gadis, sejak itulah banyak pemuda desa yang mendekat.

JANDA TUJUH KALI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang